“Shalat
Awwabin dilakukan saat anak-anak unta telah kepanasan.” (HR. Muslim no. 748)
Sebelumnya,
perlu dijelaskan bahwa Awwabun berasal dari bahasa Arab Awwab
yang artinya adalah rujuk. Jadi, maka awwab adalah rajja’ atau munib, yaitu
orang yang sering bertaubat (dari dosa dan kesalahan). Shalat awwabin adalah
istilah untuk shalat dhuha yang dikerjakan di saat matahari sudah panas (di
akhir waktu dhuha) atau shalat dhuha secara umum. Namun ada anggapan dari
sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara maghrib dan
isya’ dengan istilah shalat awwabin. Benarkah penggunaan istilah ini?
Shalat
Awwabin adalah shalat orang-orang yang taat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala.
Shalat sunnah Awwabin sebenarnya adalah Shalat Dhuha yang dilakukan setelah
matahari terbit dan agak meninggi
hingga menjelang waktu shalat Zhuhur, sebagaimana disampaikan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu
‘anhu, ia
berkata:
خَرَجَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ
يُصَلُّونَ، فَقَالَ: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ
Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam keluar menuju orang-orang di masjid Quba’ dimana mereka
sedang melaksanakan shalat. Maka Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwabin dilakukan saat anak-anak unta telah
kepanasan.” (HR. Muslim no. 748)
Dalam
riwayat Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah dari
Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ
النَّبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ
أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتِ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّوْنَ
فَقَالَ إِنَّ صَلاَةَ الأَوَّابِيْنَ كَانُوْا يُصَلُّوْنَهَا إِذَا رَمَضَتِ
الْفِصَالُ
“Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi atau memasuki masjid Quba’ setelah matahari terbit
yang ketika itu orang-orang sedang melakukan shalat. Maka Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwabin, mereka melakukannya saat anak unta
kepanasan.” (HR. Ahmad no. 19.366)
Dari
Al-Qasim Asy-Syaibani radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ زَيْدَ
بْنَ أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَا لَقَدْ
عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ
تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Zaid
bin Arqam radhiyallahu ‘anhu
melihat beberapa orang yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia
berkata, “Tidakkah mereka mengetahui
bahwa shalat di selain waktu ini lebih utama? Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Shalat Awwabin
dilakukan saat anak unta kepanasan”. (HR. Muslim no. 748)
Pengingkaran
Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu ini bukan pengingkaran
terhadap keberadaan shalat Dhuha, akan tetapi pengingkarannya supaya
orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka
mendapatkan pahala yang lebih besar. Karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha
(shalat Awwabin) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas.
Dari
Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي
بِثَلَاثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ، أَنْ لَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ، وَأَنْ
لَا أَدَعَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ، وَصِيَامِ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
“Kekasihku
telah mewasiatiku dengan tiga hal untuk tidak aku tinggalkan; yaitu: Melakukan
witir sebelum tidur, tidak meninggalkan dua raka’at shalat Dhuha, karena
sesungguhnya ia adalah shalat Awwabin (shalatnya orang-orang yang taat kepada
Allah), dan puasa tiga hari setiap bulan.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1223)
Imam
Abu Zakariyya An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Shalat Awwabin dilakukan saat anak unta kepanasan”,
yaitu dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim. Dikatakan ramidha - yarmadhu, maka
hal ini seperti kata ‘alima - ya’lamu. Makna ar-Ramdha’ yaitu kerikil yang
menjadi sangat panas karena terik matahari dimana saat kuku-kuku al-fishal
(yaitu anak-anak unta yang masih kecil - bentuk jamaknya adalah fashilun)
terbakar karena panasnya kerikil. Dan al-awwab adalah orang yang taat
(al-muthi’). Dan dikatakan orang yang kembali kepada ketaatan. Di dalam hadits
ini terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para sahabat kami berkata,
"Ia merupakan waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha
boleh dilakukan sejak matahari terbit dan agak meninggi hingga waktu zawal
(tergelincirnya matahari di tengah hari).” (Syarah Shahih Muslim hal. 614)
Namun
ada anggapan dari sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan
antara waktu halat Maghrib dan Isya’ dengan istilah shalat Awwabin. Namun dalam hal
ini, jika kita perhatikan hadits-hadits diatas justru terdapat
bantahan bagi orang yang menamakan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib
dengan shalat Awwabin, karena penamaan ini tidak ada asalnya.”
Memang
ada beberapa hadits yang menganjurkan shalat
sunnah antara Magrib dan Isya, diantaranya hadits yang diriwayatkan Imam An-Nasa’i rahimahullah, dari Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
“Saya
mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan saya shalat Maghrib bersama Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat (sunnah) sampai Isya.” (HR. An-Nasa’i)
Imam Al-Mundziri rahimahullah dalam
At-Targhib wa Tarhib menyatakan, sanad hadits ini jayyid.
Setelah
membawakan berbagai dalil tentang anjuran shalat sunnah antara Maghrib dan
Isya, Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan:
“Ayat
dan hadits yang disebutkan menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat
antara Maghrib dan Isya. Al-Iraqi mengatakan, ‘Di antara Sahabat yang
melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar,
Salman Al-Farisi, dan Ibnu Malik dari
kalangan Anshar radhiyallahu
‘anhum. Kemudian di kalangan tabi’in, ada Al-Aswad
bin Yazid, Utsman An-Nahdi, Ibnu Abi
Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali
bin Husain, Abu Abdirrahman Al-Uhaili, Qadhi
Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal rahimahumullah. Sementara Ulama yang juga
merutinkannya adalah Sufyan Ats-Tsauri.”
(Nailul Authar, Jilid 3 hal.
60)
Sementara
Ulama dari empat madzhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara Maghrib
dan Isya, berdasarkan hadits dan praktik para sahabat. Bahkan Ulama madzhab
Hambali menyebutnya sebagai qiyamul lail. Karena waktu malam itu yaitu waktu
antara Maghrib sampai Shubuh.
Namun
perlu diingat bahwa ini tidak menunjukkan benarnya shalat yang dilakukan
sebagian kaum Muslimin dengan membatasi enam rakaat dengan pahala besar yang
disetarakan dengan pahala ibadah 12 tahun. sebab haditsnya lemah sekali. Hadits
yang mereka gunakan adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ صَلَّى
بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ
بِسُوءٍ ، عُدِلْنَ لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً
“Barangsiapa
melakukan shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di antara
shalat-shalat itu tidak berkata dengan kata-kata yang buruk, maka shalatnya
sebanding ibadah dua belas tahun.” (HR. At-Tirmidzi no. 435 dan Ibnu Majah no.
1374)
Imam
Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullah setelah
menyampaikan hadits ini berkata, “Hadits
gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin Al-Hubab
dari Umar bin Abi Khats’am.”
Beliau berkata lagi, “Aku telah mendengar Muhammad
bin Isma'il (Imam Al-Bukhari) menyatakan
bahwa Umar bin Abi Khats'am adalah mungkarul
hadits sangat lemah sekali.”
Selain
itu, ada lagi
hadits lain yang mirip dengan hadits
diatas yaitu dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku
pernah mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ صَلَّى
سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ بِهَا
خَمْسِيْنَ سَنَةً
“Barangsiapa
shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib sebelum berkata-kata maka Allah
ampuni dosanya lima puluh tahun.”
Hadits
diatas disampaikan oleh Ibnu Abi Hatim rahimahullah
dalam Al-Ilal,
Jilid 1 hal. 78 dan
beliau berkata:
Abu Zur'ah rahimahullah berkata:
Buanglah hadits ini, karena mirip hadits palsu. Abu Zur'ah rahimahullah juga berkata: Muhammad bin Ghazwan Ad-Dimasyqi mungkar
hadits.
Kedua
hadits diatas sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan
dasar dalam pensyariatan shalat enam rakaat setelah Maghrib. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa
Shalat Awwabin bukanlah shalat 6 rakaat antara Maghrib dan Isya, akan tetapi
shalat Dhuha yang dilakukan di akhir waktu Dhuha sebagaimana diterangkan dalam
zhohir hadits yang telah di paparkan di atas. Wallahu a'lam. Semoga Bermanfaat.
0 Comment for "Shalat Awwabin"