Larangan Bermain Catur

“Para sahabat menganggap orang yang melihat papan catur sebagaimana orang yang melihat daging babi. Sementara orang yang menggerakkan pion catur seperti orang yang membolak-balikkan daging babi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 26160)



            Bismillah, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam, keluarga dan para sahabatnya serta umatnya hingga akhir zaman.

            Ulama salaf berkata, jika engkau tidak disibukkan dengan ketaatan pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang sia-sia. Perkataan ulama ini menandakan bahwa Islam sangat menghargai waktu. Jika hanya termenung menunggu hingga ‘skak-ster’, tanpa ada faedah manfaat, maka tentu hal ini sia-sia. Apalagi jika permainan semacam itu meninggalkan kewajiban semisal shalat lima waktu, maka tentu dihukumi haram. Pembahasan kali ini akan mengupas permasalahan seputar hukum bermain catur. Semoga bisa menjadi bahan renungan kita.

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Permainan catur, jika menyibukkan orang sehingga meninggalkan kewajibannya, baik lahiriyah maupun yang tidak nampak maka hukumnya haram dengan sepakat ulama. Semacam misalnya permainan catur bisa melupakan kewajiban shalat, kemaslahatan pribadi, dan keluarga yang harus dia penuhi, amar ma’ruf nahi munkar, silaturahmi, berbakti pada orang tua, atau kewajiban memenuhi tugasnya sebagai pemimpin, maka hukumnya haram dengan sepakat kaum muslimin. Demikian pula ketika permainan catur ini mengandung unsur yang haram, seperti berdusta, sumpah palsu, khianat, judi, taruhan, kezaliman, atau membatu maksiat, atau semua perbuatan haram lainnya, maka hukumnya haram dengan dengan sepakat kaum muslimin.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32 : 218)

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah berkata: “(Bermain catur) itu diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama) jika di dalamnya terdapat keharaman seperti dusta, sumpa palsu, kezhaliman, tindak kejahatan, pembicaraan yang bukan wajib” (Majmu’ Al-Fatawa, 32 : 245)

            Jika demikian, jika bermain catur sampai melalaikan dari shalat lima waktu dan berjama’ah di masjid -bagi pria-, dalam kondisi ini permainan catur dihukumi haram. Dan inilah kebanyakan yang terjadi. Karena sibuk memikirkan strategi, pikirannya dihabiskan berjam-jam sehingga akhirnya meninggalkan shalat.

Bagaimana jika permainan catur ini tidak melalaikan kewajiban dan tidak mengandung unsur yang haram?

            Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:

            Pertama, Hukumnya Makruh, Demikian disebutkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah dan diikuti ulama belakangan seperti Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram.

            Imam Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan, bahwa Imam An-Nawawi rahimahullah pernah ditanya tentang permainan catur, haram ataukah boleh? Beliau menjawab: “Jika itu menyebabkan orang ketinggalan shalat dari waktunya, atau bermain dengan taruhan maka itu haram. Jika tidak, hukumnya makruh menurut Syafi’i, dan haram menurut ulama lainnya.” (Al-Kabair, 90)

            Akan tetapi, kita juga perlu hati-hati, karena istilah makruh menurut para ulama masa silam, bisa jadi tidak sebagaimana makruh sebagaimana pengertian fikih masa sekarang. Mereka menyebut makruh karena ketaqwaan mereka, sehingga tidak berani menegaskan ini haram. Menegaskan hukum halal dan haram adalah hak Allah Ta’ala. Sehingga mereka hanya menggunakan ungkapan umum, dibenci, dalam arti harus ditinggalkan. Allahu a’lam.

            Kedua, Hukumnya Haram. Demikian pendapat mayoritas ulama dari ulama Hambali, Malikiyah, Hanafiyah dan fatwa dari ulama saat ini seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah dan fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta’. Diantara dalilnya.

1. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ - إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمْ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنْ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنتَهُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah : 90-91)

            Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: Ayat ini menunjukkan haramnya bermain dadu dan catur, baik untuk judi mapun bukan untuk judi. Karena Allah Ta’ala ketika mengharamkan khamr, Allah menyampaikan secara tersirat apa yang ada dalam permainan itu dalam firman-Nya (yang artinya): “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat.” Maka semua permainan yang memicu terjadinya permusuhan dan saling membenci diantara pemain, serta menghalangi orang untuk mengingat Allah dan melaksanakan shalat maka statusnya seperti minum khamr, sehingga harus berstatus haram, seperti minum khamr. (Tafsir Al-Qurthubi, 6 : 291)

2. Larangan tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya untuk main dadu. Karena di zaman beliau, permainan itu yang baru dikenal. Melalui sabdanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَده فِي لَحْم خِنْزِير وَدَمه

“Siapa yang bermain dadu, dia seperti mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya.” (HR. Muslim no. 2260)

            Berkaitan dengan Hadits ini, Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Hadits ini merupakan dalil Imam Syafii dan mayoritas ulama lainnya tentang haramnya bermain dadu. Makna: ‘mencelupkan tangannya ke daging babi dan darahnya’ sebagaimana ketika orang makan daging dan darah babi, yaitu menyamakan haramnya bermain dadu sebagaimana haramnya makan babi.” (Syarh Shahih Muslim, 15 : 15)

            Dalam riwayat yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Siapa yang bermain dadu maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad no. 19521, Abu Dawud no. 4938, Ibnu Majah 3762, Ibnu Hibban dalam shahihnya no. 5872, dan yang lainnya. Hadits ini dinilai hasan oleh Al-Albani)

            Dari riwayat ini, para sahabat menghukumi permainan catur dengan menggunakan qiyas (analogi) hukum untuk dadu.

3. Keterangan sahabat tentang catur

a. Dari Maisarah An-Nahdi, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah melewati sekelompok orang yang bermain catur, kemudian beliau menyitir ayat:

مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

“Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beri’tikaf (memperhatikan) kepadanya?” (QS. Al-Anbiya : 52)

            Keterangan Ali ini disebutkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Al-Mushannaf no. 26158.

            Dalam riwayat Imam Al-Baihaqi rahimahullah, terdapat pernyataan yang semisal, hanya saja ada tambahan:

لَأَنْ يَمَسَّ أَحَدُكُمْ جَمْرًا حَتَّى يُطْفَأَ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّهَا

“Seseorang menyentuh bara api sampai bara itu mati, itu lebih baik baginya dari pada dia menyentuh catur.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Ash-Shughra no. 3348 dan Syuabul Iman, no. 6097)

            Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan: "Riwayat paling shahih tentang catur adalah keterangan Ali bin Abi Thalib." (Asy-Syarhul Kabir Ibn Qudamah, 12 : 45)

            Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang hukum catur, beliau menjawab :

هي شَرٌّ من النرد

“Permainan itu lebih buruk dari pada dadu.”

            Juga diriwayatkan dari Ibnu Syihab, bahwa sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu pernah mengatakan:

لَا يَلْعَبُ بِالشِّطْرَنْجِ إِلَّا خَاطِئٌ

“Tidak ada yang bermain catur, kecuali orang yang berdosa.”

            Sementara itu, dari Abu Ubaidillah bin Abu Ja’far, bahwa Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu membenci bermain catur.

            Ibnu Syihab Az-Zuhri rahimahullah juga pernah ditanya tentang bermain catur, kemudian beliau menjawab:

هِيَ مِنَ الْبَاطِلِ وَلَا يُحِبُّ اللهُ الْبَاطِلَ

“Itu termasuk kebatilan dan Allah tidak mencintai kebatilan.”

            Semua riwayat sahabat di atas disebutkan oleh Imam Al-Baihaqi rahimahullah dalam Syuabul Iman, no. 6097.

            Dari Ibnu Abi Laila, dari Al-Hakam, beliau berkomentar tentang permainan catur:

كَانُوا يُنْزِلُونَ النَّاظِرَ إِلَيْهَا كَالنَّاظِرِ إِلَى لَحْمِ الْخِنْزِيرِ، وَالَّذِي يُقَلِّبُهَا كَالَّذِي يُقَلِّبُ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ

“Para sahabat menganggap orang yang melihat papan catur sebagaimana orang yang melihat daging babi. Sementara orang yang menggerakkan pion catur seperti orang yang membolak-balikkan daging babi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 26160)

4. Keterangan Ulama

            Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Untuk main catur, sama haramnya dengan main dadu.” (Al-Mughni, 14 : 155)

            Dalam kumpulan dosa-dosa besar, Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Tentang permainan catur, mayoritas ulama mengharamkannya, baik dengan taruhan maupun tanpa taruhan. Jika dengan taruhan maka statusnya judi, tanpa ada perselisihan ulama. Jika tanpa taruhan, itu juga termasuk judi menurut mayoritas ulama.” (Al-Kabair, 89)

            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Permainan catur termasuk kemungkaran sebagaimana yang dinyatakan oleh ‘Ali, Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya. Oleh karena itu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan selainnya bersikap keras dalam hal ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Tidak boleh menyalami para pemain catur karena mereka nyata-nyata menampakkan maksiat.” Sedangkan murid-murid Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak mengapa jika menyalami mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 32 : 245).

Bermain Catur Termasuk Maysir

            Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90). Maysir sebenarnya lebih umum dari berjudi.

            Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata, “Maysir ada dua macam: 1) bentuk permainan seperti dadu, catur dan berbagai bentuk permainan yang melalaikan, dan 2) bentuk perjudian, yaitu yang mengandung unsur spekulasi atau untung-untungan di dalamnya.” Bahkan Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar memberikan jawaban lebih umum ketika ditanya mengenai apa itu maysir. Jawaban beliau, “Setiap yang melalaikan dari dzikrullah (mengingat Allah) dan dari shalat, itulah yang disebut maysir.” (Dinukil dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 39 : 406).

            Sebagai penutup kami sampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ

“Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

            Jika anda ingin baik, maka jauhilah hal yang tidak bermanfaat. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah. Kesempurnaan hanya milik Allah Rabb semesta alam dan kekurangan hanya dari penulis dan dari setan yang terlaknat. Wallahu a’lam, Semoga Bermanfaat.

0 Comment for "Larangan Bermain Catur"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top