Mihrab Imam Lebih Tinggi Dari Makmum

“Apabila seseorang mengimami masyarakat, janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi makmum.” (HR. Abu Dawud no. 598)


Sebagian besar masjid di negeri kita ini umumnya memiliki mihrab imam yang lebih tinggi dari makmum, ada yang hanya beberapa centimeter, ada yang hanya sejengkal bahkan ada yang sampai sehasta. Beberapa ulama mengharamkan secara mutlak hal ini, ada beberapa ulama pula yang hanya memakruhkan dan sebagian lagi membolehkan hal ini. Lalu bagaimanakah hukum mihrab imam yang lebih tinggi dari makmum ini menurut pandangan syari’at? Berikut ulasannya.

 Pada dasarnya, islam melarang posisi imam ketika shalat jamaah lebih tinggi dibandingkan posisi makmum. Para ulama menghukumi makruh hal ini dan ini adalah pendapat jumhur.

Syaikh Zainuddin Al-Malibari rahimahullah berkata: “Makruh lebih tinggi (irtifa’) posisi salah seorang dari imam atau makmum atas lainnya dengan tanpa ada hajad, meskipun keduanya dalam masjid.” (Fathul Muin, Jilid 2 hal. 30)

Menurut Syaikh Al-Bakri Ad-Damyathi rahimahullah yang dimaksud dengan irtifa’ (lebih tinggi) adalah irtifa’ yang nyata pada pandangan kasat mata, meskipun sedikit, asalkan ‘urf masih menganggapnya sebagai irtifa’. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa kedudukan makruh itu apabila keduanya mungkin berada dalam posisi yang sama rata, jika tidak mungkin, yaitu dimana tempat shalat terbuat dengan keadaan ada yang tinggi dan ada yang rendah, maka tidak makruh. Al-Bakri juga menyebut contoh tidak makruh bahkan sunnah kalau ada hajad, antara lain keadaan posisi imam lebih tinggi diharapkan supaya dapat menjadi pengajaran imam kepada makmum tentang sifat-sifat shalat dan contoh yang lain adalah makmum yang berposisi sebagai mubaligh takbir imam.” (Fathul Muin, Jilid 2 hal. 30)

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah mengutip keterangan dari Imam Asy-Syafii rahimahullah:

وقال الشافعي: أختار للإمام الذي يعلم من خلفه أن يصلي على الشيء المرتفع، فيراه من خلفه، فيقتدون به؛ لما روى سهل بن سعد

“Saya berpendapat bahwa imam yang hendak mengajari shalat makmum di belakangnya, dia boleh shalat di tempat yang tinggi, agar bisa dilihat oleh orang yang berada di belakangnya, sehingga mereka bisa mengikuti shalatnya imam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahl bin Sa’d.” (Al-Mughni, Jilid 2 hal. 154)

Ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini, diantaranya:

Dari Adi bin Tsabit Al-Anshari bahwa ada seseorang yang bersama sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu di kota Al-Madain. Ketika datang waktu shalat dan dikumandangkan iqamah, Ammar maju menjadi imam dan berdiri di atas dukkan (tempat yang digunakan untuk duduk sebagaimana kursi, biasanya dalam bentuk bangunan kotak kecil di dasar tembok, layaknya teras sebuah rumah), sementara makmum shalat di bawah. Melihat ini, Hudzaifah pun maju dan menarik tangannya Ammar, beliau pun mengikuti Hudzaifah, hingga Hudzaifah menurunkan amar di tanah. Seusai shalat, Hudzaifah berkata kepada Ammar:

أَلَمْ تَسْمَعْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إِذَا أَمَّ الرَّجُلُ الْقَوْمَ فَلَا يَقُمْ فِي مَكَانٍ أَرْفَعَ مِنْ مَقَامِهِمْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ؟، قَالَ عَمَّارٌ: لِذَلِكَ اتَّبَعْتُكَ حِينَ أَخَذْتَ عَلَى يَدَيَّ

“Tidakkah anda mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seseorang mengimami masyarakat, janganlah dia berdiri di tempat yang lebih tinggi dari posisi makmum.” atau yang semacam itu? Ammar menjawab: “Dan karena itu, saya mau mengikutimu ketika engkau menarik tanganku.” (HR. Abu Dawud no. 598)

Dalam riwayat lain, dari sahabat Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan:

وَلَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ عَلَيْهِ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ وَرَاءَهُ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، ثُمَّ رَفَعَ فَنَزَلَ الْقَهْقَرَى حَتَّى سَجَدَ فِي أَصْلِ الْمِنْبَرِ، ثُمَّ عَادَ، حَتَّى فَرَغَ مِنْ آخِرِ صَلَاتِهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي صَنَعْتُ هَذَا لِتَأْتَمُّوا بِي، وَلِتَعَلَّمُوا صَلَاتِي»

“Saya pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami di atas mimbar. Beliau takbiratul ihram dan jamaah pun ikut takbir di belakang beliau, sementara beliau di atas mimbar. Kemudian, ketika beliau i’tidal, beliau mundur ke belakang untuk turun, sehingga beliau sujud di tanah. Lalu beliau kembali lagi ke atas mimbar, hingga beliau menyelesaikan shalatnya. Kemudian beliau menghadap kepada para sahabat, dan bersabda, ”Wahai para sahabat, aku lakukan ini agar kalian bisa mengikutiku dan mempelajari shalatku.” (HR. Al-Bukhari no. 377 dan Muslim no. 544)

Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam mensyarah hadits di atas, beliau berkata: “Pada hadits di atas dapat dipahami kebolehan berbeda tinggi dan rendahnya tempat imam dan makmum.”

Namun dibawahnya, beliau mengutip perkataan Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah dengan tanpa komentar apapun, yaitu: “Barang siapa yang melakukan pendalilian dengan hadits ini kepada kebolehan berada pada tempat yang tinggi tanpa qashad ta’lim (mengajar), maka tidak dapat diterima.” (Fathul Bari, Jilid 1 hal. 487)

Jika melihat dari pendapat Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah yang menolak penggunaan hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu ini sebagai dalil membolehkan (mubah) irtifa’ atau posisi imam lebih tinggi dari makmum. Maka bisa disimpulkan bahwa Ibnu Daqiq Al-‘Aid rahimahullah melarang hal ini.

Tarjih

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hukum mihrab imam lebih tinggi dari makmum adalah makruh atau dibenci bahkan bisa menjadi haram jika tak ada kebutuhan, namun diperbolehkan jika ada tujuan salah satu tujuannya adalah untuk mengajarkan jama’ah tata cara shalat yang benar sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, namun beberapa ulama tetap menganggap hal itu tidak merubah kemakruhan hal ini. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

0 Comment for "Mihrab Imam Lebih Tinggi Dari Makmum"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top