“Allah tidak menyukai
ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiyaya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 148)
Seperti sudah
dijelaskan sebelumnya mengenai Tercelanya Perilaku Ghibah. Pada artikel
kali ini akan dibahas mengenai pengecualian dalam masalah haramnya ghibah.
Dalam beberapa hal, ghibah ini diperbolehkan bahkan statusnya bisa menjadi
wajib. Lalu dalam perkara apa saja ghibah itu diperbolehkan?
Imam
Abu Zakariya An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa ada 6
perkara yang diperbolehkan untuk ghibah, sebagaimana beberapa bait sya’ir Imam
An-Nawawi rahimahullah yang disebutkan dalam Al-Adzkar. Beliau
bersya’ir:
الـذَّمُّ لَيْـسَ
بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ وَ
مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ
فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ
وَمَنْ طَلَبَ
الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan bukanlah
ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang
mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang
yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang
mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran
6 perkara yang
diperbolehkan untuk ghibah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah
antara lain:
1 – Pengaduan
Pengaduan maka
dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau
hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili
orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata: “Si fulan telah
menganiaya saya demikian-demikian.” Dalilnya firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ
بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“Allah
tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiyaya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 148)
Pengecualian yang terdapat
dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang dizhalimi mengghibahi orang
yang menzhaliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada manusia tentang kezhaliman
yang telah dialaminya dari orang yang menzhaliminya, dan dia mengeraskan
suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat berkumpulnya
manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang diharapkan
bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang dia tidak
mengharapkan bantuan mereka.
2 – Untuk Pengenalan
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob
(gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’araj (si pincang) atau Al-A’ma
(si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharamkan
menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk
mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut
lebih baik.
3 – Untuk Memperingatkan Kaum Muslimin
dari Kejelekan
Hal ini sebagaimana telah
dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan
ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini
senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk
menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits: “Si fulan pendusta”,
“Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, “Si fulan ditinggalkan
periwayatannya” dan lain-lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: “Seperti para imam kebid’ahan yaitu
orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Al-Kitab
dan As-Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari
Kitab dan Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari
(bahaya) mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan
kepada Imam Ahmad: “Seorang laki-laki puasa dan shalat dan beri’tikaf lebih
engkau sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah?” Maka beliau
menjawab: “Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu (kemanfaaatannya)
adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan (kejelekan) ahlul
bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini (membicarkan
kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan
bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum
muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya
dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul
bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan
kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya
lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul
harbi (orang kafir yang menyerang). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah
merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya
belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula.” (Majmu’
Al-Fatawa, Jilid 26 hal. 131 dan 232)
Contoh yang lain
yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak
mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi
tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah binti Qois radhiyallahu ‘anha.
Beliau berkata:
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ خَطَبَانِ, فَقَالَ
رَسُوْلُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا
عَنْ عَاتِقِهِ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ
“Saya
datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya
Abul Jahm dan Mu’awiyah meminang saya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Adapun Mu’awiyah maka ia seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia
tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya.” Dan dalam riwayat yang lain
di Muslim: “Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita
(istri-istrinya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan jika nasehat
hukumnya wajib untuk memperoleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi
orang-orang tertentu sebagaimana pada hadits-hadits di atas, maka bagaimanakah
dengan nasehat yang berkaitan dengan banyak orang? tidak diragukan lagi maka
hukumnya lebih wajib lagi. Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan
para perawi hadits. Berkata Yahya bin Sa’id, “Aku bertanya kepada Malik,
Ats-Tsauri, dan Al-Laits bin Sa’ad dan aku rasa juga Al-Auza’i tentang
seseorang yang tertuduh berdusta dalam hadits atau seorang perawi yang tidak
hafal?” mereka berkata, بَيِّنْ
أَمْرَهُ “Jelaskanlah perkaranya.” Ada orang berkata kepada Imam Ahmad
bin Hanbal, “Aku merasa berat untuk berkata si fulan demikian, si fulan
demikian…”. Maka Imam Ahmad berkata, إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا
فَمَتَى يَعْرِفُ الْجَاهِلُ الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ “Jika engkau diam (tidak menjelaskan) dan
aku juga diam (tidak menjelaskan) maka kapankah orang jahil membedakan antara
yang benar dari yang salah?”
Contohnya juga (yang
berkaitan dengan kemaslahatan orang umum) adalah menjelaskan
kesalahan-kesalahan pemuka-pemuka bid’ah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan
model-model ibadah baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadits maka
menjelaskan kesalahan mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka
hukumnya adalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid 28 hal. 230-231)
Syaikhul Islam Ibnul
Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata: “Perbedaan antara nasehat dan
gibah adalah tujuan dari nasehat adalah untuk memperingatkan seorang muslim
dari (bahaya) seorang mubtadi’, maka engkau menjelaskan kondisi mubtadi’
tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu karena ingin bersahabat dengan
mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah dengannya atau ingin berhubungan
dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
Fathimah binti Qois. Jika ghibah disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah,
Rasul-Nya, dan hamba-hamba-Nya kaum muslimin maka jadilah ghibah tersebut
merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika
ghibah disampaikan dalam bentuk celaan terhadap saudaramu dan untuk mengoyak
kehormatannya dan bersenang-senang memakan daging (tubuhnya) serta untuk
merendahkan dirinya agar kedudukannya jatuh di hati orang-orang maka ini
merupakan penyakit yang bahaya dan api yang membakar kebaikan-kebaikan
sebagaimana api yang membakar kayu bakar.” (Ruh, hal 240)
4 – Terhadap Orang Yang Menampakan Kefasikan
Ghibah dibolehkan
kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau
kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer, mengambil
harta manusia dengan zhalim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan
kejelekan-kejelekannya. Hal ini sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu
‘anha, beliau berkata:
أَنَّ رَجُلاً
اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
“Seseorang
datang minta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang
yang ditengah kaumnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi tetap diharamkan
menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab
lain yang membolehkannya. (Bahjatun Nadzirin, Jilid 3 hal. 35)
5 – Meminta Fatwa
Ghibah
diperbolehkan dalam perkara meminta fatwa atas suatu hukum. Misalnya ada
seseorang berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat zhalim padaku,
atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah menzhalimiku, apakah dia mendapatkan
hukuman ini? Dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku
peroleh dan terhindar dari kezhaliman?” dan yang semisalnya. Tetapi yang lebih
hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya seseorang itu berkata kepada si
mufti: “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang telah
melakukan demikian?” Maka dengan cara ini tujuan bisa diperoleh tanpa harus
menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang tertentu pun boleh
sebagaimana dalam hadits Hindun radhiyallahu ‘anha. Beliau berkata:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ
شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ
مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ: خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya
Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup belanja untukku dan
unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar pengetahuannya.” Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Ambillah apa yang cukup untukmu dan
untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu banyak dan jangan
terlalu sedikit).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
6 – Mencari Bantuan untuk Menghilangkan
Kemungkaran
Meminta bantuan untuk
mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran.
Maka dia dibolehkan berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa
menghilangkan kemungkaran: “Si fulan telah berbuat demikian, maka hentikanlah
dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya tujuannya adalah
sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya tidak demikian
maka hal ini adalah haram. Hal ini sebagai bentuk aplikasi dari hadits Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
“Siapa
yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka
rubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya dan
hal tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Ghibah Yang Diperbolehkan"