Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Haidh

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” (QS. Al-Waqi’ah [56] : 79)


Al-Quran merupakan petunjuk hidup. Al-Quran adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk bagi orang-orang yang beriman. Membaca dan mengamalkannya adalah hal yang sangat dianjurkan bagi umat Islam. Bahkan membaca ataupun mendengarkannya saja seseorang akan mendapatkan berkah. Pahala yang akan didapatkan seseorang yang membaca Al-Quran dengan ikhlas adalah 10 kebaikan setiap hurufnya, sebagaimana sebuah riwayat yang sudah sangat masyhur, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitabullah maka baginya satu kebaikan dan satu kebaikan itu senilai dengan sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan ‘Alif Lam Mim’ itu satu huruf, akan tetapi ‘Alif’ satu huruf, ‘Lam’ satu huruf, dan ‘Mim’ satu huruf.” (HR. At-Tirmizi no. 2910)

Akan tetapi adakalanya justru kita dilarang untuk membaca Al-Quran. Ada beberapa keadaan yang diharamkan untuk membaca Al-Quran bahkan menyentuhnya yaitu dalam keadaan tidak suci atau berhadats. Dalam hal ini, penulis akan lebih fokus pada permasalahan wanita haidh. Apakah diperbolehkan atau tidak seorang wanita membaca Al-Quran ketika dia haidh.

Imam Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah berkata:

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ فِي قِرَاءَةِ الْحَائِضِ الْقُرْآنَ قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا الْمَشْهُورَ تَحْرِيمُهَا وَلَا يُنْسَى غَالِبًا فِي هَذَا الْقَدْرِ وَلِأَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِي بِإِمْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَى القلب

“Pendapat para ulama mengenai hukum wanita haidh membaca Al-Quran adalah haram. Masa haidh yang berangsung beberapa hari biasanya tidak sampai bisa membuat orang lupa pada hafalannya. Dan jika tetap khawatir lupa pada hafalannya, maka cukuplah ia menghafal di dalam hatinya.” (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 356)

            Imam Abu Zakariya An-Nawawi rahimahullah pun menegaskan kembali hal ini dalam perkaataannya:

يحرم على المحدث مس المصحف وحمله سواء إن حمله بعلاقته أو في كمه أو على رأسه وحكى القاضي حسين والمتولي وجها أنه يجوز حمله بعلاقته وهو شاذ في المذهب وضعيف قال أصحابنا : وسواء مس نفس الأسطر أو ما بينها أو الحواشي أو الجلد فكل ذلك حرام . وفي مس الجلد وجه ضعيف أنه يجوز وحكى الدارمي وجها شاذا بعيدا أنه لا يحرم مس الجلد ولا الحواشي ولا ما بين الأسطر ولا يحرم إلا نفس المكتوب . والصحيح الذي قطع به الجمهور تحريم الجميع

“Haram bagi orang yang berhadats menyentuh dan membawa Al-Quran baik membawanya dengan gantungan, atau pada lengan atau pada kepalanya. Qadhi Husain dan Mutawalli meriwayatkan pendapat lain bahwa membawa dengan gantungan itu boleh tapi ini pendapat yang minoritas dan lemah dalam Madzhab Asy-Syafi'i. Ulama Asy-Syafi'i berkata: (keharaman itu) meliputi menyentuh tulisannya atau di antara tulisan atau bagian pinggir atau kulitnya. Semua itu haram. Namun dalam soal menyentuh kulit Al-Quran ada pendapat yang dhaif bahwa itu dibolehkan. Al-Darimi meriwayatkan pendapat yang sangat syadz (langka) bahwa menyentuh kulit kitab suci itu tidak haram termasuk juga menyentuh bagian pinggir, antara tulisan tidak haram kecuali tulisan itu sendiri. Pendapat yang sahih seperti yang ditetapkan jumhur (mayoritas) ulama adalah haram semuanya.” (Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 2 hal. 80)

Syaikhul Islam Abu Yahya Zakaria Al-Anshari rahimahullah berkata:

وَلَمْ يَحِلَّ وَطْؤُهَا وَلَا غَيْرُهُ مِنْ التَّمَتُّعِ الْمُحَرَّمِ وَالْقِرَاءَةِ وَمَسِّ الْمُصْحَفِ وَنَحْوِهَا

“Dan tidak di halalkan seorang wanita untuk digauli pada saat haidh, begitu juga percumbuan yang diharamkan, serta melafazhkan Al-Quran serta menyentuhnya.” (Asnal Mathalib Syarh Raudh Ath-Thalib, Jilid 1 hal. 102)

Dan tidak di perbolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Quran diluar shalat. Maksudnya adalah, jika ia sudah waktunya bersuci dan tidak mendapati air untuk mandi besar, maka baginya boleh bertayammum lalu shalat, dan di dalam shalatnya ia boleh membaca ayat-ayat Al-Quran. Dan tidak di perbolehkan ketika diluar shalat. Namun jika ia takut akan lupa hafalan Al-Qurannya, maka diperbolehkan membacanya di dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:

إمَّا فِي الصَّلَاةِ فَجَائِزَةٌ مُطْلَقًا

“Melafazhkan Al-Quran pada saat menunaikan shalat itu boleh baginya.” (Al-Minhaj Al-Qawim, Jilid 1 hal. 408)

Perkataan menjelaskan bahwa jika seorang wanita haidh sudah tidak keluar lagi darahnya, namun tidak menemukan air sama sekali untuk bersuci, boleh baginya bertayammum sekedar untuk bisa melaksanakan shalat. Walaupun nanti ketika ia menemukan air, wajib baginya mandi janabah. Dalam keadaan  shalat itu, ia boleh melafazhkan Al-Quran. Namun tidak demikian jika diluar shalat.

Imam Muhammad Khatib Asy-Syirbini rahimahullah berkata:

أَمَّا فِي الصَّلَاةِ فَجَائِزَةٌ مُطْلَقًا، وَقِيلَ تُبَاحُ لَهَا الْقِرَاءَةُ مُطْلَقًا خَوْفَ النِّسْيَانِ بِخِلَافِ الْجُنُبِ لِقَصْرِ زَمَنِ الْجَنَابَةِ، وَقِيلَ تَحْرُمُ الزِّيَادَةُ عَلَى الْفَاتِحَةِ فِي الصَّلَاةِ كَالْجُنُبِ الْفَاقِدِ لِلطَّهُورَيْنِ

“Bagi wanita haidh, boleh membaca Al-Quran dalam shalat. Dan ada yang berpendapat: diperbolehkan bagi wanita haidh membaca Al-Quran karena takut akan lupa hafalannya, karena masa haidh lebih lama di banding dengan junub. Dan ada juga yang berpendapat diharamkan wanita haidh membaca lebih dari Al-Fatihah dalam shalat. Sebagaimana keterangan dalam pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami, jika wanita haidh tidak menemukan air untuk bersuci, lalu ia bertayammum dan shalat, maka baginya boleh membaca ayat Al-Quran dalam shalatnya.” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid 1 hal. 290)

            Para ulama menyatakan bahwa membaca dan menyentuh mushaf Al-Quran adalah dilarang bagi wanita yang sedang haidh atau junub, mereka mengambil pendapat ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara (mashaf). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci, yang diturunkan dari Tuhan Semesta Alam.” (QS. Al-Waqi’ah [56] : 77-80)

Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini Ad-Damsyiqi rahimahullah menyatakan bahwa dhamir ‘hu’ pada perkataan ‘لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ’ kembali kepada kitab Al-Quran dan ‘الْمُطَهَّرُونَ’ bermakna orang yang suci. Sehingga makna ayat tersebut adalah “Tidak menyentuh kitab Al-Quran itu kecuali oleh orang yang suci.” Mengembalikan dhamir ‘hu’ kepada kitab Al-Quran karena Al-Quran adalah lafazh yang dekat penyebutannya. Tidak mungkin memaknai ‘الْمُطَهَّرُونَ’ dengan makna malaikat, karena ayat ini adalah kalam istitsna yang mengandung nafi dan itsbat. Kalam nafi dan itsbat, hanya pada sesuatu yang mempunyai kemungkinan diitsbat dan juga kemungkinan dinafikannya. Ini hanya ada pada manusia, tidak pada malaikat, karena malaikat diciptakan Allah dalam keadaan selalu suci.” (Kifayatul Akhyar, Jilid 1 hal. 81)

            Juga terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan mengenai larangan ini, salah satunya adalah suatu riwayat yang menjelaskan mengenai surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dikirimkan kepada keluarga Amr bin Hazm radhiyallahu ‘anhum di Yaman. Didalam surat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يمس القرآن إلا طاهر

“Tidaklah boleh menyentuh mushaf kecuali orang yang bersuci.” (HR. Malik no. 469, Al-Hakim no. 1447 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13039)

            Hal ini dikuatkan pula oleh sebuah atsar dari Imam Nafi rahimahullah, beliau menyatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaan suci. Sebagaimana dijelaskan dalam atsar dibawah ini:

عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ لَا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إِلَّا وَهُوَ طَاهِرٌ

“Dari Nafi’, dari Ibnu Umar: Bahwasannya ia tidak pernah menyentuh mushhaf kecuali dalam keadaaan suci.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 7506)

            Juga dari hadits Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni rahimahullah dalam Kitab Sunan Ad-Daruquthni:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ، قَالَ: كُنَّا مَعَ  سَلْمَانَ  فَخَرَجَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ، فَقُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، لَوْ تَوَضَّأْتَ لَعَلَّنَا أَنْ نَسْأَلَكَ عَنْ آيَاتٍ، فَقَالَ: إِنِّي لَسْتُ أَمَسُّهُ إِنَّمَا لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ، فَقَرَأَ عَلَيْنَا مَا شئنا

“Dari Abdurrahman bin Yazid, ia berkata: Kami pernah bersama Salman (Al-Farisi). Lalu ia keluar untuk menunaikan hajatnya. Tidak lama kemudian ia kembali. Aku berkata: “Wahai Abu Abdirrahman, seandainya engkau berwudhu, karena barangkali kami akan bertanya kepadamu tentang beberapa ayat Al-Quran.” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku tidak menyentuhnya, karena tidaklah menyentuh Al-Quran kecuali hamba-hamba yang disucikan.” Lalu ia membacakan kepada kami (beberapa ayat) sesuai yang kami inginkan.” (HR. Ad-Daruquthni no. 443)

            Berdasarkan penjelasan para ulama di atas dan juga dikuatkan dengan dalil-dalil yang bersumber dari Al-Quran, As-Sunnah serta Atsar Para Sahabat. Dapat disimpulkan bahwa wanita haidh dilarang untuk membaca Al-Quran juga memegang mushhafnya hingga dia kembali suci yaitu dengan berakhirnya masa haidh serta dibarengi dengan mandi junub atau tayamum jika tidak ditemukannya air. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

2 Comment for "Hukum Membaca Al-Quran Bagi Wanita Haidh"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top