“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam terus-menerus melaksanakan qunut dalam Shalat Shubuh hingga beliau
meninggalkan dunia (wafat).” (HR. Ahmad 3/162)
Sering sekali kita memperhatikan
perdebatan sengit yang berujung pada saling benci dan bid’ah membid’ahkan antar
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, salah satu hal yang menjadi pokok sentral sejak zaman
dahulu hingga saat ini adalah masalah Qunut Shubuh. Qunut Shubuh sendiri
merupakan masalah ijtihadiyah dan merupakan perbedaan furu’iyah, perbedaan ini
terjadi karena adanya perbdeaan ijtihad dalam penilaian hadits mengenai qunut
shubuh. Dan para ulama sejak masa salaf hingga khalaf tidak pernah
mempermasalahkan secara serius mengani hal ini. Hal ini bisa dilihat dari
perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengenai qunut shubuh,
beliau berkata:
إِنْ قَنَتَ فِى الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ
لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Jika
melakukan qunut maka itu baik dan jika meninggalkannya itu juga baik.” (HR.
Al-Baihaqi 2/363)
Hanya saja ada beberapa orang yang
ngotot dan mengatakan bahwa Qunut Shubuh adalah Bid’ah dan pelakunya dikatakan
sebagai Ahlul Bid’ah, padahal pernyataan seperti ini artinya sama saja dia
menyatakan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan Imam Malik rahimahullah
adalah Ahlul Bid’ah karena mereka menyatakan qunut Shubuh adalah sunnah.
Padahal kita tahu, justru mereka adalah orang yang sangat keras terhadap Bid’ah
dan mereka adalah para ulama Ahlus Sunnah yang mulia.
Masalah ikhtilaf ini seharusnya
disikapi oleh kita dengan lapang dada dan saling legowo, apalagi ini hanyalah
masalah ikhtilaf ijtihadiyah. Jika seseorang yakin bahwa Qunut shubuh adalah
sunnah maka laksanakanlah sunnah itu, jika meyakini qunut shubuh bukan sunnah
maka tinggalkanlah dan jangan sampai memperuncing keadaan.
Pada kesempatan kali ini, penulis
akan memberikan penjelasan alasan Madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa Qunut
Shubuh adalah Sunnah. Semoga dengan penjelasan ini umat Islam bisa saling
toleransi dan semakin mempersatukan umat Islam.
Qunut
Shubuh adalah Sunnah dalam Madzhab Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
tidaklah berijtihad secara dangkal, namun melalui sekian banyak penelitian
terhadap hadits yang berkaitan dengan Qunut dalam salat Shubuh, diawali dengan
perkataan beliau:
أَخْبَرَنَا الرَّبِيْعُ قَالَ أَخْبَرَنَا
الشَّافِعِي قَالَ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ عَنْ مَعْقِلٍ أَنَّ عَلِيًّا رَضِىَ اللهُ
عَنْهُ قَنَّتَ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ وَهُمْ لَا يَرَوْنَ الْقُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ
وَنَحْنُ نَرَاهُ للِسُّنَّةِ الثَّابِتَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَنَّتَ فِي الصُّبْحِ
“Rabi’
telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syafii telah memberi kabar
kepada kami, ia berkata Husyaim memberi kabar kepada kami dari Ma’qil bahwa Ali
radhiyallahu ‘anhu melakukan qunut dalam salat Shubuh, mereka tidak sependapat
dengan Qunut salat Shubuh dan kami berpendapat demikian, berdasarkan sunnah
yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
melakukan Qunut dalam salat Shubuh.” (Al-Umm, Jilid 7 hal. 177)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
juga menyebut bahwa sebelum adanya Qunut Nazilah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah melakukan Qunut dalam shalat Shubuh dan tetap
dilanjutkan hingga wafat bahkan dilanjutkan oleh para Khalifah yang empat:
وَيَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ
الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ
يَتْرُكْ عَلِمْنَاهُ الْقُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ قَطُّ وَإِنَّمَا قَنَتَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَاءَهُ قَتْلُ أَهْلِ بِئْرِ مَعُوْنَةَ خَمْسَ
عَشَرَ لَيْلَةً يَدْعُوْ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا
ثُمَّ تَرَكَ الْقُنُوْتَ فِي الصَّلَوَاتِ كُلِّهَا فَأَمَّا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ
فَلَا أَعْلَمُ أَنَّهُ تَرَكَهُ بَلْ نَعْلَمُ أَنَّهُ قَنَتَ فِي الصُّبْحِ قَبْلَ
قَتْلِ أَهْلِ بِئْرِ مَعُوْنَةَ وَبَعْدُ. وَقَدْ قَنَتَ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعَلِيُّ بْنُ أَبِى طَالِبٍ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُمْ كُلُّهُمْ بَعْدَ الرُّكُوْعِ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ فِي
بَعْضِ إِمَارَتِهِ ثُمَّ قَدَّمَ الْقُنُوْتَ عَلَى الرُّكُوْعِ وَقَالَ لِيُدْرِكَ
مَنْ سَبَقَ بِالصَّلَاةِ الرَّكْعَةَ
“Imam
(hendaknya) melakukan Qunut dalam salat Shubuh setelah rakaat kedua. (Sebab)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan Qunut dalam
salat Shubuh, sepengetahuan kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya melakukan Qunut ketika sampai kepada beliau kabar terbunuhnya penduduk
sumur Maunah selama 15 hari, beliau mendoakan keburukan bagi satu kaum
Musyrikin dalam semua shalat, kemudian beliau meninggalkan Qunut dalam semua
shalat. Adapun dalam shalat Subuh maka tidak saya ketahui beliau
meninggalkannya, bahkan yang kami ketahui beliau sudah melakukan Qunut sebelum
terbunuhnya penduduk sumur Maunah dan sesudahnya. Dan setelah Rasulullah, maka
Abu Bakar, Umar dan Ali juga melakukan Qunut setelah ruku’. Sementara Utsman di
sebagian masa kepemimpinannya memajukan Qunut sebelum ruku’, ia berkata:
“Supaya makmum yang terlambat menemukan rakaat salat.” (Al-Umm, Jilid 7 hal.
148)
Kemudian setelah beratus-ratus tahun
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah wafat, ada seorang ulama Ahlul Hadits
bermadzhab Syafi’i yang dikenal sangat kritis dalam masalah hadits yaitu Imam
An-Nawawi rahimahullah, beliau mentarjih pendapat Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
mengenai masalah Qunut Shubuh. Imam An-Nawawi rahimahullah yang sangat
keras terhadap perilaku Bid’ah justru menyetujui dan tidak menganulir pendapat
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam hal Qunut Shubuh ini. Belia berkata:
مَذْهَبُ الشَّافِعِيّ رَحِمَهُ الله أَنَّ
الْقُنُوْتَ مَسْنُوْنٌ فِي صَلَاةِ الصُّبْح دَائِمًا، وَأَمَّا غَيْرُهَا فَلَهُ
فِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ: الصَّحِيحُ الْمَشْهُورُ: أَنَّهُ إِنْ نَزَلَتْ نَازِلَةٌ
كَعَدُوٍّ وَقَحْطٍ وَوَبَاءٍ وَعَطَشٍ وَضَرَرٍ ظَاهِرٍ فِي الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوِ
ذَلِكَ قَنَتُوا فِي جَمِيْعِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَةِ وَإِلَّا فَلَا. وَالثَّانِي
يَقْنُتُونَ فِي الْحَالَيْنِ. وَالثَّالِثُ: لَا يَقْنُتُونَ فِي الْحَالَيْنِ. وَمَحَلُّ
الْقُنُوتِ بَعْدَ رَفْعِ الرَّأْسِ مِنْ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الْأَخِيرَةِ.
وَفِي اِسْتِحْبَابِ الْجَهْرِ بِالْقُنُوتِ فِي الصَّلَاةِ الْجَهْرِيَّةِ وَجْهَانِ:
أَصَحُّهُمَا: يَجْهَرُ، وَيُسْتَحَبُّ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْهِ، وَلَا يَمْسَحُ
الْوَجْهَ. وَقِيْلَ: يُسْتَحَبُّ مَسْحُهُ، وَقِيْلَ: لَا يَرْفَعُ الْيَدَ. وَاتَّفَقُوا
عَلَى كَرَاهَةِ مَسْحِ الصَّدْرِ، وَالصَّحِيْحُ: أَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ فِيْهِ
دُعَاءٌ مَخْصُوْصٌ، بَلْ يَحْصُلُ بِكُلِّ دُعَاءٍ. وَفِيْهِ وَجْهٌ: أَنَّهُ لَا
يَحْصُلُ إِلَّا بِالدُّعَاءِ الْمَشْهُورِ: ( اللَّهُمَّ اِهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْت
. . . ) إِلَى آخِره. وَالصَّحِيح أَنَّ هَذَا مُسْتَحَبٌّ لَا شَرْطٌ، وَلَوْ تَرَكَ
الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ سَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ
وَآخَرُونَ إِلَى أَنَّهُ لَا قُنُوْتَ فِي الصُّبْحِ، وَقَالَ مَالِكٌ: يَقْنُتُ قَبْل
الرُّكُوعِ. وَدَلَائِلُ الْجَمْعِ مَعْرُوفَةٌ، وَقَدْ أَوْضَحْتُهَا فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ.
وَاللَّهُ أَعْلَم
“Madzhab
Asy-Syafii rahimahullah menyatakan bahwa Qunut disunnahkan dalam salat Shubuh
selamanya. Adapun selain Qunut Shubuh ada 4 pendapat, yang shahih dan masyhur
adalah jika ada musibah seperti musuh, paceklik, wabah penyakit, kehausan,
petaka yang tampak dalam kaum Muslimin dan sebagainya, maka mereka melakukan
Qunut dalam semua waktu shalat wajib, jika tidak maka tidak melakukan Qunut.
Pendapat kedua melakukan Qunut dalam dua kondisi tersebut. Pendapat ketiga
tidak melakukan Qunut dalam kondisi keduanya. Tempat melakukan Qunut adalah
setelah bangun dari ruku’ di rakaat terakhir. Dalam kesunnahan mengeraskan Qunut
saat salat yang dianjurkan mengeraskan suara ada 2 pendapat dari Ashab
Syafi’iyah, yang lebih kuat yaitu mengeraskan suara Qunut. Dianjurkan pula
mengangkat kedua tangan dalam Qunut, tidak mengusap wajah, ada pendapat
mengusap wajah. Ada pendapat pula tidak mengangkat tangan. Dan ulama sepakat
makruhnya mengusap dada. Pendapat yang shahih tidak ditentukan doa dalam Qunut,
boleh dengan doa apa saja. Ada pendapat dari Ashab Syafi’i yang mengharuskan
dengan doa yang sudah masyhur ‘Allahumma ihdini fi man hadaita’… Pendapat yang
shahih ini adalah kesunnahan, bukan syarat. Jika meninggalkan Qunut dalam
shalat Shubuh maka sujud Sahwi. Abu Hanifah, Ahmad dan lainnya berpendapat
tidak ada Qunut dalam Shubuh, Malik berkata: Qunut sebelum ruku’. Dalil-dalil
yang mengkompromikan sudah diketahui dan sudah saya jelaskan dalam (Al-Majmu’)
Syarah Muhadzab. Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, Jilid 2 hal. 481)
Dalil-Dalil
Yang Menjadi Landasan Qunut Shubuh
Riwayat pertama adalah dari jalan Abu
Ja’far Ar-Razi dari Ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata:
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus melaksanakan qunut dalam Shalat
Shubuh hingga beliau meninggalkan dunia (wafat).” (HR. Ahmad 3/162)
Mengenai hadits di atas Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata:
وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه،
وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم أبو عبد الله في
مواضع من كتبه والبيهقي, ورواه الدارقطني من طرق بأسانيد صحيحة
“Hadits
itu shahih, telah diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan menshahihkannya. Di
antara yang menash atas keshahihannya adalah Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad
bin Ali Al-Balkhi dan Al-Hakim Abu
Abdillah di beberapa tempat dari kitabnya dan juga Al-Baihaqi. Ad-Daruquthni
juga meriwayatkannya dari jalan yang sanad-sanadnya shahih.” (Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 504)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
berkata:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا. (حم عب) حسن
“Diriwayatkan
dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terus-menerus melaksanakan qunut dalam Shalat Shubuh hingga beliau meninggalkan
dunia (wafat).” (HR. Ahmad) Aku berkata: Hadits Hasan.” (Raudhat
Al-Muhadditsin, Jilid 11 hal. 277)
Ibnu Bathal Al-Qurthubi rahimahullah
berkata:
وَثَبَتَ قُنُوْتُهُ فِى الصُّبْحِ، وَصَحَّ
الْخَبَرُ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ حَتَّى فَارَقَ
الدُّنْيَا، حَدَّثَنَاهُ عَمْرُو بْنُ عَلِىٍّ قَالَ: أَخْبَرَنَا خَالِدُ بْنُ زَيْدِ،
قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُوْ جَعْفَرِ الرَّازِى عَنِ الرَّبِيْعِ قَالَ: سُئِلَ أَنَسٌ
عَنْ قُنُوْتِ النَّبِى، عَلَيْهِ السَّلَامُ، أَنَّهُ قَنَّتَ شَهْرًا قَالَ: لَمْ
يَزَلْ يَقْنُتُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى مَاتَ، حَدِيْثُ أَبِى مَالِكٍ صَحِيْحٌ
عِنْدَنَا أَيْضًا
“Qunut
dalam Shubuh adalah shahih. Sebuah hadits shahih menyatakan bahwa Nabi selalu
Qunut hingga wafat. Telah bercerita kepada kami Amr bin Ali, ia bercerita bahwa
Khalid bin Zaid bercerita kepada kami, ia berkata bahwa Abu Ja’far Ar-Razi
bercerita kepada kami dari Rabi’: “Anas ditanya tentang Qunutnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau Qunut selama sebulan. Anas menjawab: Nabi selalu
membaca Qunut hingga wafat.” Hadits Abu Malik adalah shahih menurut kami.”
(Syarah Al-Bukhari li Ibnu Baththal, Jilid 4 hal. 210)
Hadits Qunut Shubuh ini telah
dishahihkan oleh para hafizh diantaranya; Imam Nawawi rahimahullah,
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, Al-Hafizh Abu Abdillah
Muhammad Al-Balkhi rahimahullah, Imam Al-Hakim An-Naisaburi rahimahullah,
Imam Al-Baihaqi rahimahullah dan Imam Ad-Daruquthni rahimahullah.
di dalam sanad riwayat terdapat Abu Ja`far Ar-Razi yang telah ditsiqahkan lebih
dari seorang Hafizh, Ibnu Jauzi rahimahullah menyelisihi mereka dengan
mendhaifkanya, tetapi hal ini tidak diterima karena hanya ia saja yang berkata
demikian.
Hadis-Hadis
Lain Yang Menguatkan (Syawahid) Qunut Shubuh
Imam
An-Nawawi rahimahullah beristidlal dengan sebuah hadits shahih:
كَانَ رَسُوْلُ اللَّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرُغَ مِنْ صَلَاة الْفَجْرِ مِنْ الْقِرَاءَةِ
وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبّنَا وَلَك الْحَمْدُ،
ثُمَّ يَقُول: اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيْدَ بْن الْوَلِيْدِ إِلَى آخِرِهِ فِيْهِ
اِسْتِحْبَابُ الْقُنُوْتِ وَالْجَهْرِ بِهِ
“Setelah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dalam shalat Shubuh dari
membaca Al-Fatihah, beliau takbir, lalu bangun dari ruku’ dengan mengucapkan
‘Semoga Allah menerima orang yang memujinya. Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala
pujian, lalu Nabi berdoa: Ya Allah selamatkan Walid bin Walid hingga akhir (HR.
Muslim). Hadits ini adalah anjuran Qunut dan mengeraskan bacaan Qunut.” (Syarah
Shahih Muslim, Jilid 2 hal. 482)
Imam
An-Nawawi rahimahullah juga berkata:
وَهُوَ قَائِمٌ فِي الصَّلَاةِ رَافِعٌ
يَدَيْهِ فَجَعَلَ يُسَبِّحُ . . . إِلَى قَوْله وَيَدْعُوْ فِيْهِ دَلِيلٌ لِأَصْحَابِنَا
فِي رَفْع الْيَدَيْنِ فِي الْقُنُوْتِ، وَرَدٌّ عَلَى مَنْ يَقُوْلُ: لَا تُرْفَعُ
الْأَيْدِي فِي دَعَوَاتِ الصَّلَاةِ
“Rasulullah
berdiri dalam shalat, mengangkat kedua tangannya, lalu bertasbih dan berdoa.…
Hadits ini adalah dalil bagi ulama Syafiiyah dalam mengangkat kedua tangan
dalam Qunut dan membantah pendapat yang mengatakan: Tidak boleh mengangkat
tangan dalam doa saat shalat.” (Syarah Shahih Muslim, Jilid 3 hal. 324)
Imam
Al-Munawi rahimahullah berkata:
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ
في صَلَاةِ الصُّبْحِ فِي آخِرِ رَكْعَةٍ قَنَتَ فِيْهِ أَنَّ الْقُنُوْتَ سُنَّةٌ
فِي الصُّبْحِ مَأْثُوْرَةٌ وَأَنَّهُ كَانَ يُدَاوِمُ عَلَيْهِ لِاقْتِضَاءِ كَانَ
لِلتَّكْرَارِ محمد بن نصر عن أبي هريرة بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
“Jika
Rasulullah mengangkat kepalanya dari ruku’ dalam shalat Shubuh di rakaat yag terakhir,
maka membaca doa Qunut. Hadis ini menunjukkan bahwa Qunut adalah sunnah dalam shalat
Shubuh, berdasarkan riwayat dari Nabi dan Nabi selalu melakukannya. Sebab
redaksi hadits yang berbunyi ‘kaana’ maknanya adalah berulang-ulang (Riwayat Muhammad
bin Nashr dari Abu Hurairah) dengan sanad yang hasan.” (Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir,
Jilid 2 hal. 490)
Kemudian,
ada riwayat yang menguatkan kembali hadits mengenai qunut ini yaitu hadits dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ
وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ
بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ
اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ
ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ: لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ
شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan
kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal) berkata: “Sami’allahu
liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri.
“Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin
Abi Rabi’ah dan orang-orang yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah
pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun
(kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi
Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau
meningalkannya tatkala telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab
mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Mengenai pendapat
yang mengatakan bahwa hadits mengenai Qunut telah di mansukh dengan ayat
Al-Quran Surat Ali Imran ayat 128: لَيْسَ لَكَ مِنَ
الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan
mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena
sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” Maka dari sini yang dilarang
bukanlah qunut secara keseluruhan, akan tetapi yang dilarang adalah mendoakan
keburukan kepada orang-orang tertentu didalam qunut. Sebagaimana perkataan Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
أن النبي صلى الله
عليه وسلّم قنت شهرا يدعو عليهم ثم ترك فأما في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukan qunut dan mendoakan keburukan bagi mereka kemudian meninggalkannya
sedangkan qunut shubuh, maka nabi selalu malakukannya sampai meninggal dunia.
(HR Ahmad 27/26, Al-Baihaqi 2/201 dan Ad-Daraquthni 4/406)
Mengenai hadits-hadita di atas, Imam
An-Nawawi rahimahullah, beliau berkata:
إنما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية
أبي هريرة السابقة, وهي قوله “ثم ترك الدعاء لهم
“Sesungguhnya
(yang dimaksud) adalah meninggalkan laknat“, Takwil ini diperjelas oleh riwayat
dari Abu Hurairah yang telah berlalu yaitu “Kemudian Nabi meninggalkan doa
untuk mereka.” (Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, Jilid 3 hal. 484)
Kemudian Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkomentar:
فَهَذِهِ الْأَخْبَارُ كُلُّهَا دَالَّةٌ
عَلَى أَنَّ الْمَتْرُوكَ هُوَ الدُّعَاءُ عَلَى الْكُفَّارِ
“Maka hadits-hadits ini semuanya menunjukkan
bahwasanya yang ditinggalkan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah doa
buruknya terhadap kaum kafir.” (Nashbu Ar-Rayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah,
Jilid 3 hal. 190)
Ditempat yang lain,
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan secara rinci
mengenai hal ini, beliau berkata:
وَجَمَعَ بَيْنَهُمَا مَنْ أَثَبَتَ الْقُنُوتَ
بِأَنَّ الْمُرَادَ تَرْكُ الدُّعَاءِ عَلَى الْكُفَّارِ لَا أَصْلَ الْقُنُوتِ. وَرَوَى
الْبَيْهَقِيُّ مِثْلَ هَذَا الْجَمْعِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ بِسَنَدٍ
صَحِيحٍ رَوَى الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ عَنْ الْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ, الْبَيْهَقِيُّ
مِنْ طَرِيقِ الْعَوَّامِ بْنِ حَمْزَةَ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا عُثْمَانَ عَنْ الْقُنُوتِ
فِي الصُّبْحِ. فَقَالَ: بَعْدَ الرُّكُوعِ, قُلْتُ: عَنْ مَنْ ؟ فَقَالَ: عَنْ أَبِي
بَكْرٍ , وَعُمَرَ , وَعُثْمَانَ. وَمِنْ طَرِيقِ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ أَبِي
رَافِعٍ: أَنَّ عُمَرَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ. وَمِنْ طَرِيق حَمَّادٍ, عَنْ
إبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ: صَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ
فَمَا كَانَ يَقْنُتُ إلَّا فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَوَى أَيْضًا بِسَنَدٍ صَحِيحٍ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلِ بْنِ مُقَرِّنٍ, قَالَ: قَنَتَ عَلِيٌّ فِي الْفَجْرِ.
وَرَوَاهُ الشَّافِعِيُّ أَيْضًا
“Kelompok ulama yang menetapkan qunut,
mengkompromikan kedua hadits tersebut, bahwasanya yang dimaskud dengan ucapan “Kemudian
Nabi meninggalkannya” adalah meninggalkan doa buruk kepada kaum kafir bukan
asal qunutnya. Al-Baihaqi telah meriwayatkan sikpa pengkompromian
(penggabungan) kedua hadits ini dari Abdurrahman bin Mahdi dengan sanad yang
sahih. Al-Baihaqi telah meriwayatkan qunut dalam shalat shubuh dari khalifah
yang empat dari jalan Al-Awwam bin Hamzah, ia bekata, “Aku telah bertanya
kepada Abu Utsman tentang qunut dalam sholat subuh, lalu ia menjawab, “Setelah
ruku’.” Aku bertanya lagi: “dari siapa perbuatan itu?”, ia menjawab, “Dari Abu
Bakar, Umar dan Utsman.” Dan dari jalan Qatadah dari Al-Hasan dari Abi Rafi’,“
sesungguhnya Umar melakukan qunut di dalam subuh.” Dan dari jalan Hammad dari
Ibrahim dari al-Aswad, ia berkata, “Aku sholat di belakang Umar sama ada
ditempat ataupun bepergian, beliau tidaklah melakukan qunut kecuali di dalam shalat
subuh.” Beliau juga meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Abdullah bin
Ma’qil bin Muqarrin, ia berkata, “Ali melakukan qunut di dalam shalat subuh.”
Imam Syafi’i juga meriwayatannya.” (At-Talkhish Al-Habir, Jilid 1 hal. 442-446)
Dari penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
ini dapat kita ketahui bahwasanya khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali melakukan qunut dalam shalat shubuh. Semua riwayat ini shahih
dan tidak boleh mengesampingkan atau membuangnya. Maka wajib dikompromikan
dengan hadits-hadits yang zhahirnya bertentangan, sehingga semua hadits shahih
itu bisa sama-sama diamalkan. Inilah manhaj dan kaidah yang benar dalam ilmu
hadits.
Tarjih
Qunut Shubuh adalah
sunnah berlandaskan hadits-hadits yang telah diuraikan di atas baik itu berderajat
Shahih maupun Hasan dan ini adalah pendapat terkuat dalam Madzhab Syafi’i. Sedangkan
pendapat selain Madzhab Syafi’i yaitu Madzhab Hanafi dan Hanbali menyatakan
tidak sunnah, sedangkan Madzhab Maliki menyatakan sunnah Qunut Shubuh sebelum
ruku’.
Perkara
Qunut Shubuh adalah Furuiyyah Ijtihadiyyah yang bisa ditolerir ketika ada
perbedaan pendapat atau pandangan. Qunut Shubuh secara terus-menerus atau
Mudawamah dalam Madzhab Syafi’i adalah sunnah dan bukan Bid’ah sebagaimana
penjelasan para ulama Syafi’iyyah dalam menjelaskan hadits-hadits mengenai
Qunut.
Pengingkaran
atau sikap saling membid’ah-bid’ahkan dalam masalah yang bersifat Furu’ dan
Ijtihad adalah perkara yang sangat buruk dan menyebabkan pelakunya telah keluar
dari Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ada sebuah kaidah agung mengenai masalah Ikhtilaf
dalam Furu’:
لا ينكر المختلف فيه, وإنما ينكر المجمع
عليه
“Tidak boleh mengingkari perkara yang masih
diikhtilafkan, sesungguhnya pengingkaran hanya boleh dalam perkara yang sudah
ijma’.” (Al-Asybah wa An-Nadzhair, hal. 158)
Lalu
bagaimana jika seseorang yang berkeyakinan bahwa Qunut Shubuh adalah Sunnah
namun bermakmum kepada Imam yang tidak berqunut, begitu pula sebaiknya? Simak Komisi
Fatwa Arab Saudi mengenai hal ini:
وَبِالْجُمْلَةِ فَتَخْصِيْصُ صَلَاةِ الصُّبْحِ
بِالْقُنُوْتِ مِنَ الْمَسَائِلِ الْخِلَافِيَّةِ اْلاِجْتِهَادِيَّةِ، فَمَنْ صَلَّى
وَرَاءَ إِمَامٍ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ خَاصَّةً قَبْلَ الرُّكُوْعِ أَوْ بَعْدَهُ
فَعَلَيْهِ أَنْ يُتَابِعَهُ
“Secara global, menentukan shalat Subuh dengan
Qunut adalah termasuk masalah khilafiyah yang bersifat ijtihad. Barangsiapa shalat
bermakmum kepada imam yang membaca Qunut dalam Shubuh secara khusus sebelum
atau sesudah ruku’, maka ia harus mengikutinya.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah li
Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’, Jilid 9 hal. 51)
Terakhir mengani masalah Ikhtilaf
Qunut Shubuh ini maka simaklah perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah
yang sebelumnya telah penulis sampaikan di awal, beliau berkata:
إِنْ قَنَتَ فِى الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ
لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Jika
melakukan qunut maka itu baik dan jika meninggalkannya itu juga baik.” (HR.
Al-Baihaqi 2/363)
Sesungguhnya yang
paling utama bukanlah memperselisihkan mengenai Qunut Shubuh, akan tetapi sudah
Istiqomahkah kita menjadi pejuang Shubuh. Bangun dikala cuaca masih sangat
dingin, kemudian berwudhu dan melangkahkan kaki kita ke Masjid. Semoga Allah subhanahu
wa ta’ala memantapkan hati-hati kita dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Qunut Shubuh adalah Sunnah Menurut Madzhab Syafi'iyyah"