Tercelanya Perilaku Ghibah

“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)


Umat Islam adalah umat yang sangat istimewa dimana umat Islam dibangun atas azas saling tolong menolong dan umat yang penuh cinta serta kasih sayang. Akan tetapi, didalam keistimewaan umat ini terdapat sebuah penyakit berbahaya yang dapat merusak kekohonan bangunan Islam ini. Penyakit itu adalah ghibah atau pergunjingan. Bahkan pada saat ini, seakan-akan pergunjingan menjadi hal biasa dan dianggap halal, kita bisa saksikan hampir setiap hari di media sosial maupun elektronik kita disuguhi berita-berita ghibah, membuka aib orang lain dan mereka membungkus semua kemaksiatan ini dengan nama gossip. Juga kita saksikan, ketika ibu-ibu berkumpul dalam acara kegiatan ibu-ibu, maka yang dibicarakan tak jauh dari ghibah. Sungguh sangat berbahaya sekali penyakit ini.

Definisi Ghibah

Ghibah memiliki makna membicarakan sesuatu tentang orang lain yang ada pada dirinya, yang apabila dia mendengar hal tersebut maka ia akan membenci perkataan tersebut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Yaitu engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Bagaimanakah pendapat anda, jika itu memang benar ada padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Kalau memang sebenarnya begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya.” (Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874 dan At-Tirmidzi no 1999)

            Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ. وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ

“Ghibah adalah engkau menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan.” (Ash-Shamt Ibnu Abi Dunya, hal 211)

Larangan Ghibah

            Mengenai larangan ghibah, Allah subhanahu wa ta’ala secara tegas melarangnya sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)

Dalam Tafsir Jalalain mengenai QS. Al-Hujurat ayat 12, disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa” artinya, menjerumuskan kepada dosa, jenis prasangka itu cukup banyak, antara lain ialah berburuk sangka kepada orang mukmin yang selalu berbuat baik. Orang-orang mukmin yang selalu berbuat baik itu cukup banyak, berbeda keadaannya dengan orang-orang fasik dari kalangan kaum muslimin, maka tiada dosa bila kita berburuk sangka terhadapnya menyangkut masalah keburukan yang tampak dari mereka. “Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain” lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya. “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain” artinya, janganlah kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun hal itu benar ada padanya. “Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati?” lafal Maytan dapat pula dibaca Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan. “Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya” maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. “Dan bertakwalah kepada Allah” yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan ini, “Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat” yakni selalu menerima tobat orang-orang yang bertobat. “Lagi Maha Penyayang” kepada mereka yang bertobat.

Renungkanlah bahasa yang Allah subhanahu wa ta’ala gunakan dalam ayat ini. Sebuah larangan yang diiringi dengan perumpamaan, sehingga membuat permasalahan ini bertambah besar dan perbuatannya menjadi sangat buruk : “Sukakah salah seorang diantara kalianmemakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” Memakan daging manusia merupakan perbuatan yang sangat menjijikkan bagi setiap watak dan tabiat, meskipun orang kafir. Kemudian, bagaimana ketika yang dimakan adalah saudara seagama? Tentu rasa kejijikan akan semakin besar. Bahkan, bagaimana lagi jika yang dimakan itu adalah bangkai yang sudah mati??

Bahaya Ghibah

Ghibah merupakan perilaku buruk dan berbahaya. Para ulama terdahulu telah menyebutkan tentang bahaya ghibah. Bahkan beberapa ulama menyatakan bahwa ghibah termasuk salah satu dosa besar.

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: “Demi Allah, menggunjing lebih cepat merusak agama seorang mukmin melebihi dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya.” Imam Qatadah rahimahullah berkata: “Disebutkan kepada kita bahwa siksa kubur itu terdiri dari tiga perkara: sepertiga dari ghibah, sepertiga dari kencing (tanpa besuci), dan sepertiga dari namimah (mengadu domba).” Diceritakan, suatu ketika ada seseorang yang sedang menggunjing di hadapan ulama salaf, maka dia menegurnya dan berkata, “Hai kamu! Berhati-hatilah seperti engkau berhati-hati terhadap jilatan anjing.” (Ash Shamt, Ibnu Abi Dunya, hal. 129)

Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa ghibah itu termasuk dosa besar, sebanding dengan dosa pembunuhan, riba, zina, dan dosa-dosa besar yang lain. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, Jilid 16 hal. 337)

Azab Bagi Pelaku Ghibah

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيْلُ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ: الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Pada malam isra’ aku melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan kuku-kuku mereka”, lalu aku bertanya: ”Siapakah mereka wahai Jibril?” Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.”

Dalam riwayat yang lain, dengan matan yang hampir sama dikabarkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: هَؤُلآء الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ

“Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai (mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya: “Siapakah mereka wahai Jibril?” Beliau menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan manusia.” (HR. Ahmad 3/223, Abu Dawud no. 4879)

Ghibah Yang Dibolehkan

Adakalanya ghibah itu diperbolehkan, dan hal-hal yang dibolehkan ghibah itu ada enam perkara sebagaimana disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Al-Adzkar, sebagaimana tergabung dalam suatu syair:

الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍ فِيْ سِتـَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ مُـحَذِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ
وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Celaan bukanlah ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan, dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ada beberapa ghibah yang diperbolehkan dengan tujuan yang benar secara syar’i, yang tujuan tersebut tidak bisa tercapai kecuali dengan ghibah tersebut, diantaranya:

1 - Pengaduan, maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya.
2 - Minta bantuan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran.
3 - Meminta fatwa, misalnya dia berkata kepada seorang mufti: “Bapakku telah berbuat zhalim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah menzhalimiku, apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kezhaliman?”, dan yang semisalnya.
4 - Memperingatkan kaum muslimin dari kejelekan.
5 - Ghibah dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya.
6 - Untuk pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’araj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan.

Untuk penjelasan mengenai ghibah yang diperbolehkan bisa disimak pada artikel Ghibah Yang Diperbolehkan.

Anjuran Untuk Menjaga Lisan

Seorang pujangga Arab pernah berkata, “Lidah itu lebih tajam dari ujung tombak yang terhunus.” Atau barangkali, sebagian kita ada yang berfikir lebih dari apa yang diperumpamakan pujangga Arab itu. Bahwa sebilah ujung tombak belumlah memadai untuk melukiskan perihnya lidah. Bisa jadi, kejahatan lewat lidah itu memiliki daya penghancur layaknya sebuah dinamit yang mampu meluluhlantahkan satu bangunan megah atau lebih kuat daripada bom atom yang menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki.

Begitulah, betapa tutur kata yang keluar dari sepotong lidah bisa lebih menyakitkan ketimbang benda-benda tajam lainnya. Ia bukan sekedar sebaris kalimat yang meluncur dari mulut kita, lalu hilang bersama angin. Tapi juga sederet makna dan pesan yang bisa ditangkap oleh setiap orang dengan segala tafsirnya. Dan kemudian, ia menyelinap ke dalam sanubari sang pendengar. Ada yang terluka karena kata-kata yang kita sampaikan, ada pula yang merasa dibahagiakan.

Persoalannya kita tidak tahu, apakah kata yang kita ucapkan itu menyakitkan atau meneduhkan? Kata-kata itu mbrojol keluar begitu saja, entah dalam perbincangan sehari-hari, diskusi atau pun dalam sekedar senda gurau belaka. Bagi kita yang bertutur, mungkin tidak jadi masalah, namun belum tentu bagi orang yang mendengar.

Bagi mereka, sejumlah kata yang melukai akan memiliki pengaruh yang luar biasa. Mulai dari orang yang menerimanya dengan tangis, dendam kesumat, sumpah serapah, kutukan, merasa terhina, baku hantam, putus apa, sampai pembunuhan sekalipun. Karena itu, pernahkan kita merenungkan dampak-dampak tersebut di hati mereka? Pernahkah kita membayangkan sakitnya berada dalam posisi mereka?

Dari sini nampak, bahwa kejahatan lidah lebih berbisa dari sekadar bisa ular. Ia bahkan menjadi tempat segala keburukan bermuara. Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyodorkan ‘diam’ sebagai solusinya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau (kalau tidak) diamlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari sinilah, diam menjadi teramat penting maknanya. Dengan diam, kita belajar menyaring kata sesuai porsi dan keperluannya. Dan, sekiranya kita harus mengeluarkan kata-kata, sebaiknya sederet kalimat yang kita lahirkan telah tersaring menjadi sebuah ungkapan yang benar-benar berfaedah. Begitu pula, dalam bersenda gurau.

Dengan cara ini, kita tidak hanya menjadi penutur yang baik, tapi juga pendengar yang bijak. Jika tidak, maka bersiap-siaplah memasuki pintu neraka sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, “Tidak mungkin manusia akan terus di dalam neraka kecuali karena hasil panen lidah mereka.” Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

0 Comment for "Tercelanya Perilaku Ghibah"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top