“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata
disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab
mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka
catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-Qur’an
dan kenabian Muhammad).” (QS. al-Maidah [5] : 83)
Berikut
ini adalak kisah mengenai tangisan orang-orang shalih dari kalangan salaf umat
ini, semoga kita bisa mengambil hikmah di dalamnya.
Abdurrahman bin Auf radhiallahu
‘anhu
Diriwayatkan
dari Sa’ad bin Ibrahim, dia berkata, “Pernah Abdurrahman bin Auf dihidangkan
makan malam setelah siangnya dia berpuasa. Ketika itu, dia sedang membaca
firman Allah:
إِنَّ
لَدَيْنَآ أَنكَالاً وَجَحِيمًا وَطَعَامًا
ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا
“Sesungguhnya di sisi Kami ada
belenggu-belenggu yang berat dan neraka yang menyala-nyala, dan makanan yang
menyumbat di kerongkongan dan adzab yang pedih.” (QS. al-Muzammil : 12-13)
Setelah
membaca ayat tersebut beliau terus-menerus menangis hingga makan malamnya pun
dibereskan (at-Takhwif min an-Nar, Hal: 122). Dia tak tahan membayangkan
demikian dahsyatnya siksa neraka dan dia benar-benar takut akan mengalami hal
demikian kalau seandainya Allah memasukkannya ke dalam neraka. Padahal kita
telah ketahui, Abdurrahman bin Auf adalah termasuk dari sepuluh orang sahabat
Nabi yang Nabi janjikan termasuk penghuni surga.
Tafsir ayat:
Ibnu
Katsir mengatakan, إِنَّ لَدَيْنَآ أَنكَالاً maksudnya adalah belenggu-belenggu, dan
kalimat وَجَحِيمًا maksudnya adalah api yang bergejolak.
Ibnu Abbas
menafsirkan kalimat وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ maksudnya adalah makanan yang menyangkut
di tenggorokan, sehingga tidak dapat masuk dan keluar. -Semoga Allah melindungi
kita semua dari hal ini-.
asy-Syaikh
As-Sa’di dalam menafsirkan ayat إِنَّ
لَدَيْنَآ أَنكَالاً, beliau mengatakan maksudnya adalah siksaan yang pedih, yang
Allah jadikan belenggu bagi orang yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan
yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka. Kalimat وَجَحِيمًا artinya neraka Hamiyah. Sedangkan
firman-Nya وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ maknanya adalah makanan
tersebut menyangkut di tenggorokan karena pahit, busuk, dan aromanya yang tidak
enak.
Demikianlah
apa yang dirasakan oleh Abdurrahman bin Auf saat membaca ayat tersebut. Dia
adalah seorang yang sahabat senior yang memahami al-Qur’an, dan memiliki
keyakinan yang sangat mendalam tentang kebenaran berita al-Qur’an. Keyakinan
dan rasa takut neraka benar-benar beliau hadirkan dalam perasaannya, sehingga
membuatnya tidak sanggup untuk menikmati hidangan malam itu walaupun berpuasa
pada siang harinya.
Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu
Diriwayatkan
dari Sulaiman bin Muslim bin Jammaz, “Aku mendengar Abu Ja’far bercerita kepada
kami tentang Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ketika beliau membaca ayat:
إِذَا
الشَّمْسُ كُوِّرَتْ
“Apabila matahari digulung.”
(QS. at-Takwir : 1)
Hati
beliau sangat tersayat-sayat ketika membaca atau mendengar ayat tersebut,
hingga beliau sampai larut dalam tangisan yang mendalam.” (Siyar A’lam an-Nubala,
Jilid 2, Hal: 628-629)
Ayat
ini adalah bagian dari surat at-Takwir yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda tentang surat tersebut: “Barangsiapa yang ingin melihat
(keadaan) hari kiamat seolah-olah dia melihat (langsung dengan) matanya maka
hendaknya dia membaca (surat) at-Takwir, al-Infithar dan al-Insyiqaq.” (HR. at-Tirmidzi,
Ahmad dan al-Hakim)
Dan
itulah kesan yang ditangkap Abu Hurairah ketika mendengar atau membaca surat
tersebut.
Tamim Ad-Dari radhiallahu
‘anhu
Diriwayatkan
dari Masruq radhiallahu ‘anhu, dia berkata, “Seorang laki-laki dari
Mekah berkata kepadaku, ‘Ini adalah makam saudaramu, maksudnya makam Tamim Ad-Dari.
Di suatu malam aku pernah melihat Tamim sedang membaca al-Qur’an dengan rukuk,
sujud, dan menangis hingga menjelang datangnya subuh. Dia membaca ayat:
أَمْ
حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَن نَّجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ
ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَآءً مَّحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَآءَ
مَايَحْكُمُونَ
“Apakah orang-orang yang
membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara
kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. al-Jatsiyah
: 21)
Atsar
ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd, Juz I Hal: 164.
Raja an-Najasyi radhiallahu
‘anhu
Namanya
adalah ash-Hamah, Raja Habasyah. Inilah kesan pertamanya ketika mendengar ayat al-Qur’an
dilantunkan. Kisah ini bermula pada saat para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam hijrah ke Habasyah. Diriwayatkan dari Ummu Salamah,
beliau berkisah :
Ketika kami tiba di tanah
Habasyah, An-Najasyi melindungi kami dengan perlindungan yang sangat baik. Kami
merasa aman menjalankan agama, dan kami beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan tenang. Kami tidak pernah mendengar sesuatu yang membuat kami
sedih.
Suatu hari Raja Habasyah hendak
berdialog dengan kaum muslimin. Ummu Salamah melanjutkan, orang yang berbicara
kepada raja adalah Ja’far bin Abu Thalib, ‘Wahai Raja, dulu kami kaum
jahiliyyah, menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perzinahan, memutus
silaturahim, buruk dalam bertetangga, dan yang kuat memakan yang lemah. Kami
tetap dalam kondisi seperti itu hingga Allah mengutus seorang rasul dari
golongan kami kepada kami’.
Lalu Najasyi berkata kepada
Ja’far bin Abu Thalib, “Apakah kamu membawa ajaran yang dibawanya dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala?” Ia berkata, ‘Ya’. Najasyi berkata, “Bacakan untukku.”
Lalu Ja’far membacakan ayat, “Kaaf Haa Yaa ‘Ain Shaad (surat Maryam).”
Ummu Salamah berkata, “Demi
Allah, Najasyi menangis hingga membasahi jenggotnya dan para uskupnya pun ikut
menangis, hingga air mata mereka menetes di kitab-kitab mereka ketika mendengar
ayat yang dibacakan Ja’far. Kemudian Najasyi berkata, “Demi Allah, sesungguhnya
ini sama dengan yang dibawa Musa, yang benar-benar keluar dari sumber yang
sama. Pergilah, aku tidak akan menyerahkan kalian kepada mereka (kafir Quraisy)
selama-lamanya (al-Majma’ jilid 6, Hal: 27).
Berikut
ini firman Allah yang diturunkan berkaitan dengan kisah an-Najasyi ini:
وَإِذَا
سَمِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ
مِمَّا عَرِفُوا مِنَ الْحَقِّ يَقُولُونَ رَبَّنَآءَامَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ
الشَّاهِدِينَ
“Dan apabila mereka
mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata
mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur’an) yang telah mereka
ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami
telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad).” (QS. al-Maidah : 83)
Inilah
kesan pertama an-Najasyi saat pertama kali mendengarkan ayat al-Qur’an.
Mari kita sama-sama koreksi
diri kita, sejauh mana kedudukan Alquran di hati kita?
Mari
kita bersama perhitungkan diri kita yang mengatakan ingin menjadi penghuni
surga, bagaimana keadaan kita dibandingkan calon penghuni surga seperti Abdurrahman
bin Auf? Apakah kita mulai meniti ke arah sana ataukah malah menjauh dari
sifat-sifat penghuni surga tersebut?
Semoga
Allah memberi taufik kepada kita mengamalkan apa yang Dia cintai dan Dia
ridhai. Allahumma amin..
0 Comment for "Tangisan Orang-Orang Shalih"