“Shalat mereka
di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS.
Al-Anfal [8] : 35)
Tepuk tangan saat ini nampaknya
sudah menjadi lumrah bagi masyarakat di seluruh penjuru dunia. Tepuk tangan
dijadikan suatu tanda penghormatan, pengaguman kepada seseorang, juga bisa
menjadi sebuah motivasi atau applause. Namun, bagaimana sebenarnya hukum
tepuk tangan dalam perspektif Islam?
Telah terjadi perbedaan
pendapat para ulama tentang hukum bertepuk tangan (At-Tashfiq atau At-Tashfih).
Umumnya mereka mencelanya dan menyebutnya sebagai perbuatan haram minimal
makruh. Namun ada pula yang membolehkan jika untuk menyemangati anak-anak. Akan
tetapi, pada dasarnya bertepuk tangan merupakan perilaku jahiliyah sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَا
كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak
lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. Al-Anfal [8] : 35)
Mengenai bertepuk tangan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjelaskan bahwa itu adalah cara kaum wanita dalam mengingatkan
atau meluruskan kesalahan imam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
مَنْ نَابَهُ
شَيْءٌ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا
التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa yang terganggu dalam shalatnya oleh
suatu hal maka bertasbihlah, sesungguhnya jika dia bertasbih hendaknya menengok
kepadanya, dan bertepuk tangan hanyalah untuk kaum wanita.” (HR. Al-Bukhari no.
652, Muslim no. 421, Abu Dawud no. 940, Ibnu Hibban no. 2260, Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra no. 3147, 5089, Ibnu Khuzaimah no. 1623 dan Malik no. 390)
Mengenai hal ini, Syeikh Sayyid Sabiq rahimahullah
berkata:
يجوز التسبيح
للرجال والتصفيق للنساء إذا عرض أمر من الامور، كتنبيه الامام إذا أخطأ وكالاذن للداخل
أو الارشاد للاعمى أو نحو ذلك
“Dibolehkan bagi laki-laki bertasbih dan bertepuk
tangan bagi wanita, jika ada hal yang membuatnya tidak nyaman seperti:
mengingatkan imam ketika berbuat kesalahan, memberi izin kepada orang yang akan
masuk, atau memandu orang buta atau yang semisalnya.” (Fiqh As-Sunnah, Jilid 1
hal. 264)
Lalu bagaimana jika tepuk tangan dilakukan di luar
shalat? Para ulama menjelaskan bahwa tepuk tangan di luar shalat tanpa
kebutuhan maka hal ini merupakan suatu kefasikan, bahkan beberapa ulama
mengharamkan secara mutlak bertepuk tangan jika tanpa kebutuhan. Maka jika
seorang muslim ingin memberikan motivasi, applause, memberikan penghargaan maka
yang terbaik adalah dengan bertakbir.
Imam Ash-Shan’ani rahimahullah
berkata:
وَأَمَّا
الرَّقْصُ وَالتَّصْفِيقُ فَشَأْنُ أَهْلِ الْفِسْقِ
“Ada pun menari dan bertepuk tangan, itu adalah
perbuatan ahli kefasikan.” (Subulus Salam, Jilid 2 hal. 192)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah
berkata:
القول
بمشروعية التصفيق للنساء هو الصحيح خبراً ونظراً؛ لأنها مأمورة بخفض صوتها مطلقاً لما
يخشى من الإفتان، ومن ثم منعت من الأذان مطلقاً، ومن الإقامة للرجال، ومنع الرجال من
التصفيق؛ لأنه من شأن النساء.
“Pendapat yang sesuai syariat adalah bertepuk
tangan bagi kaum wanita adalah benar, baik secara khabar (berita) maupun
pemahaman, karena mereka diperintahkan untuk menundukkan suaranya secara mutlak
karena dikhawatiri terjadi fitnah, begitu pula terlarangnya bagi mereka untuk adzan
secara mutlak, mengiqamatkan shalatnya kaum laki-laki, dan terlarang bagi kaum
laki-laki untuk bertepuk tangan karena itu adalah perbuatan wanita.” (Mir’ah
Al-Mafatih, Jilid 3 hal. 358)
Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim
rahimahullah mengatakan:
وَكَانَ
مَنْعُ النِّسَاءِ مِنَ التَّسْبِيحِ لِأَنَّهَا مَأْمُورَةٌ بِخَفْضِ صَوْتِهَا فِي
الصَّلَاةِ مُطْلَقًا لِمَا يُخْشَى مِنَ الِافْتِتَانِ وَمُنِعَ الرِّجَالُ مِنَ التَّصْفِيقِ
لِأَنَّهُ مِنْ شَأْنِ النِّسَاءِ
“Wanita dilarang bertasbih karena mereka diperintahkan
untuk merendahkan suaranya dalam shalat secara mutlak sebab dikhawatiri terjadi
fitnah, sedangkan dilarang bagi kaum laki-laki untuk melakukan tepuk tangan
karena itu adalah perbuatan kaum wanita.” (‘Aunul Ma’bud, Jilid 3 hal. 152)
Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
قَوْلُهُ:
إنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِ الرِّجَالِ مِنْهُ مُطْلَقًا
“Sabdanya ‘tepuk tangan untuk kaum wanita’
menunjukkan terlarangnya secara mutlak (umum) hal tersebut bagi kaum laki-laki.”
(Nailul Authar, Jilid 3 hal. 178)
Seperti uraian di atas yang menjelaskan keharaman atau
kemakruhan bertepuk tangan karena bertepuk tangan tanpa ada kebutuhan merupakan
bentuk kefasikan dan merupakan bentuk tasyabuh dengan orang kafir. Lalu
bagaimana jika bertepuk tangan akan tetapi ada kebutuhan, misalnya bertepuk
tangan ketika memanggil seseorang. Para ulama menghukumi hal ini dengan makruh,
berikut fatwa-fatwa ulama mengenai hal ini:
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah berkata:
وَفِي
فَتَاوَى م ر سُئِلَ عَنْ التَّصْفِيقِ خَارِجَ الصَّلَاةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ فَأَجَابَ
إنْ قَصَدَ الرَّجُلُ بِذَلِكَ اللَّهْوَ أَوْ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ حَرُمَ وَإِلَّا
كُرِهَ انْتَهَى
“Dalam fatwa-fatwa Imam Ar-Ramli, Beliau ditanya
tentang bertepuk tangan di luar shalat tanpa adanya kebutuhan. Beliau menjawab:
“Jika seorang laki-laki bermaksud dengan tepuk tangannya itu adalah untuk senda
gurau atau menyerupai wanita maka itu diharamkan, jika bukan karena itu, maka
itu makruh.” (Tuhfatul Muhtaj, Jilid 2 hal. 150)
Dalam kitab Nihayatul Muhtaj terdapat sebuah keterangan
mengenai hal ini:
وَفِي
فَتَاوَى م ر سُئِلَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ قَوْلِ الزَّرْكَشِيّ إنَّ التَّصْفِيقَ
بِالْيَدِ لِلرِّجَالِ لِلَّهْوِ حَرَامٌ لِمَا فِيهِ مِنْ التَّشَبُّهِ بِالنِّسَاءِ
هَلْ هُوَ مُسَلَّمٌ أَمْ لَا، وَهَلْ الْحُرْمَةُ مُقَيَّدَةٌ بِمَا إذَا قُصِدَ التَّشَبُّهُ
أَوْ يُقَالُ مَا اخْتَصَّ بِهِ النِّسَاءُ يَحْرُمُ عَلَى الرِّجَالِ فِعْلُهُ، وَإِنْ
لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ فَأَجَابَ هُوَ مُسَلَّمٌ حَيْثُ
كَانَ لِلَّهْوِ، وَإِنْ لَمْ يُقْصَدْ بِهِ التَّشَبُّهُ بِالنِّسَاءِ. وَسُئِلَ عَنْ
التَّصْفِيقِ خَارِجَ الصَّلَاةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ هَلْ هُوَ حَرَامٌ أَمْ لَا؟ فَأَجَابَ
إنْ قَصَدَ الرَّجُلُ بِذَلِكَ التَّشَبُّهَ بِالنِّسَاءِ حَرُمَ، وَإِلَّا كُرِهَ.
اه
“Imam Ar-Ramli radhiyallahu ‘anhu dalam
fatwa-fatwanya ditanya tentang perkataan Az-Zarkasyi ‘bertepuk tangan bagi kaum
laki-laki untuk hiburan adalah haram’ karena di dalamnya mengandung penyerupaan
terhadap wanita, apakah pendapat ini bisa diterima atau tidak , dan apakah
keharaman itu terikat dengan sebab penyerupaan dengan wanita ataukah dikatakan
itu khusus wanita dan haram bagi laki-laki melakukannya walau pun dia tidak
bermaksud menyerupai wanita. Beliau (Imam Ar-Ramli) menjawab: “Pendapat itu
bisa diterima jika bertepuk tangan dilakukan untuk hiburan walau pun dia tidak
bermaksud menyerupai kaum wanita.” Dia juga ditanya tentang bertepuk tangan di
luar shalat tanpa ada keperluan, apakah itu haram atau tidak? Beliau menjawab:
“Jika seorang laki-laki bertepuk tangan bermaksud menyerupai wanita maka itu
diharamkan, jika tidak bermaksud demikian, maka itu dimakruhkan.” (Nihayatul
Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Jilid 2 hal. 47)
Namun ada juga beberapa ulama
yang membolehkan (menghukumi mubah) bertepuk tangan, mereka beranggapan bahwa
bertepuk tangan yang dilakukan oleh umat Muslim saat ini bukanlah bentuk ibadah
seperti yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy pada saat itu.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullah pernah ditanya mengenai hukum bertepuk tangan yang
dilakukan oleh umat Muslim diberbagai acara, beliau menjawab:
التصفيق في الحفلات ليس من عادة السلف الصالح
وإنما كانوا إذا أعجبهم شيء سبحوا أحيانا أو كبروا أحيانا لكنهم لا يكبرون تكبيرا جماعيا
ولا يسبحون تسبيحا جماعيا بل كل واحد يكبر لنفسه أو يسبح لنفسه بدون أن يكون هناك رفع
صوت بحيث يسمعه من بقربه فالأولى الكف عن التصفيق ولكننا لا نقول بأنه حرام لأنه قد
شاع بين المسلمين اليوم والناس لا يتخذونه عبادة ولهذا لا يصح الاستدلال على تحريمه
بقوله تعالي عن المشركين (وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاءً
وَتَصْدِيَةً) فإن المشركين يتخذون التصفيق عند البيت عبادة وهؤلاء الذين يصفقون عند
سماع ما يعجبهم أو رؤية ما يعجبهم لا يريدون بذلك العبادة وخلاصة القول أن ترك هذا
التصفيق أولى وأحسن ولكنه ليس بحرام.
“Bertepuk
tangan dalam berbagai acara bukanlah kebiasaan salafush shalih. Jika ada
hal-hal yang mengagumkan kadang mereka bertasbih kadang mereka bertakbir. Tapi
mereka tidak bertakbir dan bertasbih bersama-sama, melainkan mereka lakukan
sendiri-sendiri, tanpa meninggikan suara yang bisa didengar oleh orang yang di
dekatnya. Maka, yang lebih utama adalah menahan diri dari bertepuk tangan.
Tetapi kami tidak mengatakan bahwa itu haram, karena hal itu sudah terjadi di
antara kaum muslimin sampai hari ini dan mereka tidak menjadikannya sebagai
sarana beribadah. Oleh karena itu, tidak benar berdalil atas pengharamannya itu
dengan firman Allah ta’ala tentang kaum musyrikin: Shalat mereka di sekitar
Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Kaum musyrikin
menjadikan bertepuk tangan adalah cara ibadah di Baitullah. Sedangkan mereka
yang bertepuk tangan ketika mendengarkan atau melihat sesuatu yang mengagumkan
tidaklah memaksudkan hal itu sebagai ibadah. Kesimpulannya, bahwa meninggalkan
tepuk tangan adalah lebih utama dan lebih baik, tetapi dia tidaklah haram.”
(Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darb, Jilid 24 hal. 2)
Demikianlah penjelasan mengenai hal
ini, umumnya para imam kaum muslimin berpendapat mengharamkan jika hal itu
untuk menyerupai wanita, hiburan, dan permainan. Adapun jika ada kebutuhan
untuk bertepuk tangan mereka memakruhkan, bahkan ada yang membolehkan.
Pembolehan ini selama tidak ada perkara lain yang terlarang, karena hukum dasar
semua urusan dunia adalah mubah selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya.
Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Tepuk Tangan Dalam Perspektif Islam"