“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih
(ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis
(mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari
kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai
yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 3583 dan
Abu Daud no. 1501)
Pembicaraan mengenai biji
tasbih terbilang sangat rumit, hal yang sebenarnya merupakan furu’ ini
dibesar-besarkan oleh beberapa orang yang taqlid buta dan memaksakan kehendak
mereka kepada orang-orang awam yang notabene masih belajar mengenai Islam. Dan
orang-orang yang tidak sepaham langsung dihakimi sebagai Ahli Bid’ah. Dan
ketika tidak ada kelapangan dada dan saling legowo maka terjadilah saling caci
maki, hal ini terjadi disebabkan pemahaman yang keliru dan kurang menyeluruh
terhadap pendapat para ulama mengenai hal tersebut. Dan perlu ditekankan
kembali bahwa biji tasbih ini adalah furu’ dan bukan ushul.
Lalu bagaimana hukum biji tasbih ini?
Apakah diperbolehkan berdzikir dengan menggunakan biji tasbih seperti yang
sering kita lihat di masyarakat? Setidaknya ada 3 pendapat mengenai hokum biji
tasbih ini.
Pertama, sebagian
ulama menganggapnya Haram dan termasuk Bid’ah
Ini adalah pendapat paling masyhur
dari Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dan
murid-muridnya. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah,
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr hafizhahullah dan beberapa ulama
besar mutaakhirin lainnya. Dalil yang digunakan oleh mereka adalah beberapa
hadits mauquf yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah
dalam Al-Mushannaf:
Dari
Ibrahim berkata: “Dahulu ‘Abdullah (Ibnu Mas’ud) membenci berdzikir dengan
tasbih seraya bertanya: “Apakah kebaikan-kebaikannya telah diberikan kepada
Allah?” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Dari
Ash-Shalt bin Bahram berkata: “Ibnu Mas’ud melewati seorang wanita yang
berdzikir dengan tasbih, maka segera beliau potong tasbih lalu membuangnya. Kemudian
beliau melewati seorang laki-laki berdzikir dengan kerikil, maka beliau
menendangnya, kemudian berkata: “Sungguh kalian telah mendahului Rasulullah,
kalian melakukan bid’ah dengan zhalim dan ilmu kalian telah melebihi ilmu
Sahabat-Sahabat Muhammad.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Dari
Abi Tamimiyah dari seorang perempuan Bani Kulaib yang berkata bahwa ia dilihat
oleh Aisyah sedang berdzikir dengan biji-biji tasbih, maka Aisyah berkata: Mana
Syawahid? yang dimaksud adalah jari-jemari.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)
Hanya saja perlu diketahui bahwa sanad
hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang pertama mengalami keguncangan
karena ada seorang perwai dha’if bernama Ibnu Waddah. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah
berkata mengenainya: “Berkata Ibnu Al-Fardhi: dia banyak mengklaim sabda-sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu merupakan kata-katanya
sendiri, dia banyak melakukan kesalahan yang telah diketahui berasal darinya,
keliru, dan melakukan tashif, serta tidak memiliki ilmu dalam bahasa arab dan
juga fiqh.” (Siyar Alam An-Nubala, Jilid 13 hal. 445)
Sedangkan hadits dari Aisyah radhiyallahu
‘anha pun guncang karena ada seorang perawi yang mubham (tidak disebutkan
identitasnya) yaitu seorang perempuan Bani Kulaib.
Jika dilihat dari sisi pendalilan
maka pendapat ini kurang tepat karena dari 3 hadits yang dijadikan sandaran, 2 hadits
mengalami kegoncangan dalam sisi sanadnya. Wallahu a’lam.
Kedua, sebagian
ulama menganggapnya Mustahab
Ulama yang menganggapnya mustahab
berdalil dengan hadits dari Yusairah, dia berkata:
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ
بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ
الرَّحْمَة
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih
(ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis
(mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari
kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai
yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At-Tirmidzi no. 3583 dan Abu
Daud no. 1501)
Mengenai hadits di atas, Imam Muhammad
Abdurrauf Al-Munawi rahimahullah menjelaskan:
وهذا أصل في ندب السبحة المعروفة وكان ذلك
معروفا بين الصحابة فقد أخرج عبد الله بن أحمد أن أبا هريرة كان له خيط فيه ألفا عقدة
فلا ينام حتى يسبح به وفي حديث رواه الديلمي نعم المذكر السبحة لكن نقل المؤلف عن بعض
معاصري الجلال البلقيني أنه نقل عن بعضهم أن عقد التسبيح بالأنامل أفضل لظاهر هذا الحديث
“Hadits
ini merupakan dasar terhadap sunahnya subhah (untaian biji tasbih) yang sudah
dikenal. Hal itu dikenal pada masa sahabat, Abdullah bin Ahmad telah
meriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki benang yang memiliki seribu himpunan,
beliau tidaklah tidur sampai dia bertasbih dengannya. Dalam riwayat Ad-Dailami:
“Sebaik-baiknya dzikir adalah subhah.” Tetapi mu’allif (yakni Imam As-Suyuthi)
mengutip dari sebagian ulama belakangan, Al-Jalal Al-Bulqini, dari sebagian
mereka bahwa menghitung tasbih dengan jari jemari adalah lebih utama sesuai
zhahir hadits.” (Faidhul
Qadir, Jilid 4 hal. 468)
Sedangkan hadits yang menguatkan
pendapat Imam Al-Munawi rahimahullah di atas sesuai dengan komentarnya
adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
“Dari
Ath-Thufawi, ia berkata: “Saya mendatangi Abu Hurairah, dan saya tidak
mendapati sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang lebih
memperhatikan dan sangat melayani tamu daripada beliau. Ketika saya bersamanya,
sedangkan beliau duduk diatas ranjangnya, dibawah ranjang duduk seorang budak
wanita berkulit hitam, dan didepan beliau terdapat kantong yang berisi kerikil
dan biji kurma sembari membaca dzikir: “Subahanallah, Subhanallah”, (sambil
menghitungnya dengan biji kurma tersebut), jika semua isi kantong tersebut
habis (dikeluarkan untuk menghitung dzikirnya), beliau memberikan kantong
tersebut kepada sang budak, lalu ia mengumpulkan semua (kerikil dan biji kurma)
dalam kantong lalu ia serahkan kembali kepada beliau.” (HR. Ahmad no. 10977 dan
Abu Dawud no. 2176)
Ketiga, sebagian ulama
menyatakan bahwa tasbih ini Mubah dan ini adalah pendapat jumhur
Pendapat ini pun berdalil dengan
hadits dari Yusairah radhiyallahu ‘anha, namun dengan penjelasan yang
lebih rinci dan jelas. Mereka lebih cenderung untuk meninggalkan biji tasbih
dan beralih ke jari-jemari karena hal ini lebih memiliki keutamaan dibandingkan
hanya sebatas menghitung dengan biji tasbih yang mubah.
Imam Asy-Syaukani rahimahullah
berkomentar mengenai hadits-hadits yang membahas mengenai biji tasbih ini,
beliau berkata:
بأن الأنامل مسئولات مستنطقات يعني أنهن
يشهدن بذلك فكان عقدهن بالتسبيح من هذه الحيثية أولى من السبحة والحصى . والحديثان
الآخران يدلان على جواز عد التسبيح بالنوى والحصى وكذا بالسبحة لعدم الفارق لتقريره
صلى اللَّه عليه وآله وسلم للمرأتين على ذلك . وعدم إنكاره والإرشاد إلى ما هو أفضل
لا ينافي الجواز
“Sesungguhnya
ujung jari jemari akan ditanyakan dan diajak bicara, yakni mereka akan menjadi
saksi hal itu. Maka, menghimpun (menghitung) tasbih dengan jari adalah lebih
utama dibanding dengan untaian biji tasbih dan kerikil. Dua hadits yang
lainnya, menunjukkan bolehnya menghitung tasbih dengan biji, kerikil, dan juga
dengan untaian biji tasbih karena tidak ada bedanya, dan ini perbuatan yang
ditaqrirkan (didiamkan/disetujui) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
terhadap dua wanita tersebut atas perbuatan itu. Dan, hal yang menunjukkan dan
mengarahkan kepada hukum yang lebih utama tidak berarti menghilangkan hukum
boleh.” (Nailul Authar, Jilid 2 hal. 316-317)
Ibnu Nujaim Al-Hanafi rahimahullah
pun berkomentar mengenai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang biji tasbih dari Yusairah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:
فَلَمْ يَنْهَهَا عَنْ ذَلِكَ
وَإِنَّمَا أَرْشَدَهَا إلَى مَا هُوَ أَيْسَرُ وَأَفْضَلُ وَلَوْ كَانَ
مَكْرُوهًا لَبَيَّنَ لَهَا ذَلِكَ ، وَلَا يَزِيدُ السُّبْحَةُ عَلَى مَضْمُونِ هَذَا
الْحَدِيثِ إلَّا بِضَمِّ النَّوَى فِي خَيْطٍ ، وَمِثْلُ ذَلِكَ لَا يَظْهَرُ تَأْثِيرُهُ
فِي الْمَنْعِ
“Nabi
tidak melarangnya. Beliau hanyalah menunjukkan cara yang lebih mudah dan utama,
seandainya makruh tentu beliau akan menjelaskan hal itu kepada wanita tersebut.
Dari kandungan hadits ini, kita dapat
memahami bahwa subhah (biji tasbih) tidak lebih dari kumpulan bijian yang
dirangkai dengan benang. Masalah seperti ini tidak berdampak pada pelarangan.” (Raddul
Muhtar, Jilid 5 hal. 54)
Kesimpulan
Kesimpulan yang paling fair menurut
hemat kami adalah seperti apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah, beliau berkata:
“Menghitung
tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan
jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk
berbicara.” Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun
semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang
melakukan seperti itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah
seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau
membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah
bertasbih dengan menggunakan kerikil. Adapun bertasbih dengan menggunakan
manik-manik yang dirangkai menjadi satu maka ulama berselisih pendapat. Ada
yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan
hukum makruh untuk perbuatan tersebut. Kesimpulannya, jika orang yang
melakukannya itu memiliki niat yang baik (ikhlas) maka berdzikir dengan
menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh. Adapun
memiliki biji tasbih tanpa ada kebutuhan untuk itu atau mempertontonkan biji
tasbih kepada banyak orang semisal dengan mengalungkannya di leher atau
menjadikannya sebagai gelang di tangan atau semisalnya maka status pelakunya
itu ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, dia riya’ dengan perbuatannya
tersebut. Kemungkinan kedua, dimungkinkan dia akan terjerumus ke dalam
perbuatan riya’ dan perbuatan tersebut adalah perbuatan menyerupai orang-orang
yang riya’ tanpa ada kebutuhan. Jika benar kemungkinan pertama maka hukum
perbuatan tersebut adalah haram. Jika yang tepat adalah kemungkinan yang kedua
maka hukum yang paling ringan untuk hal tersebut adalah makruh. Sesungguhnya
memamerkan ibadah mahdhah semisal shalat, puasa, dzikir dan membaca Al-Qur’an
kepada manusia adalah termasuk dosa yang sangat besar.” (Majmu’ Al-Fatawa, Jilid
22 hal. 506)
Jika kita simak fatwa Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah diatas, maka beliau secara garis besar
membagi hukum tasbih sebagai berikut:
1. Jika
ada kebutuhan untuk menggunakan biji tasbih, maka dibolehkan.
2. Jika
untuk memamerkan amalan dan agar disebut orang yang rajin dzikir dengan
memamerkan biji tasbih sambil mengalungkan atau memakai gelang di tangan, maka
seperti itu diharamkan dan termasuk dalam perbuatan riya’.
Maka kesimpulannya, masalah biji
tasbih adalah masalah khilafiyah yang bisa ditolerir. Jadi saling berlapang
dada adalah hal yang paling ahsan dalam menyikapi perbedaan semacam ini. Namun perlu
ditekankan pula bahwa yang dianjurkan adalah berdzikir dengan menggunakan
jari-jemari karena setiap jari ini akan ditanyai pada hari kiamat. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Mengenai Biji Tasbih"