“Jika kalian
melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan
shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 1047)
Tepat pada 9 Maret 2016,
gerhana matahari total berlangsung di beberapa bagian di Tanah Air. Menteri
Koordinator Kemaritiman Indroyono Soesilo mengatakan peristiwa alam ini harus
disambut meriah di Indonesia. Sebab, peristiwa langka ini hanya berulang
setelah puluhan tahun.
“Gerhana matahari total (di
Indonesia) terakhir tahun 1983, habis ini baru (terjadi lagi) 33 tahun lagi,”
ucap Indroyono di kantor Kemenko Maritim, Jakarta, Selasa (7/7/2015).
“Kalau kita masih hidup (33
tahun lagi) baru bisa lihat (gerhana matahari total ini) lagi,” sambung
Indroyono.
Menurut dia, ada faktor lain
yang menyebabkan Indonesia harus berbangga dengan gerhana matahari tahun depan.
Gerhana matahari total 2016 hanya terjadi di Indonesia.
“(Gerhana matahari total) ini
cuma lewat di wilayah kita. Isu ini sudah terdengar di seluruh dunia,” jelas
Indroyono.
“Kita akan buat (gerhana
matahari total) ini sesuatu yang luar biasa,” ucap dia.
Oleh sebab itu, Indroyono
mendorong semua kementerian terkait, lembaga pemerintah, pemangku kepentingan
dan sektor swasta, bahu-membahu menyukseskan acara ini. Gerhana matahari di
Indonesia ini dapat dimanfaatkan untuk mendatangkan devisa dari sektor
pariwisata.
Kemenko Maritim pun siap
menyelenggarakan beberapa acara untuk menyambut gerhana total ini. Termasuk
penawaran paket wisata gerhana, penyelenggaraan World Total Solar Eclipise
Conference, rangkaian ekspedisi maritim dengan menyaksikan langsung gerhana
matahari total di beberapa wilayah.
Keterangan Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional ada beberapa daratan yang akan dilewati gerhana matahari
total di Indonesia. Wilayah tersebut antara lain Palembang, Bangka Belitung,
Palangkaraya, Palu, Ternate, dan Tidore.
Sumber : Liputan6.com
Bagaimana Islam menghadapi
moment semacam ini? Tentu saja, bukan hanya melewatkannya dengan berfoto-foto
ria. Islam punya tuntunan sendiri dalam hal ini sebagaimana yang dituntunkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Simak pembahasan berikut ini.
Keyakinan Keliru
Banyak masyarakat awam yang
tidak paham bagaimana menghadapi fenomena alami ini. Banyak di antara mereka
yang mengaitkan kejadian alam ini dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat
yang menyelisihi aqidah yang benar. Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di
saat terjadinya gerhana, ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan
matahari sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur
dan masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.
Ada juga masyarakat yang
meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang kekasih, sehingga apabila
mereka berdekatan maka akan saling memadu kasih sehingga timbullah gerhana sebagai
bentuk percintaan mereka.
Sebagian masyarakat seringkali
mengaitkan peristiwa gerhana dengan kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya
kematian atau kelahiran, dan kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun
sehingga menjadi keyakinan umum masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena
kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat gerhana tersebut, maka
berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
(HR. Al-Bukhari no. 1044)
Memang pada saat terjadinya
gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah, beliau
berkata:
كَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ
إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ .
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه
وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
“Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian
orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim.
Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana
matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika
kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Al-Bukhari
no. 1043)
Ibrahim adalah anak dari budak
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Mariyah Al-Qibthiyyah
Al-Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala
Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air
mata dan begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan ketika kematian anaknya ini,
إِنَّ
الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى
رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami
tidak mengatakan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena
kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Al-Bukhari no. 1303)
Itulah keyakinan-keyakinan
keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim ketika terjadi fenomena
semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan mengenai gerhana, shalat gerhana
dan hal-hal yang mesti kita lakukan ketika itu. Kami tidak ingin
berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini. Kami cukup menyampaikan secara
ringkas, sehingga pembaca bisa lebih mudah memahami.
Apa yang Dimaksud Dengan Gerhana
Matahari?
Kalau dalam pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari dahulu, fenomena gerhana matahari
adalah seperti pada gambar ini.
Posisi gerhana matahari adalah
bulan berada di tengah-tengah antara matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu
menghalangi sinar matahari yang akan sampai ke bumi. Ini gambaran singkat
mengenai gerhana matahari.
Menurut pakar bahasa Arab,
mereka mengatakan bahwa kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau
berkurangnya cahaya matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari
dan bumi. Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf adalah
sebutan untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith, hal. 823)
Jadi ada dua istilah dalam
pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf adalah gerhana matahari,
sedangkan khusuf adalah gerhana bulan.
Definisi yang tepat jika kita
katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut berbarengan maka kusuf dan khusuf
bermakna satu yaitu gerhana matahari atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan
khusuf disebut berbarengan, maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan
khusuf bermakna gerhana bulan. (Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424)
Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin
inilah yang akan ditemukan dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits
menggunakan kata khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau
gerhana bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan
kusuf.
Wajib atau Sunnahkah Shalat
Gerhana?
Mayoritas ulama berpendapat
bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat
ditekankan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib.
Imam Malik sendiri menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita
timbang-timbang, ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang
kuat. Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana
mengandung kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah:
kalimat ini mengandung perintah). Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum
asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang dipilih
oleh Asy-Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al-Albani rahimahumullah.
Para Ulama Berbeda Pendapat
Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan
Pendapat pertama menyatakan
bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat
gerhana matahari (ini bagi yang menganggap shalat gerhana matahari adalah
sunnah mu’akkad, pen) dan dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang
dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih
oleh ’Atho’, Al-Hasan, An-Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan
pula dari Ibnu ’Abbas.
Pendapat kedua yang menyatakan
bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa
yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai tata cara
shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat gerhana bulan
tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.
Manakah yang lebih kuat?
Pendapat pertama dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
memerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana tersebut tanpa beliau
bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433, Al Maktabah At
Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat pertama tadi. Dalilnya
adalah:
فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
“Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana
matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 1047)
Kita kembali lagi pada
pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa shalat gerhana adalah wajib
sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin dalam
Syarhul Mumthi’.
Kalau ada yang mengatakan bahwa
shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu saja. Maka para ulama yang
menyatakan wajibnya shalat gerhana akan menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi
wa sallam menyebut shalat lima waktu itu wajib karena shalat tersebut berulang
di setiap waktu dan tempat (maksudnya: shalat lima waktu adalah shalat yang
diwajibkan setiap saat dan bukan karena sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan
tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat tahiyatul masjid adalah wajib)
atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib karena ada sebab
tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat wajib mutlaq (maksudnya:
berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada seseorang bernadzar akan
menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena nadzar ini wajib dia kerjakan
walaupun shalat tersebut bukan shalat lima waktu. Shalat ini wajib dikerjakan
karena sebab dia bernadzar. Jadi, shalat yang wajib karena sebab tertentu tidak
seperti shalat wajib muthlaq yang tanpa sebab.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin
mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat disayangkan
orang-orang malah lebih senang melihat fenomena gerhana matahari atau gerhana
bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban yang satu ini. Semua hanya sibuk
dengan dagangan, hanya berfoya-foya atau sibuk di ladang. Kami takutkan,
mungkin saja gerhana ini adalah tanda diturunkannya adzab sebagaimana yang
Allah takut-takuti melalui gerhana ini. Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan
wajib lebih kuat daripada yang menyatakan sekedar dianjurkan.” (Syarhul
Mumthi’, 2/429)
Jadi bagi siapa saja yang
melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana. Wallahu a’lam,
wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk
melaksanakannya.
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat
gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah,
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا
حَتَّى يَنْجَلِىَ
“Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara
tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena
kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada
Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Al-Bukhari
no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh
dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah
Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat
gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
“Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan
bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 1047)
Dalam hadits ini tidak dibatasi
waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang untuk shalat,
maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika
Terjadi Gerhana
Pertama: perbanyaklah dzikir,
istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda
di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena
kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka
berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
(HR. Al-Bukhari no. 1044)
Kedua: keluar mengerjakan
shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.
Salah satu dalil yang
menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah
gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya
(yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Al-Bukhari
no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat
di situ. (Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah
mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu
shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah
melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)
Lalu apakah mengerjakan dengan
jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin
rahimahullah mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat.
Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di
rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam:
فَإِذَا
رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka
shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 1043)
Dalam hadits ini, beliau shallallahu
’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah
kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana
diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut
sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara
berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat
tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk
melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih
menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya
(terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)
Ketiga: wanita juga boleh
shalat gerhana bersama kaum pria.
Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau
berkata:
أَتَيْتُ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ
خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ
قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى
السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ
نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu
manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan
sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan
tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya
bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan
iya.” (HR. Al-Bukhari no. 1053)
Al-Bukhari membawakan hadits
ini pada bab:
صَلاَةِ
النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
“Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi
gerhana matahari.”
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
mengatakan:
أَشَارَ
بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ
فُرَادَى
“Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk
orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria,
mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)
Kesimpulannya, wanita boleh
ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika
ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria),
maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)
Keempat: menyeru jama’ah dengan
panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari ’Aisyah radhiyallahu
’anha, beliau mengatakan:
أنَّ الشَّمس
خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي:
الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في
ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.
“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada
zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari.
Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH-SHALATU
JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul.
Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali
sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak
diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah
tidak ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah
shalat gerhana.
Disunnahkah setelah shalat
gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy-Syafi’i,
Ishaq, dan banyak sahabat (Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan
hadits:
عَنْ عَائِشةَ
رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله
عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام،
ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام
الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم
سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ
الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله
وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ
تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم
قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ
أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ.
يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم
كثِيراً “.
“Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana
matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan
beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih
singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan
memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya.
Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at
berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau
beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan
menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah
dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi
karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut
maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan
bersedekahlah.”
Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad,
demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada
seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat
Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian
akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)
Khutbah yang dilakukan adalah
sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang
benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)
Wallahu a’lam, semoga
bermanfaat.
0 Comment for "Menyikapi Fenomena Gerhana Matahari"