“Kalian adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali Imran [3] : 110)
Rafidhah atau Imamiyah atau (Syi’ah)
dua belas merupakan salah satu kelompok pada Syi’ah. Mereka dinamakan dengan
Rafidhah karena mereka menolak mayoritas para sahabat dan menolak kepemimpinan
kedua Syeikh yaitu Abu Bakar dan Umar, atau karena mereka menolak kepemimpinan
Zaid bin Ali dan memisahkan diri dari beliau.
Mereka dinamakan Imamiyah karena fokus
perhatian mereka dalam masalah kepemimpinan (imamah) dan menjadikannya sebagai
dasar dalam agama, atau karena mereka mengklaim bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyatakan dengan tekstual akan kepemimpinan Ali
dan anak-anaknya.
Dinamakan Dua Belas karena mereka
mengatakan dan meyakini kepemimpinan dua belas orang dari ahli bait, yang
pertama adalah Ali radhiyallahu ‘anhu dan yang terakhir adalah Muhammad
bin Hasan Al-Askary yang menghilang menurut mereka, mereka mengklaim bahwa dia
telah masuk ke “Sirdab” (ruang bawah tanah) Samira’ pada pertengahan abad 13 H,
dan dia diyakini masih hidup di dalam sana, dan mereka menunggu keluarnya.
Mereka juga mempunyai keyakinan dan
dasar-dasar yang menyimpang dari ajaran Islam, di antaranya adalah:
1.
Mereka bersikap berlebihan kepada para imam mereka, dengan mengklaim bahwa
semua mereka adalah maksum (terjaga dari dosa), mereka juga banyak memperuntukkan
ibadah kepada para imam tersebut, seperi: do’a, istigatsah (meminta
pertolongan), menyembelih (atas nama mereka) dan thawaf, ini merupakan syirik
besar yang telah Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan tidak diampuni.
Kesyirikan ini dilakukan oleh para ulama dan orang-orang awam mereka.
2.
Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an telah mengalami perubahan, dengan dikurangi
atau ditambah. Dalam masalah ini mereka mempunyai banyak karangan buku yang
diketahui oleh para ulama mereka dan mayoritas masyarakat mereka, sehingga
pernyataan bahwa Al-Qur’an telah dirubah menjadi salah satu dasar penting pada
madzhab mereka.
3.
Mengkafirkan mayoritas para sahabat radhiyalllahu ‘anhum dan berlepas
diri dari mereka, mendekat diri kepada Allah dengan melaknat dan memaki mereka,
mereka juga mengklaim bahwa para sahabat telah menjadi murtad setelah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia kecuali hanya segelintir orang
saja (hanya tujuh orang), ini bentuk pendustaan terhadap Al-Qur’an yang telah
menjelaskan keutamaan mereka dan mengabarkan bahwa Allah telah meridhoi mereka
dan telah memilih mereka untuk menemani (perjuangan) Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini juga berarti mencela Al-Qur’an karena Al-Qu’an
diriwayatkan melalui para sahabat, jika mereka kafir maka tidak ada jaminan
mereka tidak akan merubah Al-Qur’an, inilah akidah mereka orang-orang Rafidhah
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وأما من جاوز ذلك إلى أن زعم أنهم ارتدوا
بعد رسول الله عليه الصلاة والسلام إلا نفراً قليلاً لا يبلغون بضعة عشر نفساً، أو
أنهم فسقوا عامتهم، فهذا لا ريب أيضاً في كفره، لأنه كذب لما نصه القرآن في غير موضع:
من الرضى عنهم والثناء عليهم، بل من يشك في كفره مثل هذا فإن كفره متعين، فإن مضمون
هذه المقالة أن نقلة الكتاب والسنة كفار أو فساق، وأن هذه الآية التي هي: ( كنتم خير
أمة أخرجت للناس ) وخيرها هو القرن الأول، كان عامتهم كفاراً أو فساقاُ، ومضمونها أن
هذه الأمة شر الأمم، وأن سابقي هذه الأمة هم شرارها، وكفر هذا مما يعلم بالاضطرار من
دين الإسلام
“Sedangkan
barang siapa yang telah melampaui batas dan mengklaim bahwa para sahabat telah
menjadi murtad kembali sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali hanya belasan orang saja atau mayoritas mereka telah berlaku fasik,
maka orang ini tidak diragukan lagi akan kekafirannya, karena dia telah
mendustakan teks Al-Qur’an yang tidak hanya pada satu masalah saja, dari mulai
keridhoan Allah terhadap para sahabat dan pujian-Nya kepada mereka, bahkan barang
siapa yang meragukan kekafirannya dalam kondisi seperti ini, maka dia pun bisa
menjadi kafir, karena kandungan dari makalah ini bahwa para perawi Al-Qur’an
dan sunnah adalah orang-orang kafir atau fasik dan bahwa ayat ini:
كنتم خير أمة أخرجت للناس
“Kalian
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia”. (QS. Ali Imran [3] : 110)
Sebaik-baik
umat tersebut adalah generasi awal, jika mayoritas mereka adalah kafir dan
fasik, maka konsekuensinya adalah bahwa umat ini menjadi seburuk-buruk umat dan
umat yang terdahulu adalah yang paling buruk. Kekafiran orang yang menyatakan
hal itu termasuk yang mudah dikenali di dalam Islam”. (Ash-Sharim Al-Maslul
‘ala Syatim Ar-Rasul, hal. 590)
4.
Menisbatkan bida’ kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maksudnya adalah
munculnya pendapat baru yang sebelumnya tidak ada. Hal ini berarti menisbatkan
ketidaktahuan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
5.
Mereka meyakini taqiyyah, yaitu: menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang
disembunyikannya. Sejatinya hal ini adalah bentuk kedustaan, kefasikan dan
kecerdikan untuk menipu orang lain, bagi mereka hal itu tidak hanya dilakukan
pada saat berada dalam ketakutan saja, bahkan mereka berpendapat menggunakan
taqiyyah menjadi bagian dari agama, baik dalam masalah kecil maupun besar,
dalam keadaan takut maupun aman, dan semua yang menjadi hak dari salah seorang
imam dari para imam mereka, seperti memuji para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau menyetujui ahlus sunnah wal jama’ah meskipun dalam
masalah-masalah thaharah, makanan dan minuman, orang-orang syi’ah menolaknya
dan mereka mengatakan: “Bahwa imam (mereka) mengatakan itu karena dia
bertaqiyyah”.
6.
Mereka meyakin “Ar-Raj’ah” yaitu; keyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan ahli baitnya (Ali, Hasan dan Husain dan para imam lainnya)
mereka semua akan kembali lagi. Dan pada sisi yang lain Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Mu’awiyah, Yazin bin Dzi al Jausyan dan semua yang telah menyakiti ahli
bait menurut pendapat mereka.
Menurutnya mereka semua akan kembali
lagi ke dunia sebelum datangnya hari kiamat, pada saat kembalinya imam Mahdi
dan menampakkan dirinya -sebagaimana yang telah dinyatakan kepada mereka oleh
musuh Allah Ibnu Saba’- mereka akan kembali untuk membalas mereka sebagaimana
mereka telah menyakiti ahli bait dan memusuhi mereka dan mencegah hak-hak yang
seharusnya mereka dapatkan, maka mereka menjatuhkan siksa yang berat kemudian
mereka mati lagi, kemudian baru hidup kembali pada hari kiamat untuk pembalasan
yang terakhir sekali lagi, beginilah yang mereka tuduhkan.
Dan lain-lain dari keyakinan rusak
mereka yang memungkinkan untuk diketahui rincian dan batilnya keyakinan mereka
melalui kitab: “Al-Khuthuth Al-‘Aridhah” karangan Muhibbud Diin Al-Khatib, atau
“Ushul Madzhab Syi’ah Imamiyah” karangan DR. Nashir al Fiqari, atau “Firaq
Mu’ashirah Tantasibu ila al Islam” karangan DR. Ghalib bin Ali ‘Iwaji, Jilid 1
hal. 127-269, atau “Al-Mausu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzahib wal Ahzaab
al Mu’ashirah, Jilid 1 hal. 51-57
Ulama Lajnah Daimah lil Ifta’ pernah
ditanya:
هل الطريقة الشيعة الإمامية من الإسلام؟
ومن الذي اخترعها؟ لأنهم أي الشيعة ينسبون مذهبهم لسيدنا علي كرم الله وجهه؟
“Apakah
cara-cara Syi’ah Imamiyah menjadi bagian dari Islam? siapa yang mencetuskannya?
karena Syi’ah menisbatkan madzhab mereka kepada sayyidina Ali karramallahu
wajhahu?
Mereka menjawab:
مذهب الشيعة الإمامية مذهب مبتدع في الإسلام
أصوله وفروعه، ونوصيك بمراجعة كتاب الخطوط العريضة و مختصر التحفة الإثني عشرية ومنهاج
السنة لشيخ الإسلام، وفيها بيان الكثير من بدعهم
“Madzhab
Syi’ah Imamiyah adalah madzhab bid’ah (yang baru) di dalam Islam, dasar-dasar
dan masalah cabangnya. Maka kami sarankan anda untuk membaca kitab “Al-Khuthuth
Al-‘Aridhah”, Mukhtashar At-Tuhfah Al-Itsnai ‘Asyriyah”, Minhajus Sunnah
karangan Syiakhul Islam, di dalam buku-buku tersebut dijelaskan banyak hal
tentang bid’ah-bid’ah mereka. (Fatawa Lajnah Daimah, Jilid 2 hal. 377)
Telah dijelaskan sebelumnya akan
kebatilan madzhab ini dan penyimpangannya dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
dan tidak diterima keyakinan seseorang kepadanya, tidak juga dari para ulama
maupun orang-orang awamnya.
Sedangkan para imam yang dinisbatkan
kepada mereka, maka mereka terbebas dari kebohongan dan kebatilan tersebut, di
antara nama-nama para imam tersebut adalah:
1.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu meninggal syahid pada tahun 40 H.
2.
Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma ( 3-50 H)
3.
Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (4-61 H)
4.
Ali Zainal Abidin bin Husain rahimahullah ( 38-95 H) yang diberi gelar
As-Sajjad.
5.
Muhammad bin Ali Zainal Abidin rahimahullah (57-114 H) yang diberi gelar
Al-Baqir
6.
Ja’far bin Muhammad Al-Baqir rahimahullah (83-148 H) yang diberi gelar Ash-Shadiq
7.
Musa bin Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah (128-183 H) yang diberi gelar Al-Kadzim
8.
Ali bin Musa Al-Kadzim rahimahullah (148-203 H) yang diberi gelar Ar-Ridha
9.
Muhammad Al-Jawwad bin Ali Ar-Ridha rahimahullah (195-220 H) yang diberi
gelar At-Taqi
10.
Ali Al-Hadi bin Muhammad Al-Jawwad rahimahullah (212-254 H) yang diberi
gelar An-Naqi
11.
Hasan Al-Askari bin Ali Al-Hadi rahimahullah (232-260 H) yang diberi
gelar Az-Zaki
12.
Muhammad Al-Mahdi bin Al-Hasan Al-Askari, yang diberi gelar Al-Hujjah Al-Qaim Al-Muntazhar.
Mereka mengklaim bahwa imam yang
terakhir telah memasuki sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’. Banyak peneliti
yang menyatakan bahwa dia itu aslinya tidak ada dan merupakan hasil rekayasa
Syi’ah. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, Jilid 1 hal. 51)
Al-Hafizh Ibnu Kastir rahimahullah
berkata:
وأما ما يعتقدونه بسرداب سامرا فذاك هوس
في الرؤوس، وهذيان في النفوس، لا حقيقة له، ولا عين، ولا أثر انتهى
“Adapun
apa yang mereka yakini tentang sirdab (ruang bawah tanah) di Samra’ merupakan
bentuk stres di kepala, gangguan pada jiwa, tidak nyata, tidak ada dzat dan
jejaknya.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, Jilid 1 hal. 177)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
membagi 12 imam menjadi empat bagian:
Pertama, Ali bin Abi Thalib, Hasan dan
Husain radhiyallahu ‘anhum mereka adalah para sahabat yang agung, tidak
diragukan akan keutamaan dan kepemimpinan mereka, namun yang menyertai
keutamaan sebagai sahabat banyak yang lainnya, dan di antara para sahabat ada
yang lebih utama dari mereka dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Kedua, Ali bin Husain, Muhammad bin
Ali Al-Baqir, Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq dan Musa bin Ja’far, mereka adalah
termasuk ulama yang terpercaya yang diakui. (Minhajus Sunnah, Jilid 2 hal. 243-244)
Ketiga, Ali bin Musa Ar-Ridha,
Muhammad bin Ali bin Musa Al-Jawwad, Ali bin Muhammad bin Ali Al-Askari dan
Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Askari, mereka semua sebagaimana yang katakan
oleh Ibnu Taimiyah: “Mereka semua tidak nampak keilmuwannya yang bermanfaat
bagi umat, mereka juga tidak ringan tangan untuk membantu umat, akan tetapi
mereka sama saja seperti Bani Hasyim lainnya, mereka mempunyai kehormatan dan
kedudukan, di antara mereka juga yang mengetahui ajaran Islam yang umum sama
dengan orang-orang yang lainnya, adapun yang rinciannya ajaran Islam yang
diketahui oleh para ulama maka dalam hal ini mereka tidak dikenal demikian,
oleh karena itu para ulama tidak mengambil pendapat mereka sebagaimana mereka
telah mengambil pendapat tiga orang pertama, kalau saja mereka mendapatkan dari
mereka sesuatu yang bermanfaat maka mereka pasti mengambilnya, akan tetapi
seorang pencari ilmu mengetahui tujuannya.” (Minhajus Sunnah, Jilid 6 hal. 387)
Keempat, Muhammad bin Hasan Al-Askari Al-Muntazhar,
maka orang ini tidak nyata sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Wallahu
a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Kedudukan 12 Imam Syi'ah dalam Pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah"