“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.
Al-Hujurat [49] : 6)
Murad Oğlu Ahmed rahimahullah atau
lebih dikenal dengan Sultan Murad IV adalah Khalifah Daulah Utsmaniyah yang
menjabat pada tahun 1032 H hingga 1049 H. Diriwayatkan dalam buku harian
beliau, bahwa suatu malam Sultan Murad IV merasakan kegalauan yang amat sangat
sehingga beliau kesulitan untuk beristirahat, padahal beliau sudah mengambil
air wudhu dan juga telah melaksanakan shalat malam, namun kegalauan itu tetap
tak kunjung sirna, dia pun ingin mengetahui apa penyebab kegalauan tersebut. Maka
dia pun memanggil kepala pengawalnya serta para penasehat kerajaan dan
menceritakan apa yang sedang dia rasakan.
Salah satu dari penasehat kerajaan
berkata kepada Sultan Murad IV, “Mungkin baginda belum berkeliling melihat
keadaan rakyat pagi ini sehingga baginda merasakan kegalauan?” Namun Sultan
Murad IV menjawab, “Saya sudah berkeliling pagi ini.” Mendengar itu penasehat
tersebut kembali memberikan saran, “Jika demikian wahai baginda, bagaimana jika
kita sekali lagi berkeliling melihat keadaan rakyat pada malam ini?” Sultan
Murad IV pun mengiyakan usulan tersebut dan berkata, “baiklah, mari kita keluar
sejenak.”
Maka Sultan Murad IV dan pengawal
serta para penasehatnya pun keluar dari istana dan berkeliling ke desa-desa dengan
pakaian menyamar seperti rakyat biasa. Diriwayatkan, ketika rombongan Sultan
Murad IV mencapai sebuah penghujung desa disebuah lorong yang sempit, beliau
menemukan seorang laki-laki sedang tergeletak di tanah dengan keadaan tangannya
memeganng khamr. Sultan Murad IV pun melihat kondisi laki-laki tersebut dan
ternyata ia telah meninggal. Akan tetapi Sultan Murad IV kebingungan, bagaimana
mungkin orang-orang disini tidak peduli dengan laki-laki ini padahal banyak
sekali orang-orang yang berlalu lalang disini.
Melihat hal ini, Sultan Murad IV pun
memanggil mereka, “Wahai manusia!!”
Orang-orang yang lewat disana tidak
mengetahui bahwa beliau adalah Sultan Murad IV, mereka bertanya, “Ada apa? Apa
yang kau inginkan dari kami?”
Sultan Murad IV menjawab, “Mengapa ada
seorang yang meninggal disini namun tak ada seorang pun yang mau mengurusnya?
Siapa dia? Dimana keluarganya?”
Mereka menjawab, “Oh itu si Fulan, Dia
orang Zindiq, pemabuk dan pezina. Jangan urus jenazahnya!”
Sultan Murad IV berkata, “Tapi
bukankah dia adalah umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Ayo, bawa jenazah
ini ke rumah keluarganya.”
Maka mereka
pun membawa jenazah laki-laki itu ke rumah keluarganya.
Sesampainya di rumah keluarganya, melihat
suaminya telah meninggal, sang istri pun menangis. Orang-orang yang mengantar
jenazahnya pun langsung pergi, dan tinggalah Sultan Murad IV dan pengawal serta
penasehatnya.
Dalam sela tangisannya, sang Istri
berkata, “Semoga Allah merahmatimu wahai wali Allah, sesungguhnya aku bersaksi
bahwa engkau adalah termasuk orang yang shalih.”
Mendengar ucapan tersebut, Sultan
Murad IV kaget. Dia berfikir, bagaimana mungkin dia ini adalah seorang wali
Allah sedangkan orang-orang disekitarnya menghibahi dia dan menuduh dia sebagai
orang Zindiq, pemabuk dan pezina hingga tak ada satu pun yang mau memperdulikan
kematiannya. Maka dengan rasa penasaran tersebut Sultan Murad IV pun bertanya, “Coba
ceritakan kepada kami, ada apa dengan suami anda ini semasa hidupnya, sampai-sampai
tidak ada seorang pun yang mau mengurus kematiannya?”
Dalam helak tangis, sang Istri
menjawab, “Sebenarnya saya telah menduga. Akhirnya ketakutanku terjadi juga.
Kalau sampai suamiku meninggal pasti tidak ada penduduk yang mengurus dan
menguburkannya karena mereka menganggap suamiku pemabuk dan pezinah.”
Sang istri mengisahkan, “Sesungguhnya
kami ini adalah keluarga yang berkecukupan, suamiku setiap malam pergi ke
penjual khamr dan suamiku membeli beberapa botol khamr yang dia bisa beli
kemudian membawanya pulang ke rumah kami dan menumpahkan seluruh khamr itu di
kamar mandi, dan dia berkata, “Semoga aku bisa meringankan keburukan khamr dari
kaum Muslimin.” Suamiku juga setiap hari pergi kepada para pelacur dan memberi
mereka uang seraya berkata, “Mala mini kau kubayar dan jangan kau buka pintu
rumahmu untuk melacur hingga pagi.” Kemudian suamiku kembali pulang ke rumah dan
berkata, “Segala puji bagi Allah, semoga dengan itu aku bisa meringankan keburukannya
dari pemuda-pemuda Muslim malam ini.” Namun sebagian orang melihat dan
mengetahui bahwa suamiku membeli khame dan masuk ke tempat pelacuran. Sehingga mereka
mengghibahi suamiku dengan keburukan.”
Suatu hari aku pernah berkata kepada
suamiku mengenai tingkah lakunya, “Sungguh apa yang telah engkau lakukan, jika
seandainya engkau mati maka tidak akan ada orang yang akan memandikan,
menshalatkan dan menguburkanmu.”
Suamiku pun tertawa dan berujar, “Jangan
khawatir wahai sayangku, jika aku mati maka yang akan menshalatkanku adalah Sultannya
Kaum Muslimin, para Ulama dan para pembesar-pembesar negeri.”
Mendengar hal itu maka Sultan Murad
IV pun menangis dan berkata, “Suamimu benar! Demi Allah, aku adalah Sultan
Murad IV dan besok pagi kami akan memandikan, menshalatkan dan menguburkannya.”
Akhirnya, keesokan harinya
penyelenggaraan jenazaah laki-laki itu dihadiri oleh Sultan Murad IV, para
Ulama, para pembesar-pembesar negeri dan seluruh masyarakat.
Hikmah
Dari
kisah Sultan Murad IV dan seorang wali Allah diatas, dapat kita ambil banyak
hikmah diantaranya bahwa kita dilarang untuk menilai orang lain dari sisi
lahiriahnya saja atau menilainya berdasarkan apa yang kita dengar dari orang
lain, apalagi tanpa bertabayun terlebih dahulu. Sungguh banyak sekali hal yang
kita tidak ketahui, apalagi hal tersebut berurusan dengan hati yang berada pada
relung terdalam. Hendaklah kita bersikap husnuzhan terhadap saudara-saudara
Muslim kita. Boleh jadi seseorang yang selama ini kita anggap Ahli Neraka,
ternyata justru dia seorang wali Allah dan penghuni surga yang kakinya masih
melangkah di bumi. Hendaklah jaga lisan kita dari bahaya ghibah, karena banyak
orang yang diseret kedalam neraka karena hasil dari lisan mereka.
Dikutip dari Mudzakirat Sulthan Murad Ar-Rabi’
karya Syaikh Hamid Akram Al-Bukhari hafizhahullah dan berbagai sumber
referensi lainnya.
0 Comment for "Kisah Sultan Murad IV dengan Seorang Wali Allah"