Aurat Laki-Laki

“Di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187 dan Al-Baihaqi 2/229)




Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Aurat artinya sesuatu yang tidak boleh dilihat orang lain. Sering kita dengar pembahasan mengenai aurat wanita. Namun mungkin sedikit atau jarang sekali kita mendengar pembahasan aurat para lelaki. Sering kita lihat bagaimana sebagian pria menampakkan paha atau membuka aurat lainnya. Lalu manakah batasan aurat pria yang terlarang dilihat oleh orang lain? Moga Allah memudahkan dalam membahas hal ini.

Aurat Sesama Lelaki

Aurat sesama lelaki –baik dengan kerabat atau orang lain- adalah mulai dari pusar hingga lutut. Demikian menurut ulama Hanafiyah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ

“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad 2/187, Al-Baihaqi 2/229. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menyatakan sanad hadits ini hasan)

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pusar sendiri bukanlah aurat. Mereka berdalil dengan riwayat bahwa Hasan bin ‘Ali radhiyallhu ‘anhuma pernah menampakkan auratnya lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menciumnya. Akan tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lutut termasuk aurat. Mereka berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الرُّكْبَةُ مِنَ الْعَوْرَةِ

“Lutut termasuk ‘aurat.” (HR. Ad-Daruquthni 1/506, hadits ini dha’if)

Apa saja yang boleh dilihat oleh laki-laki sesama lelaki, maka itu boleh disentuh.

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa lutut dan pusar bukanlah aurat. Yang termasuk aurat hanyalah daerah yang terletak antara pusar dan lutut. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Ayyub al-Anshori radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما فوق الرّكبتين من العورة ، وما أسفل السّرّة وفوق الرّكبتين من العورة

“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.” (HR. Al-Baihaqi 2/229, hadits ini dha’if)

Pendapat terkuat dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa aurat lelaki sesama lelaki adalah antara pusar hingga lutut. Artinya pusar dan lutut sendiri bukanlah aurat. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.

Apakah Benar Paha Termasuk Aurat?

Sebagian ulama memang berpendapat bahwa paha tidak termasuk aurat, artinya boleh ditampakkan. Yang berpendapat seperti ini adalah Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, pendapat ulama Malikiyah, dan pendapat ulama Zhahiriyah. (Shahih Fiqh Sunnah, 3/7) Di antara dalil yang menjadi pendukung adalah berikut ini :

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

وَإِنَّ رُكْبَتِى لَتَمَسُّ فَخِذَ نَبِىِّ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم  ، ثُمَّ حَسَرَ الإِزَارَ عَنْ فَخِذِهِ حَتَّى إِنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ فَخِذِ نَبِىِّ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم

“Dan saat itu (ketika di Khaibar) sungguh lututku menyentuh paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau menyingkap sarung dari pahanya hingga aku dapat melihat paha Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih.” (HR. al-Bukhari no. 371 dan Muslim no. 1365)

asy-Syaikh Abu Malik menyanggah alasan dari Ibnu Hazm dengan hadits di atas, beliau hafizhahullah berkata, “Hadits di atas dimaksudkan bahwa sarung Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersingkap dengan sendirinya, bukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyingkapnya sendiri dan beliau juga tidak menyengajainya. Hal ini didukung dengan riwayat dalam Shahihain yang menyatakan “فانحسر الإزار”, artinya sarung tersebut tersingkap dengan sendirinya.” (Shahih Fiqh Sunnah, 3/7)

Dalil lain yang menjadi pendukung pendapat ini adalah:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مُضْطَجِعًا فِى بَيْتِى كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ فَاسْتَأْذَنَ أَبُو بَكْرٍ فَأَذِنَ لَهُ

(‘Aisyah berkata), “Pada suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berbaring di rumah saya dengan membiarkan kedua pahanya atau kedua betisnya terbuka. Tak lama kemudian, Abu Bakar minta izin kepada Rasulullah untuk masuk ke dalam rumah beliau ….”

asy-Syaikh Abu Malik menyanggah pendapat yang berdalil bahwa paha bukan termasuk aurat berdalil dengan hadits di atas, di mana beliau berkata :

“Tidak bisa kita mempertentangkan hadits yang jelas-jelas mengatakan batasan aurat bagi pria dengan hadits-hadits umum yang telah disebutkan sebelumnya. Bahkan semakin penguat lemahnya pendapat ini, yaitu terdapat dalam riwayat Muslim suatu pertentangan, di mana perowi mengatakan paha dan betisnya. Di riwayat lain dikatakan dengan lafazh “كَاشِفًا عَنْ فَخِذَيْهِ أَوْ سَاقَيْهِ”, beliau menyingkap paha atau betisnya. Dan betis sama sekali bukanlah aurat berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Shahih Fiqh Sunnah, 3/8)

Kesimpulannya, yang lebih tepat dan lebih hati-hati dalam masalah ini, paha adalah aurat. Itulah yang lebih rajih (kuat) berdasarkan alasan yang telah dikemukakan di atas.

Aurat Lelaki dengan Wanita Lainnya

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).

Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. an-Nur : 31)

Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah, ia berkata:

كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم احْتَجِبَا مِنْهُ. فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ

“Aku berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?“ ([HR. Abu Daud no. 4112, at-Tirmidzi no. 2778, dan Ahmad 6/296, hadits ini dha’if)

Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya.” (Sunan Abi Daud Bab “Firman Allah Ta’ala: وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ “)

Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh  bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:

رَأَيْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.” (HR. al-Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892)

Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat. Wallahu a’lam.

Aurat Lelaki di Hadapan Istri

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dha’if. Hadits tersebut adalah:

إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ

“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.” (HR. Ibnu Majah no. 1921, hadits ini dha’if)

Hanya Allah yang Maha Sempurna yang dapat memberikan taufiq dan hidayah. Wallahu a’lam.

0 Comment for "Aurat Laki-Laki"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top