Fudhail bin Iyadh Rahimahullah, Taubatnya Sang Perampok

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar [39] : 53)


Tiada ada kata terlambat untuk bertaubat... ini adalah sebuah kalimat yang ringkas namun bisa menjadi sebuah motivasi yang tinggi kepada kita ketika kita merasa sudah berlumuran dosa, terjerumus kedalam lautan kenistaan, hidup penuh kemaksiatan, siang dan malam diisi dengan kejahilan. Sungguh Allah subhanahu wa ta’ala Maha Penerima Taubat, sebesar apapun dosa hambanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az-Zumar [39] : 53-54)

            Sungguh ayat diatas benar-benar sangat menggetarkan hati bagi siapapun yang membacanya, sangat luas rahmat Allah dan Allah mengampuni semua dosa, tinggal kita ini yang telah berlumuran dosa ingin kembali kepada-Nya dengan bertaubat atau justru tetap terkungkung dalam kedurhakaan hingga akhirnya azab-Nya datang dan tak ada lagi yang bisa menolong. Semua adalah pilihan kita.

            Pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengisahkan sebuah kisah yang bisa kita ambil pelajaran yang sangat mendalam dalam kisah tersebut. Kisah ini menceritakan mengenai taubatnya salah satu Ulama Tabi’in yang mulia, beliau adalah Fudhail bin Iyadh rahimahullah.

            Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengisahkan dalam Kitab Siyar A’lam An-Nubala Jilid 8 hal. 423:

Hampir setiap malam dia mendatangi rumah-rumah yang ada di negeri itu untuk melakukan aksinya, yaitu merampok. Hingga suatu malam dia kembali melaksanakan aksinya. Kali ini ia ingin menemui seorang gadis yang selama ini ia rindukan. Di saat ia memanjat dinding untuk menemui gadis impiannya. Pada saat yang bersamaan ketika dia telah berada di rumah itu, tiba-tiba dia mendengar suara lantunan Al-Qur’an sedang dibacakan. Rupanya suara itu berasal dari sang pemilik rumah yang sedang berdiri bermunajat kepada Rabb-nya. Sang pencuri pun hanyut dengan lantunan ayat-ayat Allah yang sedang dilantunkan, hingga ketika sampai pada ayat:

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperi orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hadid [57] : 16)

Tak terasa air matanya berlinang, hingga akhirnya dia pun tersungkur jatuh. Seketika badannya yang selama ini kokoh, menjadi rapuh karena mendengar ayat tadi. Dia pun berkata dalam hatinya untuk menjawab pertanyaan Allah yang terdapat dalam ayat di atas, “Wahai Rabb-ku, telah tiba saatnya”.

Akhirnya, ia pergi menjauh, lalu ia bermalam pada reruntuhan bangunan. Ternyata di samping bangunan itu ada orang-orang yang mau lewat. Sebagian diantara orang-orang itu berkata, “Ayo kita berangkat”. Sebagian lagi bilang, “Jangan dulu!! Nanti shubuh kita berangkat, karena Fudhail sekarang akan menghadang kita di jalan!!!”.

Mendengar perbincangan itu Fudhail akhirnya berpikir dan berkata dalam hatinya, “Aku berbuat maksiat di malam hari, sementara itu kaum muslimin di tempat ini takut kepadaku. Aku memandang Allah tak akan menggiringku kepada mereka, kecuali pasti mereka akan gemetar (karena takut kepadaku). Ya Allah, sungguh kini aku bertobat kepada-Mu dan aku jadikan tobatku berupa hidup di Baitullah”.

Setelah kejadian itu, dia pun melalui hari-harinya dengan ketaatan kepada Allah sampai ia dikenal dengan ‘abidul haramain (عَابِدُ الْحَرَمَيْنِ), artinya “ahli ibadah dua tanah suci (Makkah dan Madinah)”

Maha suci Allah yang telah membolak-balikkan hati, dan menganugerahkan kepada hamba-Nya hati yang lembut. Itulah kisah seorang penyamun (perampok) jahat berubah menjadi seorang ulama’ dan hamba yang shalih, Al-Imam Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah.

Imam Abu Nu’aim Al-Asbahani rahimahullah dalam Hilyatul Auliya Jilid 8 hal. 426 meriwayatkan dari Ibrahim bin Al-Asy’ats rahimahullah, beliau berkata, “Aku tak pernah melihat seseorang yang Allah dalam dadanya lebih agung dibandingkan Fudhail. Dahulu apabila ia mengingat Allah atau disebutkan di sisinya, ataukah ia mendengarkan Al-Qur’an, maka akan tampak pada dirinya rasa takut dan sedih, air matanya berlinang dan menangis sampai orang-orang yang hadir merasa kasihan kepadanya. Dia adalah seorang yang senantiasa bersedih dan kuat pikirannya. Aku tak pernah melihat seseorang yang menginginkan Allah dalam ilmunya, amalnya, pemberian dan pengambilannya, penahanan dan pengorbanannya, kebencian dan cintanya dan seluruh tindak-tanduknya selain Fudhail. Dulu kami bila keluar bersamanya mengantar jenazah, maka ia selalu memberikan wejangan, mengingatkan dan menangis. Seakan-akan ia mau meninggalkan para sahabatnya menuju akhirat. (Ia lakukan hal itu) sampai tiba di pekuburan. Dia pun duduk pada tempatnya di antara mayat-mayat, karena rasa sedih dan tangisnya sampai beliau bangkit, sedang beliau seakan-akan kembali dari alam akhirat untuk mengabarkan tentangnya.”

Manusia adalah makhluk yang penuh khilaf dan salah karena itulah tabiatnya manusia. Seseorang jika dia berbuat maksiat kepada Allah subhanhu wa ta’ala maka akan munculah noda hitam dalam hatinya, semakin banyak dia berbuat dosa maka semakin banyak titik hitam tersebut sehingga membuat hatinya kelam. Namun dalam hati yang gelap itu, masih ada sedikit celah yang belum tertutup dengan noda hitam tersebut. Dalam celah ini, seringkali pintu hidayah Allah datang kepadanya. Jika orang tersebut mau merenungi akan rahmat Allah, merenungi akan kekuasaan Allah, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan membersihkan noda-noda hitam itu sedikit demi sedikit. Sebaliknya, jika orang tersebut menutupi dirinya dan dikalahkan oleh hawa nafsunya maka hati itu lama-kelamaan semakin gelap hingga membusuk dan akhirnya mati sehingga tidak bisa lagi menerima hidayah Allah.

Seperti kisah Fudhail bin Iyadh rahimahullah, beliau mendapatkan sentilan dari Allah melalui Friman-Nya dalam Al-Quran, dan beliau pun merenunginya sehingga akhirnya pintu hidayah masuk ke dalam relung hatinya dan membersihkan noda-noda hitam yang ada dalam hatinya. Semua karena hikmah, maka seandainya kita ingin bertaubat maka tak ada kata terlambat. Banyak sekali kisah yang menceritakan mengenai taubat seorang hamba walaupun dia adalah ahli maksiat. Semua itu dapat kita sebagai pelajaran untuk senantiasa berharap dan jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah. Hendaklah kita senantiasa berdo’a agar Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita, karena sesungguhnya hidayah adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ

“Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi hidayah kepadanya.” (HR. An-Nasa’i no. 1578)

0 Comment for "Fudhail bin Iyadh Rahimahullah, Taubatnya Sang Perampok"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top