Imam
Asy-Syafii rahimahullah berkata: “Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang
sudah dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
boleh ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun.” (Al-I’lam 2/361)
Seringkali kita dapatkan ketika para da’i mengoreksi
sebuah kesalahan dalam beragama atau memberikan nasehat untuk meninggalkan
sesuatu yang salah mereka menghadapi pernyataan-pernyataan seperti “Sudahlah
biarkan saja, ini khan khilafiyah” atau “Orang sudah pergi ke bulan koq masih
membahas khilafiyah” atau “Jangan merasa benar sendiri lah, ini khan
khilafiyah”. Pada hakikatnya pernyataan-pernyataan tersebut datang dari
orang-orang yang enggan menerima nasehat tapi tidak bisa membantah karena tidak
memiliki ilmu, akhirnya dalih ‘khilafiyah’ pun dipakai.
Pada prakteknya, terkadang yang mereka anggap
‘khilafiyah’ itu ternyata bukan khilafiyah, namun terkadang memang khilafiyah.
Yang ingin kami bahas di sini adalah jika memang ternyata yang dibahas adalah
perkara khilafiyah. Kami akan tunjukkan bahwa tidak semua perkara khilafiyah
itu bisa ditoleransi, sehingga semuanya dianggap benar dan boleh dipegang.
Jika Terjadi Perselisihan Wajib
Berhukum Kepada Dalil Bukan ‘Khilafiyah’
Terlalu banyak firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan Qur’an dan
Sunnah ketika terjadi perselisihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa : 59)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا
اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Tentang sesuatu yang kalian perselisihkan maka
kembalikan putusannya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura : 10)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ
مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ، تَمَسَّكُوا
بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Sesungguhnya sepeninggalku akan terjadi banyak
perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa
ar rasyidin. Peganglah ia erat-erat, gigitlah dengan gigi geraham kalian” (HR.
Abu Daud no. 4607 dan Ibnu Majah no. 42)
Hadits ini juga memberi faidah bahwa Qur’an dan Sunnah
dipahami dengan pemahaman para salaf. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
إن
بني إسرائيل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم
في النار إلا ملة واحدة ، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan,
dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu
golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya
Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Orang-orang yang mengikutiku dan para
sahabatku.” (HR. At-Tirmidzi no. 2641)
Jelas sekali bahwa jika ada perselisihan maka solusinya
adalah kembali kepada dalil, dan tentunya dipahami dengan pehamaman generasi
terbaik umat Islam yaitu sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Maka tidak
tepat sebagian orang yang jika ada perselisihan selalu menuntut toleransi
terhadap semua pendapat, seolah semua pendapat itu benar semua, dan semuanya
halal, hanya dengan dalih ‘ini khan khilafiyyah‘.
Pendapat Ulama Bukan Dalil
Para ulama berkata:
أقوال
أهل العلم فيحتج لها ولا يحتج بها
“Pendapat para ulama itu butuh dalil dan ia
bukanlah dalil.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
لا
يحل لأحد أن يأخذ بقولنا؛ ما لم يعلم من أين أخذناه
“Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat
kami, selama ia tidak tahu darimana kami mengambilnya (dalilnya)” (Al-Intiqa
145, Hasyiah Ibnu ‘Abidin 6/293)
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
لا
تقلدني، ولا تقلد مالكاً، ولا الشافعي، ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
“Jangan taqlid kepada
pendapatku, juga pendapat Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i maupun Ats Tsauri.
Ambilah darimana mereka mengambil (dalil).” (Al-I’lam 2/302)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
أجمع الناس
على أن من استبانت له سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يكن له أن يدعها لقول أحد
من الناس
“Para ulama bersepakat bahwa jika seseorang sudah
dijelaskan padanya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh
ia meninggalkan sunnah demi membela pendapat siapapun.” (Al-I’lam 2/361)
Para ulama bukan manusia ma’shum yang selalu benar dan
tidak pernah terjatuh dalam kesalahan. Terkadang masing-masing dari
mereka berpendapat dengan pendapat yang salah karena bertentangan dengan dalil.
Mereka kadang tergelincir dalam kesalahan. Imam Malik bin Anas rahimahullah
berkata:
إنما أنا
بشر أخطئ وأصيب، فانظروا في رأيي؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة؛ فخذوه، وكل ما لم يوافق
الكتاب والسنة؛ فاتركوه
“Saya ini hanya seorang manusia, kadang salah dan
kadang benar. Cermatilah pendapatku, tiap yang sesuai dengan Qur’an dan Sunnah,
ambillah. Dan tiap yang tidak sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah..”
(Al-Jami 2/32 dan Ushul Al Ahkam 6/149)
Orang yang hatinya berpenyakit akan mencari-cari pendapat
salah dan aneh dari para ulama demi mengikuti nafsunya menghalalkan yang haram
dan mengharamkan yang halal. Sulaiman At-Taimi rahimahullah berkata:
لَوْ
أَخَذْتَ بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ ، أَوْ زَلَّةِ كُلِّ عَالِمٍ ، اجْتَمَعَ
فِيكَ الشَّرُّ كُلُّهُ
“Andai engkau mengambil pendapat yang mudah-mudah
saja dari para ulama, atau mengambil setiap ketergelinciran dari pendapat para
ulama, pasti akan terkumpul padamu seluruh keburukan” (Hilyatul Auliya, 3172)
Kapan Khilafiyyah Ditoleransi?
Syaikh Musthafa Al-Adawi hafizhahullah berkata:
“Ada banyak permasalahan yang para ulama berlapang dada dalam menyikapi
perselisihan di dalamnya, karena ada beberapa pendapat ulama di sana. Setiap
pendapat bersandar pada dalil yang shahih atau pada kaidah asal yang umum, atau
kepada qiyas jaliy. Maka dalam permasalahan yang seperti ini, tidak boleh kita
menganggap orang yang berpegang pada pendapat lain sebagai musuh, tidak boleh
menggelarinya sebagai ahli bid’ah, atau menuduhnya berbuat bid’ah, sesat dan
menyimpang. Bahkan selayaknya kita mentoleransi setiap pendapat selama
bersandar pada dalil shahih, walaupun kita menganggap pendapat yang kita pegang
itu lebih tepat”. (Mafatihul Fiqhi, 1/100)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Ucapan
sebagian orang bahwa masalah khilafiyah itu tidak boleh diingkari, tidaklah
benar. Dan pengingkaran biasanya ditujukan kepada pendapat, fatwa, atau
perbuatan. Dalam pengingkaran pendapat, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah
atau ijma’ yang telah dikenal kebenaran nukilannya, maka pendapat tersebut
wajib untuk diingkari menurut kesepakatan para ulama. Meskipun tidak secara
langsung pengingkarannya, menjelaskan lemahnya pendapat tersebut dan penjelasan
bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan dalil, ini juga merupakan bentuk
pengingkaran. Sedangkan pengingkaran perbuatan, jika perbuatan tersebut
menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan kadarnya”.
Beliau melanjutkan: “Bagaimana mungkin seorang ahli fiqih
mengatakan bahwa tidak boleh ada pengingkaran pada masalah khilafiyyah, padahal
ulama dari semua golongan telah sepakat menyatakan secara tegas bahwa keputusan
hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah menjadi batal. Walaupun
keputusan tadi telah sesuai dengan pendapat sebagian ulama. Sedangkan jika
dalam suatu permasalahan tidak ada dalil tegas dari As-Sunnah atau ijma’ dan
memang ada ruang bagi ulama untuk berijtihad dalam masalah ini, maka orang yang
mengamalkannya tidak boleh diingkari. Baik dia seorang mujtahid maupun
muqallid” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/224)
0 Comment for "Khilafiyah Tidak Boleh Ditoleransi Jika Menyelisihi Sunnah dan Ijma'"