“Sejelek-jelek
pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian
melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan
shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu
yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian
dari ketaatan.” (HR. Muslim)
Catatan sejarah membuktikan,
setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu melahirkan
kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada kezaliman
penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mesti
kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang zalim.
Sabar terhadap kezaliman
penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal
Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179)
Itulah salah satu ucapan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang terlupakan atau tidak
diketahui oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh
kelompok pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip
ini. Entah karena lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.
Barangkali akan ada yang mengatakan,
“Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”
Untuk menjawab pernyataan itu,
seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi rahimahullah berkata,
“Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti
raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti
rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu
menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela
kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu
berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung
(penguasa itu).
Sejauh ini saya masih mendengar
ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana
kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya
mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah azza wa jalla
berfirman:
وَكَذَٰلِكَ
نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang
yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (QS. Al-An’am : 129)
Dahulu juga dikatakan, ‘Apa
yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh amalmu’.”
Abdul Malik bin Marwan juga
mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami
untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak
berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hal. 100-101)
Inilah hakikat yang perlu
diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal
kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan
perbuatan syirik kepada Allah azza wa jalla.
Camkan ini wahai para tokoh
pergerakan!
Sikap kalian dengan
memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa
justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga
kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang
bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa
dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun
sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.
Sikap yang benar untuk
menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi
akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam menghadapi penguasa.
al-Hasan al-Bashri rahimahullah
mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah azza wa jalla memberimu ‘afiyah
(keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah azza wa
jalla. Dan azab allah azza wa jalla itu tidak dihadapi dengan
pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah azza
wa jalla , serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah azza wa jalla
jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (Asy-Syari’ah, hal. 38)
Perlu pula diketahui bahwa
munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang baru. Dalam sejarah
Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul seorang
pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan
penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai al-Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut
adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi
Bukan hanya ulama yang ia
bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekadar
ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar rahimahullah menukilkan
riwayat dari Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang
dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan
minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)
Jumlah tersebut belum termasuk
orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam sejarah selalu ada orang
semacam ini. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
telah mengabarkan akan adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda
beliau berikut ini:
يَكُوْنُ
بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي
وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي
جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ
أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ
ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak
mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka
orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad
manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku
menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun
punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim)
إِنَّهَا
سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ
اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ
وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin
yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak)
dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai
Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab,
“Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak
kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu
‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا
حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ … قَالَ:
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا
حُمِّلْتُمْ
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin
kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan
kepada kami hak kami?”… Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya
kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa
yang dibebankan kepada kalian.” (HR. Muslim)
Maknanya bahwa Allah azza wa
jalla mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di antara
manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah azza wa
jalla wajibkan rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika
mereka melakukannya, mendapat pahala; dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul
Hukkam, hal. 119)
شِرَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ
وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا
رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ
تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian
membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati
kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya
dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di
antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian
benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari
ketaatan.” (HR. Muslim)
Beliau ditanya tentang para
penguasa oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى
وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ
وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak
bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang
orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Bertakwalah
kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim,
asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari
Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)
Itulah penjelasan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar,
taat, menunaikan hak, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits
di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang lebih baik selain itu.
Menyikapi penguasa yang zalim
jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah (kecemburuan) keagamaan
tanpa mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena
bagaimanapun, kita tidak lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat
maksiat dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh
aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu,
Allah haramkan hal-hal yang keji, baik yang tampak maupun yang tidak.”
(Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu)
Ketika Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman radhiyallahu
‘anhu disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia
berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar,
sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah
bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu
orang-orang dari mana saja kamu mau.” Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai
kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia.
Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam
Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti
sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh
al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)
0 Comment for "Menyikapi Penguasa Yang Zhalim"