“Insya Allah, kalian
besok akan pergi menuju mata air Tabuk. Sesungguhnya kalian tidak akan sampai
di sana pada senja hari. Setibanya di sana, janganlah kalian menyentuh airnya
sedikitpun sebelum aku datang.” (Shahih Muslim, 4, hlm. 1784, no. 706)
Asal-Usul Penamaan Tabuk
Dengan
menggunakan sanad yang berujung pada Mu’adz, Muslim[1] menuturkan bahwa
Rasulullah bersabda, “Insya Allah, kalian
besok akan pergi menuju mata air Tabuk. Sesungguhnya kalian tidak akan sampai
di sana pada senja hari. Setibanya di sana, janganlah kalian menyentuh airnya
sedikitpun sebelum aku datang.”
Rasulullah
menamakan tempat itu Tabuk sebelum ada seorang pun yang datang ke sana.[2]
Alasan Penamaan Perang al-‘Usrah
Penamaan
Perang Tabuk dengan Perang al-‘Usrah bersumber dari hadits yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari[3] dengan sanad periwayatan sampai kepada Abu Musa al-Asy’ari.
Abu Musa menuturkan, “Sahabat-sahabatku mengutusku menemui Rasulullah untuk
meminta binatang-binatang kendaraan untuk dipakai saat menjadi laskar al-‘Usrah
(saat-saat sulit), yaitu pada Perang Tabuk.”
Selain
itu, al-Bukhari[4] sendiri memberi judul bab yang memuat hadist—hadits tentang
perang ini dengan “Ghazwah Tabuk wa Hiiya Ghazwah al-‘Usrah (Bab Perang Tabuk
atau Perang saat-saat Sulit). Hadist ini dari al-Asy’ari tersebut didasarkan
pada kenyataan yang terjadi pada Perang Tabuk, yaitu kondisi pasukan Muslimin
yang mengalami kesulitan logistik.
Muslim[5]
juga menuturkan satu riwayat dari Abu Hurairah yang menceritakan kesulitan yang
dihadapi pasukan Muslimin di perjalanannya menuju Perang Tabuk. Disebutkan
bahwa dalam Perang Tabuk ini pasukan Muslimin menghadapi kesulitan logistik.
Mereka sempat harus memeras biji-bijian hanya untuk mendapatkan setetes air
minum. Dalam sebuah riwayat lain dituturkan bahwa pasukan Muslimin meminta izin
kepada Rasulullah untuk menyembelih binatang tunggangan mereka untuk
dikonsumsi.[6]
Kesulitan
pasukan Muslimin waktu itu juga diceritakan oleh al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah
telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Anshar yang
mengikuti Nabi dalam masa kesulitan.”[7],[8]
Waktu Terjadinya
Rasulullah
berangkat menuju Tabuk pada bulan Rajab tahun ke 9 Hijriyah, atau kurang lebih
enam bulan sepulang beliau dari pengepungan Thaif.[10]
Sebab-Sebab Perang
Al-Waqidi[11]
dan Ibnu Sa’ad[12] menuturkan, Heraklius telah memobilisasi pasukan yang
terdiri dari bangsa Romawi dan beberapa kabilah Arab yang menjadi sekutunya.
Mendengar kabar ini, Rasulullah keluar bersama pasukan Muslimin untuk
menghadapi mereka.
Al-Ya’qubi[13]
mengatakan bahwa alasan Perang Tabuk adalah untuk menuntut balas kematian
Ja’far ibn Abi Thalib.
Adapun
menurut riyawat Ibnu Asakir,[14] sebab keberangkatan Rasulullah menuju Tabuk
adalah karena ucapan kaum Yahudi yang bernada menantang.
Syahdan,
mereka berkata kepada beliau sebagai berikut, “Jika engkau memang benar seorang
nabi, pergilah ke wilayah Syam. Di sanalah medang mahsyar dan tanah para nabi.”
Hal
ini sengaja dilakukan kaum yahudi untuk memancing kaum Muslimin agar keluar
dari Madinah, dan untuk mempertemukan kaum Muslimin dengan bangsa Romawi.
Ketika Rasulullah tiba di Tabuk, turunlah ayat-ayat dari surat Bani Israil yang di antaranya berbunyi, “Dan
sesungguhunya benar-benar mereka hampir membuatmu gelisah di negeri (Mekkah)
untuk mengusirmu daripadanya.”[15]
Ayat
ini menjelaskan kepada kaum Muslimin tentang sikap bangsa Yahudi. Allah pun
memerintahkan Rasulullah untuk kembali ke Madinah, di mana kematian dan padang
mahsyar berada.
Ibnu
Katsir[16] menuturkan, Rasulullah memerangi bangsa Romawi karena mereka adalah
umat yang paling dekat dengan Islam, umat yang paling diutamakan sebagai
sasaran dakwah karena kedekatan dengan Islam dan para pemeluknya, juga karena
firman Allah, “Hai orang-orang berimana, perangilah orang-orang kafir yang di
sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan
ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”[17]
Pendapat
yang dikemukakan Ibnu Katsir ini lebih mendekati kebenaran. Apalagi, perintah
jihad bermakna memerangi orang-orang musyrik secara keseluruhan, termasuk di
dalam Ahli Kitab yang menghalangi dakwah dan menampakkan permusuhan kepada kaum
Muslimin, seperti yang dituturkan para ahli sejarah.
Pendanaan Perang
Rasulullah
menganjurkan kepada para sahabat untuk menyokong pendanaan perang ini.
Pasalnya, jarak yang harus ditempuh untuk mencapai markas musuh sangat jauh dan
pasukan yang akan dibawa pun sangat besar. Dalam anjurannya itu, beliau
menjanjikan pahala yang besar dari Allah kepada para sukarelawan yang bersedia
membantu. Walhasil, imbauan tersebut membangkitkan semangat setiap sahabat
untuk menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Ustman ibn Affan adalah
penyumbang terbesar. Hal ini disebutkan oleh sejumlah hadits dan warta sahabat.
Di antaranya adalah riwayat yang ditulis al-Bukhari di kitabnya.[18] Ia
menceritakan, waktu itu Rasulullah bersabda, “Barangsiapa ikut membantu perbekalan perjalanan seluruh pasukan
al-‘Usrah, baginya surga.”
Maka
majulah Ustman untuk menyediakan seluruh kebutuhan logistik pasukan ini.
Dalam
riwayatnya, Abu Abdurrahman as-Silmi menuturkan bahwa Ustman radhiyallahu ‘anhu
berkata kepada orang-orang yang mengepung rumahnya saat peristiwa ad-Dar,
“Tidakkah kalian tahu Rasulullah pernah bersabda bahwa barangsiapa menyediakan
perbekalan pasukan al-‘Usrah, maka baginya surga? Ketahuilah bahwa akulah yang
menyediakannya.”
Para
pengepung itu pun membenarkan perkataannya.[19] Melalui jalur periwayatan yang
sama, at-Tirmidzi[20] meriwayatkan dengan teks yang berbunyi, “Kuperingatkan
kalian kepada Allah. Tidak pernahkah kaliaan mendengar Rasulullah bersabda
tentang pasukan al-‘Usrah, ‘Siapa yang mau memberikan sumbangan yang pasti
diterima oleh Allah?’ Kaum Muslimin saat itu sedang dalam krisis dan kesulitan,
lalu aku menyediakan perbekalan pasukan itu.” Para pengepung pun menjawab. “Ya,
benar.”
Diriwayatkan,
donasi Utsman waktu itu mencapai 1.000 dinar. Ketika Ustman membawa
sumbangannya ke bilik Rasulullah, beliau membolak-balikkan sumbangan tersebut
dan berkata berkali-kali, “Semoga apa yang diperbuat putra Affan tidak akan
mengakibatkan keburukan padanya setalah hari ini.”[21]
Wallahu’alam
Footnote:
1. Shahih Muslim, 4, hlm. 1784, no. 706.
2. Lihat detail pendapat ini di as-Sanadi,
adz-Dzahab al-Masbuk fi Tahqiq Riwayat Ghazwah Tabuk hlm. 38 dan seterusnya.
Buku ini merupakan tesis master yang diterbitkan untuk umum.
3. Al-Fath, 16, hlm. 238, no.4415
4. Al-Fath, 16, hlm. 237.
5. Muslim, 1, hh. 55-56, no. 27
6. Ibid., 1, hlm. 56, no. 207
7. QS. At-Taubah: 117
8. Lihat penafsiran ayat oleh ath-Thabari,
at-Tafsir, 14, hh. 540-542, beserta beberapa khabar tentang ayat terrsebut
9. Disampaikan oleh Ibnu Ishaq dengan
riwayat di tingkatan mu’allaq (Ibnu Hisyam, 4, hlm. 215; Ibnu Sa’ad, 2, hlm.
165, dengan riwayat yang mu’allaq pula).
10. Ibnu Hajar, al-Fath, 16, hlm. 237,
berkomentar, “Sesungguhnya Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun ke 9
Hijriyah, sebelum haji Wada’, tanpa diperdebatkan lagi. Menurut penuturan Ibnu
A’idz, dari hadits Ibnu Abbas, Perang Tabuk terjadi enam bulan pasca blokade
atas Thaif. Pendapat ini tidak bertentangan dengan pendapat yang menyatakan
bahwa Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab, jika kita memasukkan kehancuran
benteng Thaif, sebab Rasulullah kembali ke Madinah dari Thaif pada bulan
Dzulhijah.”
11. Al-Maghazi, 3, hh, 989-990, dari
beberapa orang gurunya.
12. Ath-Thabaqat, 2, hlm. 165, yang
bersumber dari riwayat al-Waqidi
13. At-Tarikh, 2, hlm. 67
14. Tarikh Dimasyqa, 1, hh. 167-168, dengan
jalur periwayatan di tingkatan mursal dan lemah karena di dalamnya terdapat
nama Ahmad ibn Abdil Jabbar al-Utharidi. Figur ini berkualifikasi lemah. Ibnu
Katsir berkomentar di at-Tafsir, 5, hlm. 98, “Jalur periwayatannya perlu
ditinjau. Yang jelas, jalur periwatan tersebut tidak shahih.” Ia juga
menyebutkan bahwa ayat tentang peristiwa itu termasuk Makiyyah, sedangkan
Rasulullah tinggal di Madinah setelah itu. Keterangan ini sesuai dengan apa
yang dipaparkan Ibnu Katsir di at-Tafsir, 5, hlm. 97
15. QS. Al-Isra: 76
16. Al-Bidayah wa an-Nihayah, 5, hlm. 3;
at-Tafsir, 5, hlm. 98. Lihat pendapatnya yang lain berkenaan dengan hal ini di
kedua sumber ini.
17. QS. At-Taubah: 123
18. Al-Fath, 14, hh. 194-195, kitab
al-Fadha’il, Bab “Manaqib Ustman”, Penjelasan Bab, dengan jalur periwayatan di
tingkatan mu’allaq.
19. Al-Bukhari, al-Fath, 11, hh. 250-251,
no. 2778
20. Al-Albani, Shahih Sunan at-Tirmidzi, 3,
hlm. 208, kitab al-Manaqib, hlm. 2919, 3965.
21. Ahmad, al-Musnad, 5, hlm. 35; Shahih
Sunan at-Tirmidzi, 3, hlm. 209, no. 2920, 3967. Al-Albani menilai hadist ini
berada di tingkatan hasan. Dituturkan juga oleh al-Hakim di al-Mustadrak, 3,
hlm. 102. Ia mengkualifikasikan hadits ini sebagai shahih, dan pendapatnya
disetujia oleh adz-Dzahabi. Di jalur periwayatannya tercantum nama Katsir ibn
Abi Katsir, pelayan Abu Samrah. Figur ini memiliki kualifikasi yang bisa
diterima (maqbul). Lihat at-Taqrib, hlm. 460. Pendapat tersebut dipercayai oleh
al-Ijli dan Ibnu Hibban. Kedua orang ini terlalu gegabah (al-Mizan, 3, hlm.
410). Tampaknya al-Albani menilai hadits ini hasan karena hal ini dan karena
sejumlah syawahid yang dimiliki hadits ini.
Main scource: Biografi Rasulullah, Sebuah Studi
Analitis Berdasarkan Sumber-Sumber yang Otentik karya DR. Mahdi Rizqullah Ahmad
0 Comment for "Perang Tabuk, Bagian 1"