“Sucikanlah
nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. al-A’la [87] : 1)
Melanjutkan pembahasan kitab Matan Safinah an-Najah karya asy-Syaikh Salim
bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah, pada kesempatan kali ini penulis
akan menjelaskan mengenai makna Allah yang Maha Tinggi (العلي) dan Maha Agung (العظيم) yang tertulis dalam Muqadimah Matan Safinah an-Najah.
asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata:
بسم الله الرحمن الرحيم .
الحمد لله رب العالمين ، وبه نستعين على أمور الدنيا
والدين ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد خاتم النبيين ، وآله وصحبه أجمعين ، ولا
حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم .
“Dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Dengan-Nya
kami meminta pertolongan dalam urusan dunia dan agama. Semoga shalawat dan
salam Allah atas tuan kita Muhammad penutup para Nabi, keluarganya, dan
Sahabatnya semua. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan dari
Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.”[1]
(العلي العظيم)
Kalimat العلي العظيم merupakan
na’at (نعت) atau sifat
dari Allah subhanahu wa ta’ala. Sifat العلي bermakna Yang Maha Tinggi sedangkan العظيم bermakna Yang
Maha Agung. Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat Yang Maha Tinggi (العلي), makna Yang Maha Tinggi (العلي) adalah berada di puncak ketinggian yaitu dalam makna
ketinggian dzat-Nya dan ketinggian sifat-Nya baik keagungannya dan juga
ketinggian sifat kekuasaannya. Allah memiliki ketinggian sifat sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأَعْلَى
“Dan Allah mempunyai sifat yang maha
tinggi.”[2]
Ketinggian sifat maknanya adalah sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala seluruhnya Maha Tinggi sehingga tidak ada padanya
kekurangan dari sisi mana pun. Sedangkan ketinggian dzat maknanya adalah bahwa
dzat Allah di atas segala sesuatu, tidak ada apa pun di atas-Nya dan tidak pula
yang mendekati-Nya dan Allah pun tidak membutuhkan apa yang ada di bawah-Nya,
dan ketinggian Allah tidaklah sama dengan ketinggian makhluk-Nya. Dzat Allah
berada di ketinggian yaitu di atas langit bersemayam di atas ‘Arsy sebagaimana
firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى .
“Yang Maha Pengasih bersemayam di
atas ‘Arsy.”[3]
Dan ini adalah
pendapat para Salaf sebagaimana perkataan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
beliau berkata:
القول في السّنّة الّتي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها
أهل الحديث الّذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة أن
لا إله إلّا الله وأنّ محمّدا رسول الله وأنّ الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه
كيف شاء وينزل إلى السّماء الدّنيا كيف شاء .
“Pendapat dalam sunnah yang saya
yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahlul hadits yang saya bertemu dengan
mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya
adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara
benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa
Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak
Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[4]
al-Imam
al-Muzani rahimahullah berkata:
عال على عرشه في مجده بذاته وهو دان بعلمه من خلقه أحاط
علمه بالأمور وأنفذ في خلقه سابق المقدور وهو الجواد الغفور يعلم خائنة الأعين وما
تخفي الصدور .
“Tinggi di atas
‘Arsy-Nya dalam Kemulyaan-Nya dengan Dzat-Nya. Dia dekat dengan Ilmu-Nya dari
hamba-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala perkara. Dan Dia mewujudkan dalam
penciptaan-Nya (sesuai) yang telah ditaqdirkan sebelumnya. Dan Dia Yang Maha
Dermawan lagi Maha Pengampun. Dia Mengetahui pandangan-pandangan mata yang
berkhianat dan segala yang disembunyikan (dalam) dada.”[5]
Namun, ulama dari kalangan Asy’ariyyah dan Maturidiyyah menolak hal tersebut
dengan menyatakan bahwa makna Yang Maha Tinggi (العلي) adalah tinggi dengan kedudukan sifat-Nya bukan dzat-Nya,
sehingga makna yang berkaitan dengan sifat Allah yang bersemayam di atas ‘Arsy
mereka takwilkan dengan menguasai. Hal ini sebagaimana perkataan asy-Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi rahimahullah yang merupakan ulama berakidah
Asy’ariyyah, beliau berkata:
والعلي المرتفع الرتبة المنزه عما سواه والعظيم ذو
العظمة والكبرياء .
“Dan al-‘Aliyy adalah Dzat Yang Maha
Tinggi kedudukannya, yang tersucikan dari setiap sesuatu selain-Nya. Dan
al-‘Azhim adalah Dzat Pemilik keagungan dan kesombongan.”[6]
Juga perkataan as-Sayyid Ahmad bin ‘Umar asy-Syathiri rahimahullah:
العلي الجليل العظيم ، فالعلو المفهوم منه علو معنوع ،
لامكاني لقدمه تعالى ، وحدوث المكان فهو موجود قبل وجود المكان ، وهو الآن على ما
عليه كان والعظيم الجليل المقدس .
“(Yang Maha Tinggi) maksudnya
Yang Maha Mulia lagi Maha Agung. Maka makna ketinggian ini sudah diketahui
maksudnya yaitu tinggi secara maknawi, bukanlah ketinggian tempat karena Allah subhanahu
wa ta’ala bersifat Maha
Dahulu, dan tempat bersifat makhluk dan baru maka Allah subhanahu wa ta’ala sudah ada sebelum adanya tempat, dan Dia sekarang
sebagaimana dahulu telah ada. (Yang Maha Agung) maksudnya Yang Maha Mulia lagi
Maha Suci.”[7]
al-Imam Abu Manshur al-Maturidi rahimahullah yang merupakan
penggagas madzhab Maturidiyyah dalam karyanya yaitu Kitab at-Tauhid menuliskan:
أن الله سبحانه كان ولا مكان، وجائز ارتفاع الأمكنة
وبقاؤه على ما كان، فهو على ما كان، وكان على ما عليه الان، جل عن التغير والزوال
والاستحالة .
“Sesungguhnya Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa tempat. Tempat adalah makhluk memiliki permulaan dan bisa
diterima oleh akal jika ia memiliki penghabisan. Namun Allah ada tanpa
permulaan dan tanpa penghabisan, Dia ada sebelum ada tempat, dan Dia sekarang
setelah menciptakan tempat Dia sebagaimana sifat-Nya yang Azali yaitu ada tanpa
tempat. Dia maha suci (artinya mustahil) dari adanya perubahan, habis, atau
berpindah dari satu keadaan kepada keadaan lain.”[8]
Bahkan al-Imam Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah berkata bahwa
seseorang yang menolak pendapat ini, maka dia termasuk kedalam golongan
orang-orang yang bodoh, al-Imam Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah
berkata:
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين إلى هذا الإمام الأعظم
المجتهد من أنه قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه .
“Apa yang tersebar di kalangan
orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau
telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut
adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya.”[9]
Namun dalam menetapkan sifat Allah subhanahu wa ta’ala maka hal yang benar menurut aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah Allah tetapkan
untuk diri-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapkan
untuk Allah subhanahu wa ta’ala tanpa melakukan tahrif (mengubah lafazh maupun makna), ta’thil
(meninggalkan atau mengingkari), tamtsil (memisalkan atau mengumpamakan) dan
takyif (menyebutkan tata caranya). Maka dalam hal ini kita wajib menerima sifat
Allah Yang Maha Tinggi (العلي) baik tinggi sifat-Nya maupun dzat-Nya tanpa melakukan tahrif
(mengubah lafazh maupun makna), ta’thil (meninggalkan atau mengingkari),
tamtsil (memisalkan atau mengumpamakan) dan takyif (menyebutkan tata caranya).
Selain dengan sebutan al-‘Aliy (العلي), kemaha tinggian Allah subhanahu wa ta’ala pun disebutkan dengan nama al-Muta’al (المتعال) sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ
الْمُتَعَالِ .
“Yang mengetahui semua yang ghaib
dan yang nampak, Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.”[10]
Dan juga dengan
nama al-A’la (الأعلى) sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى .
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha
Tinggi.”[11]
وَمَا لأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَى إِلاَّ ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الأَعْلَى .
“Padahal tidak ada seorang pun
memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan
itu semata-mata) karena mencari keridaan Rabbnya Yang Maha Tinggi.”[12]
Sedangkan sifat al-‘Azhim (العظيم) bermakna Yang Maha Agung. Allah subhanahu wa ta’ala memiliki kedudukan yang agung dan dzat-Nya juga agung
sebagaimana ditunjukkan oleh keagungan dan ketinggian-Nya. al-‘Azhim (العظيم) adalah yang mengumpulkan kepemilikan seluruh sifat-sifat
keagungan, kebesaran, kemuliaan dan kehormatan, yang dicintai oleh hati dan
diagungkan oleh ruh, serta diketahui oleh orang-orang yang mengenal-Nya.
Bahwasanya keagungan seluruh makhluk walau jelas terlihat, sesungguhnya semua
keagungan itu sirna jika di hadapkan dengan keagungan Allah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Agung. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Referensi
- al-Qur’an al-Karim.
- al-Imam Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz adz-Dzahabi. al-‘Uluw lil ‘Aliyy al-Ghaffar fii Idhah Shahih al-Akhbar wa Saqimuha. 1416 H. Maktabah Adhwa’ as-Salaf Riyadh.
- al-Imam Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani. Isma’il bin Yahya al-Muzani wa Risalah Syarh as-Sunnah. 1415 H. Maktabah al-Ghuraba’ al-Atsariyyah Madinah.
- al-Imam Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi as-Samarqandi. Kitab at-Tauhid. Maktabah al-Irsyad Istanbul dan Dar Shadir Beirut.
- as-Sayyid Ahmad bin ‘Umar asy-Syathiri. Nail ar-Raja’ bi Syahr Safinah an-Naja’. 1392 H. Mathba’ah al-Madani Kairo.
- asy-Syaikh Ahmad Syihabuddin bin Hajar al-Haitami al-Makki. al-Fatawa al-Haditsiyyah. Dar al-Ma’rifah Beirut.
0 Comment for "Allah yang Maha Tinggi (العلي) dan Maha Agung (العظيم)"