Ketika kita
memperhatikan gerak kehidupan dari beragam makhluq yang ada di alam ini, kita
mungkin akan menemukan keunikan pada masing-masing makhluq yang kita amati. Tak
terkecuali manusia, yang mana memiliki gerak kehidupan yang sangat beragam dan
unik sesuai keadaan dan kecenderungan masing-masing, dari mereka yang cenderung
bergerak sebagai pedagang, dokter, insinyur, pengajar atau guru, hingga petani
maupun nelayan, dan seterusnya. Setiap peran yang ada di antara manusia adalah
seperti bagian-bagian tubuh yang berbeda namun saling melengkapi dan menopang,
dari yang kecil hingga yang besar, dari yang sederhana hingga yang rumit. Semua
perbedaan tersebut adalah fenomena keseimbangan yang tak dirancang atau
direncanakan oleh manusia itu sendiri. Dan demikian pula halnya dengan beragam
makhluq lain selain manusia, yang semuanya memiliki gerak kehidupan dan
kecenderungan masing-masing yang khas dan saling melengkapi, yang tentunya juga
di luar rencana dan kesadaran mereka sendiri.
Ketika kita
mengamati kehidupan para nelayan, yang menjadikan hasil laut sebagai penopang
keberlangsungan hidup mereka, maka kita akan mendapati bahwa para nelayan tulen
biasanya memang lebih cenderung tertarik dengan dunia laut dan ikan daripada
dunia kesibukan lainnya, seakan-akan keahlian mereka dalam menangkap ikan di
laut pun sudah menjadi akar semangat yang menjadi penggerak kehidupan mereka,
sebagaimana misalnya para pedagang tulen yang tentu jiwanya juga akan lebih
bersemangat dengan dunia dagangnya daripada dunia selainnya, yang mana jika
misalnya antara nelayan dan pedagang tersebut harus bertukar profesi, pastinya
masing-masing akan merasakan kejanggalan dan ketidaksesuaian, karena memang
masing-masing memiliki kecenderungan jiwa yang berbeda. Di samping itu, para
nelayan biasanya juga akan dengan sendirinya mewariskan kemampuannya kepada
generasi berikutnya. Dan tentunya memang harus ada generasi penerus bagi para
nelayan, karena memang tak bisa dibayangkan jika ternyata di dunia ini tiada
yang tertarik untuk meneruskan profesi tersebut. Dan itulah kenyataan bahwa
sistem mewariskan keahlian pun sebenarnya merupakan fenomena alami yang di luar
kendali manusia. Sekuat apapun manusia berkehendak untuk menciptakan fenomena
keseimbangan tersebut sendiri, atau bahkan menghilangkannya, maka di sana telah
ada Kekuatan tak terlihat yang telah lebih dahulu merancang dan mengaturnya,
bahkan tanpa manusia minta.
Beralih ke
makhluq selain manusia, jika memang strategi berburu ikan di laut menggunakan
jaring adalah hal yang wajar dan tak perlu dipertanyakan, karena memang adalah
tak mungkin jika manusia yang bisa berfikir dengan akalnya akan menangkap ikan
hanya menggunakan kedua tangannya, maka yang mengherankan dan perlu
dipertanyakan adalah jika ada makhluq selain manusia yang memiliki kecerdasan
setingkat manusia, yang mana bisa mengatur strategi berburu layaknya para
nelayan, padahal makhluq tersebut tidak dilengkapi perangkat akal untuk
berfikir.
Laba-laba,
dialah makhluq kecil yang meskipun hidup berkaki namun bisa menangkap makhluq
terbang yang tak terjangkau oleh kakinya. Kita tidak tahu kecerdasan macam apa
yang dimiliki oleh makhluq tak berakal itu hingga dia bisa mengerti bahwa cara
menangkap serangga yang terbang adalah dengan membuat perangkap halus di udara,
agar mangsa bersayap tersebut nantinya dapat terjerat ketika melewati perangkap
yang dibuatnya itu, seakan-akan dia memiliki cara berfikir yang sama seperti
para nelayan, yang membuat perangkap jaring di dalam laut untuk menangkap ikan
yang tak terjangkau oleh tangan mereka. Dan pola anyaman jaring perangkap yang
diciptakan laba-laba pun begitu teratur dan rapi, serta sesuai dengan ukuran
medan yang digunakannya, seakan-akan dia juga memiliki kemampuan
memperhitungkan hingga mengerti cara mengukur tempat dan menyesuaikannya dengan
pola serta ukuran jaring yang harus dirancang dan diciptakannya. Tentu kecerdasan
semacam itu hanya akan dimiliki oleh para arsitek. Namun sulit dimengerti bahwa
makhluq tak berakal sekecil itu ternyata mampu berbuat sedemikian rupa,
seakan-akan ia memiliki daya arsitektur tinggi yang mana pastinya juga
menggunakan logika.
Selain itu, dia
pun bahkan hingga mengerti beragam fungsi lain dari benang jaringnya tersebut;
dia juga menggunakan benang jaringnya itu untuk berayun dan berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain, untuk melarikan diri dengan cepat dari kejaran
pemangsa, membungkus dan membekap mangsanya yang telah terjerat dalam
perangkap, melindungi lubang sarangnya, atau membuat kantung untuk diisi
ratusan telurnya, dan seterusnya. Dan konon, ratusan telur yang kemudian
menetas akan mengeluarkan laba-laba kecil yang masih lemah, yang selanjutnya
menghadapi tantangan hidup berupa dimakan burung, kadal, semut, atau makhluq
lainnya, hingga menyisakan sebagian saja dari mereka untuk bisa sampai menjadi
laba-laba dewasa. Dan mungkin memang demikianlah cara makhluq-makhluq yang lain
memperoleh rizki mereka. Karena seekor laba-laba betina pun juga tidak pernah
merencanakan bahwa dia akan bertelur dalam jumlah ratusan. Dia juga tidak
pernah mempertanyakan mengapa dia harus bertelur sebanyak itu. Mungkin saja,
jika telur laba-laba hanya berjumlah sedikit, bisa jadi semuanya akan dimakan
habis oleh para pemangsanya hingga tiada lagi yang tersisa untuk menyambung
keberlangsungan hidup generasi laba-laba berikutnya. Ataupun jika jumlah telur
yang sedikit tersebut akan harus selalu selamat semuanya hingga dewasa, maka
mungkin peluang rizki bagi para pemangsanya pun akan berkurang, dan jalan rizki
mereka pun akan berbeda dari yang biasanya. Dan demikianlah sebagian kecerdasan
yang kita dapati di alam ini, tanpa kita mampu melihat secara kasat mata
Kekuatan macam apa yang menggerakkan semua itu.
Tiada pula yang
bisa mengira bahwa ternyata sebuah tumbuhan yang berbatang segar sanggup
bertahan hidup di daerah gurun yang kering sekalipun. Kaktus gurun, dialah
makhluq yang memiliki keunikan berupa kemampuan pada akarnya untuk menembus
jauh ke dalam tanah agar dapat menyerap air di daerah yang bahkan tergolong
kurang air. Dan air yang berharga tersebut kemudian disimpannya di dalam ruang
batangnya sebagai persediaan kehidupannya. Dia juga memiliki perlengkapan
berupa duri yang menyelimuti permukaan batangnya, yang konon di antara
fungsinya adalah sebagai pelindung dari hewan pemakan tumbuhan, dan juga untuk
memperkecil potensi penguapan, karena memang tingkat penguapan di daerah gurun
tentu jauh lebih tinggi dikarenakan suhu panasnya. Mungkin jika kita
diposisikan dalam peran sebagai kaktus, tampaknya kita tidak akan memilih
tempat yang kering dan panas untuk melanjutkan hidup. Namun justru memang
demikianlah kapasitas dan keunikan sebuah tumbuhan gurun bernama kaktus. Dia
bahkan mungkin tidak bisa hidup jika harus terendam di daerah rawa yang
berlebihan kadar airnya. Begitu juga sebaliknya, tidak mungkin tumbuhan rawa
bisa hidup jika harus bertukar habitat dengan kaktus tersebut. Masing-masing memang
telah memiliki cara tersendiri untuk bertahan hidup sekaligus memerankan sebuah
fungsi bagi ekosistemnya. Dan itu semua adalah kecanggihan alami yang tentunya
di luar kesadaran benda alam itu sendiri.
Begitu pula
dengan keunikan yang ada pada makhluq bernama ulat sebagai misal lainnya; kita
mungkin bisa mempertanyakan bagaimana bisa makhluq sekecil itu sanggup
menghabiskan dedaunan yang cukup banyak pada sebatang tumbuhan, seakan-akan dia
memiliki sebuah rencana dan tujuan dalam tingkah lakunya itu. Dan memang konon,
proses memakan daun yang terus-menerus dilakukannya tersebut tak lain adalah
sebagai langkah persiapannya sebelum memasuki tahapan kepompong di mana akan
mengharuskannya berhenti makan untuk beberapa lama. Namun tentunya akan
mengherankan jika seekor ulat yang ukurannya jauh lebih kecil dari ukuran otak
manusia ternyata bisa memperkirakan bahwa untuk menghadapi keadaan yang
‘paceklik’ tanpa makanan, maka dia harus bersiap-siap mengumpulkan energi
terlebih dahulu sebelumnya, layaknya kebutuhan akan sahur sebelum berpuasa.
Padahal jika kita renungkan, tentu kemampuan merencanakan semacam itu hanya
akan dimiliki oleh makhluq yang memiliki akal. Namun nyatanya ulat yang tak
dianugerahi akal pun telah terbukti sanggup membuat perencanaan semacam itu.
Dan keunikan
ulat itupun tak hanya sampai di situ, bahkan pada kenyataannya, dari hasil
kepompong itulah sebuah lingkungan alam akan kemudian dilengkapi dengan seekor
serangga terbang bernama kupu-kupu, yang mana salah satu fungsinya adalah untuk
membantu proses penyerbukan pada tumbuhan. Dan dari penyerbukan itulah tumbuhan
akan dapat berkembang biak. Maka di sinipun semakin tampak jelas betapa
canggihnya cara kerja alam ini. Dan bahkan jika kita perhatikan lagi dan
kemudian lagi, ternyata melalui ulat dan kupu-kupu jugalah burung-burung dapat
memberi makan anak-anaknya yang belum bisa terbang untuk mencari makan sendiri.
Jika saja ulat dan kupu-kupu tidak pernah ada, mungkin peluang memperoleh
makanan bagi burung-burung tersebut pun akan menjadi berkurang.
Dan
sesungguhnya, betapapun manusia sangat berkehendak dan berusaha sekuat tenaga
untuk menghilangkan fenomena yang tampak tidak nyaman atau perlu dikasihani,
misalnya seperti daun yang dimakan ulat tersebut, atau ulat dan kupu-kupu yang dimakan
burung, kaktus dengan duri tajamnya yang hidup di tempat yang kekurangan air,
laba-laba yang memangsa dan yang dimangsa, atau perbedaan profesi manusia yang
kerap menimbulkan perselisihan di antara mereka, maka niscaya semua fenomena
itu pun akan selalu tetap ada, dan justru itulah yang sengaja diperlihatkan
kepada manusia, agar direnungkan dan disadari betapa tak berdayanya mereka
untuk merancang, mengatur, mengendalikan, atau hingga menghilangkan semua itu.
Demikianlah
kurang lebih gambaran tentang kehidupan ini. Tiada manusia yang sanggup
menghilangkan keburukan sepenuhnya dari dunia ini, karena memang adanya
keburukan adalah justru untuk menjadi pembeda bagi kebaikan. Dan manusia dengan
akalnya pun akan kemudian terseleksi dengan sendirinya, antara golongan yang
dianugerahi keberuntungan dengan golongan yang sebaliknya, antara mereka yang
dianugerahi kemampuan untuk meyakini adanya Tuhan, dengan mereka yang
meragukan-Nya atau bahkan mengingkari-Nya sama sekali. Dan di sinilah manusia
yang dianugerahi keberuntungan akan kemudian kembali dengan sepenuh hati kepada
Tuhan mereka, Tuhan dalam arti yang sesungguhnya, yaitu Pencipta yang tidak
pernah menjadi ciptaan, yang tidak pernah butuh untuk melahirkan apalagi hingga
dilahirkan. Maha Suci Tuhan dari kekurangan semacam itu.
Dialah Allah subhanahuu
wa ta’ala, satu-satunya Dzat yang menciptakan segala sesuatu, yang mana
karena kesempurnaan-Nya-lah akal manusia yang terbatas pun hingga tak sanggup
menampung segenap kebesaran-Nya. Oleh karena itulah Allah subhanahuu wa ta’ala
mengutus para Rasul-Nya dari golongan manusia untuk menjelaskan kepada mereka
tentang hakikat diri-Nya, juga tentang hakikat kehidupan dunia yang nyatanya
tak pernah abadi. Tiada tawa yang abadi di tempat singgah ini, demikian pula
dengan kesulitan. Yang ada hanyalah janji abadi tentang hasil dari amal
kebaikan dan amal keburukan di hari yang abadi kelak. Pada hari yang abadi
itulah segala bentuk amal yang bahkan berupa gerakan batin sekalipun akan
dinilai secara tepat, yang tidak baik akan kita sesali, dan yang baik akan
menggembirakan kita.
Dan
bagaimanapun juga, segala bentuk peran di dunia ini pada hakikatnya adalah
anugerah bagi manusia, selama disertai iman dan ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Tiada yang salah dari menjadi nelayan, petani, pengajar atau guru,
insinyur, dokter, pedagang, atau apapun selama tetap dalam ketaatan tersebut.
Yang salah adalah keadaan di mana kita sengaja melanggar ketaatan itu, ataupun
menganggap bahwa profesi kita adalah satu-satunya yang paling penting di antara
profesi yang ada. Maka tetaplah berbahagia dengan berbuat kebaikan dalam
keadaan masing-masing, sambil berusaha memperbaiki kesalahan yang telah lalu
semampunya, karena Allah akan berbahagia pula dengan kebahagiaan hamba-Nya yang
bersabar mentaati-Nya dalam keadaan apapun. Dan berbahagialah ketika sesama
manusia juga berbahagia dalam usaha mentaati Allah dan Rasul-Nya, karena
mungkin demikianlah jalan hidup orang-orang yang beriman dan berserah diri,
yaitu ruku’ bersama-sama di hadapan Allah, insyaa’Allah.
Sesungguhnya
tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah subhanahuu wa ta’ala, Yang
Maha Tunggal dan tak pernah melahirkan tuhan-tuhan lain yang mendampingi-Nya.
Maha suci Allah. Dan sesungguhnya Rasul atau utusan Allah yang membawa
kebenaran untuk manusia akhir zaman adalah Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
yang membawa al-Qur’an untuk menyempurnakan ajaran para Rasul pendahulunya di
dalam Taurat, Injil dan kitab langit lainnya yang telah dicampuri rekayasa
tangan manusia.
Dan
sesungguhnya tiada manusia yang tahu persis nasib masa depannya di hari yang
kekal nanti, apakah akan selamat ataukah justru sebaliknya. Dan tiada manusia
yang berhak mendaftarkan orang lain ke dalam neraka selama mereka masih hidup
dan memiliki kesempatan untuk meraih hidayah iman dan Islam. Adapun yang telah
dijelaskan kepada kita tentang keselamatan akhirat adalah bahwa Allah akan
merahmati hamba-Nya dengan cara menjadikannya beramal kebaikan di dunia ini,
disertai iman dan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Dan bagaimanapun,
tugas kita hanyalah berusaha menempuh ketaatan yang diperintahkan tersebut
dengan segenap kemampuan, sedangkan perkara hasil hanyalah wewenang Allah
semata. Dan hanya milik Allah sajalah segala kebenaran, hidayah dan taufiq.
0 Comment for "Setiap Makhluk Sudah Ditentukan Jalan Hidupnya"