Al-Muwaththa’ Malik

"Barangsiapa menghidupkan sunnahku maka ia telah mencintaiku dan barangsiapa mencintaiku maka ia akan bersamaku di surga." (HR. Ath-Thabrani)


Kitab Al-Muwaththa’ disusun oleh Imam Malik bin Anas. Dia merupakan seorang imam mazhab dari imam yang empat, beliau adalah penggagas madzhab maliki yang merupakan salah satu dari 4 madzhab dan juga seorang ahli hadits.

Penyusun

Nama lengkapnya yaitu Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir Al-Ashbahy Al-Himyary yang biasa dipanggil Abu Abdullah, gelarnya Imam Dar Al-Hijrah. Dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H atau 712 M dan wafat pada tahun 179 H. (Buhuts fi Tarikh As-Sunnah Al-Musyarrafah, 309)

Di tengah lingkungan yang sarat iman dan ilmu yang murni Imam Malik dilahirkan. Ia tumbuh dan berkembang di sana. Di antara pepohonan Madinah, Imam Malik meretas jalan untuk menghadiri berbagai halaqah (pengajian) keilmuan dan hadis. Ia duduk menghadiri majelis keilmuan para pakar ilmu pada masanya. Imam Malik ketika itu adalah anak muda yang pandai, luar biasa banyak hafalannya, teguh, disiplin, tekun, berbakti, dan bertaqwa. (Cobaan Para Ulama, 29 Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, 36)

Kakek dan ayahnya termasuk ulama hadis terpandang di Madinah. Oleh sebab itu, sejak kecil Imam Malik tidak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu, karena beliau merasa Madinah adalah kota sumber ilmu yang berlimpah dengan ulama-ulama besar. Imam Malik selalu menghadiri majelis keilmuan salah seorang ulama Madinah, Abdurrahman bin Hurmuz selama tujuh tahun penuh. Selama rentang waktu tersebut, ia benar-benar mendapat pengaruh dari sang guru, Ibnu Hurmuz. Selain itu, Imam Malik juga ikut menghadiri majelis keilmuan Rabi’ah bin Abdurrahman, dan Nafi’ maula (mantan budak) Ibnu Umar. (Cobaan Para Ulama, 29 Kisah Ulama Besar dalam Menghadapi Ujian Dakwah, 36)

Gambaran Umum Isi Kitab

Al-Muwaththa’ berasal dari kata wathi’a – yatha’u – wath’an yang berarti “berjalan di atas” atau “melalui”. Sedangkan kata Al-Muwaththa’ itu sendiri merupakan ism maf’ul dari fi’il tsulatsi mazid bi harf fi ‘ain fi’il, yang berarti “Dimasuki”. (Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, 1565)

Artinya mudah dimasuki atau dipahami. Sebab dinamakan kitab ini dengan Al-Muwaththa’ adalah karena dua sebab :
a. Karena kitab ini menjadi pembicaraan manusia, maksudnya ia dimudahkan untuk manusia.
b. Karena para ulama Madinah sepakat dan setuju atasnya. (Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayah Al-Qarn Al-Tasi’ Al-Hijry, 106)

Imam Malik rahimahullah berkata :

عرضت كتابى هذا على سبعين فقيها من فقهاء المدينة فكلهم و اطأنى عليه فسميته: الموطأ

“Saya menunjukkan kitabku ini kepada tujuh puluh ahli fikih Madinah. Semuanya menyepakatiku atasnya, maka saya memberinya nama Al-Muwaththa’.” (Tanwir Al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik, 7)

Kitab ini berisi hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atsar-atsar sahabat, dan fatwa-fatwa tabi’in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadits yang pernah dia riwayatkan. Hadits yang terkumpul di dalamnya menurut riwayat Yahya bin Yahya Al-Andalusi mencapai 853 hadits. (Tajrid At-Tamhid, 258) Abu Bakar al-Abhari mengatakan, “Jumlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atsar sahabat, dan fatwa tabi’in yang ada dalam Al-Muwaththa’ adalah 1720 hadits, yang bersanad 600, mursal 222, mauquf 613, dan fatwa tabi’in 285.” (Tanwir al-Hawalik Syarh ‘ala Muwaththa’ Malik, 7) Perbedaan perhitungan jumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwaththa’ berdasarkan perbedaan riwayat dari Imam Malik. Imam Malik selalu membersihkan dan memperbaiki isi Muwaththa’nya, dan tetap menulisnya dan memperbaikinya.

Adapun derajat hadits-hadits yang terdapat dalam Al-Muwaththa’ sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah Muwaththa’ Imam Malik.” Tidaklah ada pertentangan antara pernyataan ini dengan kesepakatan ulama bahwa kitab paling shahih setelah Al-Qur’an adalah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Hal itu karena beberapa hal :

a. Pernyataan Imam Asy-Syafi’i ini sebelum adanya shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim. Dia meninggal pada 204 H, sedangkan umur Imam Al-Bukhari pada waktu itu belum melewati sepuluh tahun, dan Imam Muslim lahir pada tahun tersebut.
b. Sebagian besar hadits yang ada pada Al-Muwaththa’ terdapat pula pada Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan sisanya terdapat pada kitab sunan yang empat.

Sebagian ulama dari barat dan timur mengatakan bahwa semua yang ada pada Al-Muwaththa’ adalah shahih. Di antara Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah dan Ibnu Hajar. Akan tetapi yang rajih menurut pendapat jumhur ulama bahwa derajat Al-Muwaththa’ adalah di bawah Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa Al-Muwaththa’ adalah kitab yang keenam dari kitab hadits yang enam (Al-Kutub As-Sittah), di antara mereka adalah Razin bin Mu’awiyah As-Saraqusthi (w. 535 H) dan Al-Majd bin Al-Atsir (w. 606 H). (Tadwin As-Sunnah An-Nabawiyah, Nasy’atuhu wa Tathowwuruhu min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayah Al-Qarn Al-Tasi’ Al-Hijry, 107-108)

Penilaian Ulama

Di mata masyarakat dan umat Islam, Imam Malik memiliki kedudukan luar biasa yang menyamai kedudukan para khalifah, gubernur, dan walikota. Majelis ilmunya diliputi ketenangan, kewibawaan, dan kehormatan. Bahkan para pemimpin sekalipun di kala itu sangat senang mendengarkan pengajian sang Imam.

Suatu ketika Amirul Mukminin Harun Ar-Rasyid rahimahullah berkata kepada sang Imam :

يا أبا عبد الله، أريد أن أسمع منك (الموطأ).

“Wahai Abu Abdullah, aku ingin mendengarkan darimu (Al-Muwaththa’).”

Lalu Imam Malik menjanjikan esok harinya. Pada hari yang dijanjikan Harun Ar-Rasyid duduk di rumahnya menunggu Imam Malik, dan begitu juga sang Imam menunggu sang Amir di rumahnya. Karena sudah lama menunggu, Harun Ar-Rasyid mengutus seseorang untuk mengundang Imam Malik. Lalu ia berkata kepada Imam Malik :

يا أبا عبد الله، ما زلت أنتظرك منذ اليوم.

“Wahai Abu Abdullah, aku telah menunggumu seharian”

Imam Malik menyatakan :

وأنا أيضا يا أمير المؤمنين لأم أزل أنتظرك منذ اليوم، إن العلم يؤتى ولا يأتي، وإن ابن عمك صلى الله عليه وسلم هو الذي جاء بالعلم؛ فإن رفعتموه ارتفع، وإن وضعتموه اتضع

“Aku juga menunggumu seharian wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya ilmu itu dicari, tidak datang sendiri, dan sesungguhnya anak pamanmu shallallahu ‘alaihi wasallam yang dia datang bersama ilmu, jika engkau meninggikannya, dia akan tinggi, dan jika engkau rendahkan, maka ia menjadi rendah.” (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 25-26)

Beberapa pendapat Ulama mengenai Imam Malik dan Al-Muwaththa’ :
a. Imam asy-Syafi'i rahimahullah
Dalam memposisikan Imam Malik di kalangan Ulama Imam Asy-Syafi'i menyatakan :

إذا ذكر العلماء فمالك النجم، و قال: مالك معلمى و عنه أخذتُ العلم

“Apabila disebutkan Ulama, maka Malik adalah Najm (bintang), dia juga berkata: "Malik adalah guruku, dan darinya aku mengambil ilmu.” (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 5)

Mengenai Al-Muwaththa’, Imam Asy-Syafi’i berkata :

ما على طهر الأرض كتاب أصح بعد كتاب الله من كتاب مالك

“Tidak ada kitab yang paling shahih di permukaan bumi ini setelah Al-Qur’an daripada kitab (Muwaththa’) Imam  Malik.” (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 6)

b. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah

Mengomentari pendapat Imam Syafi’i di atas, Ibnu Taimiyah menyatakan :

وهو كما قال الشافعي رضي الله تعالى عنه

“Dan dia (Muwaththa’ Imam Malik) sebagaimana yang dinyatakan Asy-Syafi’i radhiallahu ‘anhu.”

هذه كتب الصحيح التى أجلّ ما فيها كتاب البخارى أول ما يستفتح الباب بحديث مالك، و إن كان فى الباب شيءٌ من حديث مالك لا يقدّم على حديثه غيره

“Kitab-kitab shahih ini yang di dalamnya terdapat kitab Al-Bukhari, awal babnya dibuka dengan hadits Malik, apabila di dalam bab tersebut terdapat sesuatu dari hadits Malik, maka dia tidak mendahulukan haditsnya selain dari hadits Malik. (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 6)

c. Al-Hafizh Ibnu 'Abdil Bar rahimahullah

Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Bar rahimahullah (w. 463 H) merupakan seorang ulama yang menyarahkan Al-Muwaththa’ dalam kitabnya yang berjudul Al-Istidzkar fi Syarh Madzahibi Ulama’ Al-Amshar dan At-Tamhid lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’ani wa Al-Asanid. Ibnu ‘Abdil Bar berkata :

من اقتصر على حديث مالك رحمه الله فقد كُفي تعب التفتيش و البحث، ووضع يده من ذلك على عروة وُثقى لا تنفصم، لأن مالكا قد انتقد و انتقى، و خلص، و لم يرو إلا عن ثقة حجة

“Siapa yang mencoba untuk meringkas hadits Malik rahimahullah, maka cukuplah keletihan dalam mengkaji dan membahasnya, lalu ia berpegang dengan tali kokoh niscaya tidak juga akan putus. Karena Malik telah mengkritik, membersihkan, memurnikan, dan dia hanya meriwayatkan dari hujjah yang tsiqah.” (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 6)

d. Syeikh Ad-Dahlawy rahimahullah

...تيقنتُ أنه لا يوجد الآن كتاب ما فى الفقه أقوى من موطأ الإمام مالك، لأن الكتب تتفاضل فى ما بينها، إما من جهة فضل المصنف، أو من جهة التزام الصحة، أو من جهة شُهرة إحاديثها، أو من جهة القبول لها من عآمة المسلمين، أو من جهة حسن الترتيب واستيعاب المقاصد المهمة و نحوها، و هذه الأمور كلها موجودة فى الموطأ على وجه الكمال، بالنسبة إلى جميع الكتب الموجودة على وجه الارض الآن...

“Saya yakin sekarang tidak ditemukan kitab yang di dalam fiqh yang lebih kuat dari Muwaththa’ Imam Malik. Karena kitab-kitab yang kelebihan terdapat di dalamnya, baik dari segi kelebihan penyusun, dari segi ketegasan keshahihannya, dari segi kemasyhuran hadits-haditsnya, dari segi diterimanya oleh kaum muslimin, dari segi kerapian susunannya, maupun kepekatan tujuan-tujuan yang sangat urgen, dan lain sebagainya. Semua itu terdapat dalam Al-Muwaththa’ secara sempurna disbanding dengan seluruh kitab yang ada di permukaan bumi ini.” (Al-Madkhal ila Al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, 6)

Demikianlah berbagai pendapat ulama mengenai kitab Al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh ulama di atas sebenarnya tidak bertentangan dengan pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa kitab yang paling shahih setelah kitab Allah (Al-Qur’an) adalah shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Sebagaimana yang telah penulis jelaskan sebelumnya dengan beberapa alasan.

Di antara syarah Al-Muwaththa’ yang paling penting yaitu :

1. Al-Istidzkar fi Syarh Madzahibi Ulama’ Al-Amshar
2. At-Tamhid lima fi Al-Muwaththa’ min Al-Ma’ani wa Al-Asanid, keduanya karya Ibnu Abdil Barr

Kitab Al-Muwaththa’ Malik sendiri merupakan salah satu dari 9 Kitab Induk Hadits (Kutubu Tis’ah). 9 Kitab Induk Hadits Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah :

0 Comment for "Al-Muwaththa’ Malik"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top