Sunnahnya Kunyah Dalam Nama

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’” (HR. Al-Bukhari no. 6203 danMuslim no. 2150)


Sering kita melihat seseorang yang mengawali namanya dengan nama Abu atau Ummu atau Ibnu, seperti halnya Abu Bakar, Abu Hurairah, Ummu Kultsum, Ibnu Hajar dan lain-lain. Bahkan mungkin pembaca pun melihatnya pada nama penulis yaitu Abu ‘Abdillah Al-Indunisiy. Nama demikian disebut nama kunyah (dibaca kun-yah bukan ku-nyah) atau julukan.

Kunyah adalah nama yang diawali dengan “Abu” atau “Ibnu” untuk laki-laki, seperti Abu Abdillah dan Ibnu Hajar. Sedangkan “Ummu” atau “Bintu” adalah untuk perempuan, seperti Ummu Aisyah dan Bintu Malik.

Kunyah apabila bergabung dengan nama asli maka kunyah boleh diawalkan atau diakhirkan. Contoh Abu Hafsh Umar atau Bakr Abu Zaid. Namun yang lebih masyhur, kunyah diawalkan karena maksud dari kunyah adalah untuk menunjukkan kepada dzat bukan sebagai sifat. (Syarh Ibnu Aqil ‘ala alfiyah Ibni Malik 1/115 dan al-Qowaid al-Asasiyyah Li Lughotil Arobiyyah, 67)

Kunyah secara umum merupakan suatu penghormatan dan kemuliaan. Para ulama berselisih pendapat tentang memberi kunyah kepada orang kafir dan ahli bid’ah. Pendapat yang benar pada asalnya adalah tidak boleh karena termasuk menghormati mereka, tetapi terkadang diperbolehkan apabila ada tujuan dan sebab syar’i. (Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah Min Ahlil Bida’ wal Ahwa’ 2/584)

Seorang peyair berkata:

أُكْنِيْهِ حِيْنَ أُنَادِيْهِ لِأُكْرِمَهُ
وَلاَ أُلَقِّبُهُ وَالسَّوْءَةُ اللَّقَبُ

Aku memanggilnya dengan kunyah sebagai penghormatan padanya
Dan saya tidak menggelarinya, karena gelar adalah jelek baginya. (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, 232)

Namun terkadang kunyah juga bisa bermakna celaan seperti Abu Jahl, Abu Lahab dan lain sebagainya. (Bekal Menanti Si Buah Hati,36 oleh Ust. Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi hafizhahullah)

Dalil-Dalil Disyari’atkan Nama Kunyah

Hadits Pertama :

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ - صلى الله عليه وسلم-أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, قَالَ أَحْسَبُهُ فَطِيْمٌ, وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata : “Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughoir (Nughoir adalah sejenis burung)?’” (HR. Al-Bukhari no. 6203 danMuslim no. 2150)

Faedah

Ibnu Qash Asy-Syafi’i rahimahullah di awal kitabnya Juz fi Fawaid Hadits Ya Aba Umair, menyebutkan bahwa sebagian manusia mencela ahli hadits dan menuding bahwa mereka meriwayatkan sesuatu yang tidak ada faedahnya seperti hadits Abu Umair. Kata beliau: “Apakah mereka tahu bahwa hadits ini ternyata menyimpan faedah dalam masalah fiqih, adab dan faedah lainnya sehingga mencapai enam puluh faedah?!.” (Fathul Bari, 10/716)

Imam Bukhari rahimahullah membuat bab hadits ini dengan ucapannya “Bab kunyah untuk anak dan orang yang belum mempunyai anak”. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Imam Bukhari mengisyaratkan dalam bab ini untuk membantah anggapan orang yang melarang kunyah bagi yang belum mempunyai anak dengan alasan bahwa hal itu menyelisihi fakta.” (Fathul Bari, 10/714)

Imam Ibnul Qash Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah tentang bolehnya memberi kunyah kepada orang yang belum mempunyai anak.” (Juz Fiihi Fawaid Hadits Abi Umair, 27)

Hadits Kedua :

عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم-: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ

Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.” (HR. Ahmad 6/107 no. 151, Abu Dawud no. 4970, Abdur Rozzaq no. 19858)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya kunyah sekalipun belum mempunyai anak. Karena hal ini termasuk adab Islam yang menurut pengetahuan kami tidak ada dalam agama-agama lainnya. Maka hendaknya kaum muslimin menerapkan Sunnah ini baik kaum pria maupun wanita.” (Silsilah Ahadits Ash-Shahihah 1/257)

Hadits Ketiga :

أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِأَبِى يَحْيَى.

“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’” (HR. Ibnu Majah no. 3738)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat faedah disyari’atkan kunyah bagi yang belum mempunyai anak, bahkan dalam shohih Bukhori dan lainnya bahwa beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam memberikan kunyah kepada putri kecil dengan Ummu Kholid.”

Sungguh disayangkan, banyak kaum muslimin yang melupakan Sunnah ini. Amat jarang sekali kita menjumpai orang yang berkunyah padahal dia mempunyai anak banyak. Apalagi lagi yang belum mempunyai anak?! (Silsilah Ahadits Ash-Shahihah 1/110-111)

Syaikh Ahmad Al-Banna berkata: “Hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya kunyah bagi anak kecil dan dewasa baik sudah mempunyai anak atau belum (dan ini bukanlah suatu kebohongan), baik lelaki atau wanita, dan bolehnya berkunyah dengan selain anaknya. Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang namanya Bakr, Umar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Hafsh, Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu tidak memiliki anak yang bernama Dzar, dan seterusnya banyak sekali tak terhitung.

Dibolehkan pula bagi wanita untuk berkunyah dengan nama anak orang lain sekalipun ia tidak memiliki anak, sebagaimana Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberi kunyah ’Aisyah dengan Ummu Abdillah. Jadi, kunyah itu tidak harus memiliki anak terlebih dahulu dan tidak harus juga ia berkunyah dengan nama anaknya.

Para ulama mengatakan: “Mereka memberikan kunyah kepada anak kecil sebagai rasa optimisme bahwa dia akan hidup hingga mempunyai anak dan sebagai penghindaran diri dari gelar-gelar jelek. Oleh karenanya seorang di antara mereka mengatakan: “Cepatlah berikan kunyah untuk anak-anak kalian sebelum didahului oleh gelar.” Wallohu a’lam.” (Bulughul Amani fi Asrori Fathur Robbani 2/2013, Tuhfatul Maudud, 232 dan Aunul Ma’bud 13/212)

Kunyah Para Salaf

Berdasarkan hadits-hadits di atas yang menunjukkan disyari’atkannya kunyah bagi anak kecil dan orang dewasa sekalipun belum mempunyai anak, maka merupakan kebiasaan salaf dari kalangan sahabat adalah berkunyah sekalipun belum dikaruniai anak. Imam az-Zuhri rahimahullah berkata: “Adalah beberapa sahabat, mereka berkunyah sebelum dikaruniai anak.” (Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/26278)

Ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad shohih dari Alqamah dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam memberinya kunyah Abu Abdirrohman sebelum dikarunia anak.”

Al-Bukhori dalam Adabul Mufrod meriwayatkan dari Alqomah radhiyallahu ‘anhu: “Abdulloh bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”

Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibrahim, berkata: “Adalah Alqomah radhiyallahu ‘anhu diberi kunyah Abu Syibl padahal dia mandul tidak mempunyai anak.”

Al-Bukhori meriwayatkan dari Hilal al-Wazan berkata: “Urwah memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.”

Al-Bukhori dalam Tarikh Kabir meriwayatkan dari Hisyam: “Muhammad bin Sirin memberiku kunyah sebelum aku dikaruniai anak.” (Fathul Bari 10/714 dan Fadhlullohi Ash-Shomad 2/677)

Oleh karenanya, semua ini dapat membantah pendapat sebagian kalangan yang melarang kunyah bagi orang yang belum mempunyai anak. Jika kita ingin mengutip semuanya, maka banyak sekali ulama salaf dan ahli hadits yang memiliki kunyah, sehingga banyak pula ditulis kitab-kitab khusus yang membahas tentang kunyah mereka.

Dalam muqoddimah Syaikh Muhammad bin Sholih al-Murod terhadap kitab al-Muqtana fil Kuna hlm. 22-31 beliau menyebutkan lebih dari tiga puluh judul kitab tentang kunyah para perawi hadits, di antaranya adalah al-Kuna oleh Imam Muslim (2 jilid), al-Kuna wal Asma’ oleh ad-Daulabi (2 jilid), al-Kuna oleh Imam Ahmad, al-Hakim Abu Ahmad, Nasai’, Ibnu Mandah, Ali bin Madini dan lain sebagainya. (Al-Baitsul Hatsits 2/594)

Kunyah Dengan Abul Qasim

Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam menjelaskan mengenai penggunaan kunyah bagi kaum laki-laki dengan menggunakan kunyah Abul Qasim, beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ يَقُوْلُ: قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ- صلى الله عليه وسلم-: سَمُّوْا بِاسْمِيْ, وَلاَ تَكْتَنُوْا بِكُنْيَتِيْ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Abul Qasim shalallahu ‘alayhi wa sallam berkata: “Pakailah namaku dan jangan berkunyah dengan kunyahku.” (HR. Al-Bukhari no. 3539 danMuslim no. 2134)

Para ulama berselisih dalam penggunaan kunyah Abul Qasim ini, al-Hafizh Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar adalah boleh bernama dengan nama Muhammad dan dilarang berkunyah dengan kunyah Abul Qasim. Larangan ini lebih keras lagi pada masa beliau dan dilarang pula menggabung nama beserta kunyah beliau yakni Muhammad dan Abul Qasim.” (Zaadul Ma’ad 2/347)


Demikianlah penjelasan singkat tentang sunnahnya kunyah dalam nama. Semoga hal ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

0 Comment for "Sunnahnya Kunyah Dalam Nama"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top