“Adakah orang
yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar
sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran.” (QS Ar-Ra’d : 19)
Kebenaran mutlak datang hanya
dari Allah azza wa jalla. Oleh karena itu, Al-haq tidak diambil kecuali
dengan petunjuk kitab Allah azza wa jalla dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan sepantasnya orang-orang yang sudah menerima Al-haq,
hendaknya mereka menerima dan mengikutinya.
Allah Azza wa jalla
telah memuji orang-orang yang beriman karena mereka mengkuti al-haq dalam
firman-Nya:
أَفَمَنْ
يَعْلَمُ أَنَّمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ الْحَقُّ كَمَنْ هُوَ أَعْمَىٰ إِنَّمَا
يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang
diturunkan kepadamu dari rabbmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah
orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran,” (QS Ar-Ra’d : 19)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata tentang makna ayat ini: “Maka tidaklah sama orang yang meyakini
kebenaran yang engkau bawa –wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam–
dengan orang yang buta, yang tidak mengetahui dan memahami kebaikan. Seandainya
memahami, dia tidak mematuhinya, tidak mempercayainya, dan tidak mengikutinya.”
(Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, surat . Ar-Ra’du : 19)
Namun, umumnya manusia tidak
peduli terhadap kebenaran, tidak mau mencarinya, dan tidak menelitinya.
Sehingga mereka berkubang di dalam kesesatan dengan sadar atau tanpa sadar.
Allah Azza wa jalla berfirman:
أَمِ اتَّخَذُوا
مِنْ دُونِهِ آلِهَةً قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ هَٰذَا ذِكْرُ مَنْ مَعِيَ
وَذِكْرُ مَنْ قَبْلِي بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ الْحَقَّ فَهُمْ مُعْرِضُونَ
“Apakah mereka mengambil sesembahan-sesembahan
selain-Nya? Katakanlah: “Tunjukkanlah hujjahmu! (Al-Qur`an) ini adalah
peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang
yang sebelumku.” Sebenarnya kebanyakan mereka tiada mengetahui yang hak, karena
itu mereka berpaling.” (QS. Al-Anbiya’ : 24)
Syaikh `Abdurrahman bin Nashir
as-Sa’di rahimahullah berkata: “Mereka tidak mengetahui kebenaran bukan
karena kebenaran itu samar dan tidak jelas. Namun karena mereka berpaling
darinya. Jika mereka tidak berpaling dan mau memperhatikannya, niscaya
kebenaran menjadi jelas bagi mereka dari kebatilan, dengan kejelasan yang nyata
dan gamblang”. (Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al-Anbiya’ : 24)
Oleh karena itu, jangan
sekali-kali seorang Muslim menolak kebenaran. Siapa pun pembawanya. Karena
menolak kebenaran itu merupakan sifat kesombongan yang dibenci oleh Allah azza
wa jalla . Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ
إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ
النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam
hatinya ada kesombongan seberat biji sawi. Seorang laki-laki bertanya: “Ada
seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)
Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan.
Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim, no.
2749)
Imam Nawawi rahimahullah
berkata: “Adapun ‘menolak kebenaran’ yaitu menolaknya dan mengingkarinya dengan
menganggap dirinya tinggi dan besar”. (Syarah Muslim, hadits no. 2749)
Imam Ibnul Atsir rahimahullah
berkata tentang makna ‘menolak kebenaran’, yaitu menyatakan batil terhadap
perkara yang telah Allah azza wa jalla tetapkan sebagai kebenaran,
seperti mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Ada yang mengatakan,
maknanya adalah menzhalimi kebenaran, yaitu tidak menganggapnya sebagai
kebenaran. Dan ada yang mengatakan, maknanya adalah merasa besar terhadap
kebenaran, yaitu tidak menerimanya”. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits)
Seorang Muslim jangan
menyerupai orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui kebenaran, namun tidak
mengikutinya. Allah azza wa jalla berfirman tentang orang-orang Yahudi
Madinah yang enggan beriman kepada Nabi Muhammad sahallallahu ‘alaihi wa
sallam:
وَلَمَّا
جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ
قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا
كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang kepada mereka (orang-orang
Yahudi) al-Qur`an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal
sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan
atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka
ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang
yang ingkar itu. (QS. Al-Baqarah : 89)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Allah azza wa jalla menyifati orang-orang Yahudi bahwa mereka
dahulu mengetahui kebenaran sebelum munculnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang berbicara dengan kebenaran dan mendakwahkannya. Namun, setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada mereka, beliau
berbicara dengan kebenaran. Karena beliau bukan dari kelompok yang mereka
sukai, maka mereka pun tidak tunduk kepada beliau, dan mereka tidak menerima
kebenaran kecuali dari kelompok mereka. Padahal, mereka tidak mengikuti perkara
yang diwajibkan oleh keyakinan mereka.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, hal. 14)
Inilah di antara sifat-sifat
buruk orang-orang Yahudi. Mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari
kelompok mereka saja. Rupanya, sifat seperti ini menjalar di kalangan ahli
bid’ah dulu dan sekarang, mereka tidak mau menerima kebenaran kecuali dari
kelompoknya saja, atau buku-bukunya saja, atau guru-gurunya saja. Wallahul
Musta’an.
Sesungguhnya kebenaran itu
tetap diterima walau pun datangnya dari orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mencontohkan hal ini di dalam beberapa hadits beliau. Antara
lain hadits berikut ini.‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
دَخَلَتْ
عَلَيَّ عَجُوزَانِ مِنْ عُجُزِ يَهُوْدِ الْمَدِينَةِ فَقَالَتَا لِيْ إِنَّ
أَهْلَ الْقُبُوْرِ يُعَذَّبُونَ فِي قُبُوْرِهِمْ فَكَذَّبْتُهُمَا وَلَمْ
أُنْعِمْ أَنْ أُصَدِّقَهُمَا فَخَرَجَتَا وَدَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ عَجُوزَيْنِ
وَذَكَرْتُ لَهُ فَقَالَ صَدَقَتَا إِنَّهُمْ يُعَذَّبُونَ عَذَابًا تَسْمَعُهُ
الْبَهَائِمُ كُلُّهَا فَمَا رَأَيْتُهُ بَعْدُ فِي صَلاَةٍ إِلاَّ تَعَوَّذَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ
“Dua nenek Yahudi Madinah masuk menemuiku,
keduanya mengatakan kepadaku: “Sesungguhnya orang-orang yang berada di dalam
kubur disiksa di dalam kubur mereka”. Aku mendustakan keduanya, aku tidak
senang membenarkan keduanya. Lalu keduanya keluar. Nabi datang masuk menemuiku,
maka aku berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah , sesungguhnya dua nenek…”,
aku menyebutkan kepada beliau. Beliau bersabda: “Keduanya benar. Sesungguhnya
mereka disiksa dengan siksaan yang didengar oleh binatang-binatang semuanya”.
Kemudian tidaklah aku melihat beliau di dalam shalat setelah itu, kecuali
beliau berlindung dari siksa kubur.” (HR. Al-Bukhari, no. 6366 dan Muslim, no.
586)
Lihatlah, bagaimana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membenarkan dan menerima perkataan dua nenek Yahudi
tentang adanya siksa kubur. Bahkan, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berlindung dari siksa kubur di dalam shalatnya setelah itu. Maka
bandingkanlah dengan sebagian orang Islam di zaman ini, ketika telah
disampaikan kepadanya tentang suatu permasalahan yang benar berdasarkan ayat
al-Qur’an, hadits yang shahih, dan penjelasan para Ulama. Mereka tidak
menerimanya hanya karena orang yang menyampaikan berbeda madzhabnya,
organisasinya, tempat mengajinya, kebiasaan masyarakatnya, atau semacamnya.
Di dalam suatu kejadian yang
lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perkataan
yang benar dari orang-orang Yahudi. Bahkan beliau meluruskan amalan umat dari
sebab peringatan yang disampaikan oleh seorang Yahudi! Sebagaimana disebutkan
dalam hadits di bawah ini:
عَنْ قُتَيْلَةَ
امْرَأَةٍ مِنْ جُهَيْنَةَ أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ
تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا
أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
“Dari Qutailah, seorang wanita dari suku Juhainah,
bahwa seorang laki-laki Yahudi mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
lalu berkata: “Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah).
Sesungguhnya kamu menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan ‘Apa yang Allah
kehendaki dan apa yang engkau kehendaki’. Kamu juga mengatakan ‘Demi Ka’bah’.
Maka Nabi memerintahkan kaum Muslimin, jika menghendaki sumpah untuk mengatakan
‘Demi Rabb Ka’bah’. Dan agar mereka mengatakan ‘Apa yang Allah kehendaki
kemudian apa yang engkau kehendaki’.” (HR. An-Nasai, no. 3773)
Ketika menjelaskan
faedah-faedah dari hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
berkata:
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari
niat orang Yahudi itu adalah mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabat beliau. Karena yang dia katakan memang benar.
Kedua: Disyari’atkan kembali
menuju kebenaran walaupun yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran.
Ketiga: Sepantasnya ketika
merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengatakan
‘Demi rabb Ka’bah’, dan beliau tidak mengatakan ‘Bersumpahlah dengan nama Allah
azza wa jalla‘. Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan ‘Apa
yang Allah azza wa jalla kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki'”.
Setelah penjelasan ini, Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyampaikan suatu masalah
dan jawabannya. Yaitu jika ditanya: “Kenapa tidak ada yang mengingatkan
(kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya adalah:
“Kemungkinan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendengarnya
dan tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa
mendiamkan mereka?”, maka dijawab: “Sesungguhnya itu adalah syirik ashghar
(kecil), bukan syirik akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang
Yahudi. Mereka mengkritik umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan
Allah azza wa jalla dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat
aib mereka.” (Al-Qaulul Mufid, hal. 522-523)
Bahkan sesungguhnya menolak
kebenaran itu merupakan sifat orang-orang kafir. Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu hafizhahullah berkata: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla
telah mengutus para Rasul kepada manusia, dan memerintahkan mereka dengan
dakwah untuk beribadah kepada Allah azza wa jalla dan mentauhidkan-Nya.
Namun mayoritas umat mendustakan para rasul. Mereka menolak al-haq yang telah
diserukan kepada mereka, yaitu tauhid. Maka akibatnya adalah kehancuran.”
(Minhajul Firqah An-Najiyah, hal.140)
Syaikh juga mengatakan: “Oleh
karena ini, wajib menerima al-haq dari siapa saja, bahkan walaupun dari setan.”
Kemudian Syaikh membawakan hadits shahih seperti di bawah ini:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ
يَحْثُو مِنْ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ َلأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا
أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ
مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ
شَيْطَانٌ
“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewakilkan aku untuk menjaga zakat
Ramadhan. Kemudian ada seorang yang mendatangiku lalu mengambil makanan dengan
tangannya. Maka aku menangkapnya, dan kukatakan: “Aku benar-benar akan
membawamu kepada Rasulullah …kemudian dia menyebutkan hadits itu…lalu pencuri
itu berkata: “Jika engkau pergi ke tempat tidurmu bacalah ayat kursi, akan selalu
ada seorang penjaga dari Allah atasmu, dan setan tidak akan mendekatimu sampai
waktu subuh”. Kemudian Nabi bersabda: “Dia (pencuri itu) telah berkata benar
kepadamu (hai Abu Hurairah), namun dia itu sangat pendusta, dia adalah setan.”
(HR. Al-Bukhari, no. 2311)
Kesimpulannya adalah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah:
“Berdasarkan ini, seorang Mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasehat
sehingga tidak menyerupai orang-orang kafir, dan sehingga tidak terjerumus di
dalam kesombongan yang akan menghalangi pelakunya untuk memasuki surga. Hikmah
adalah barang hilang seorang Mukmin, di mana saja dia menemuinya, dia
mengambilnya.” (Minhajul Firqah An-Najiyah, hal.140)
Wallahu Waliyut Taufiq.
0 Comment for "Janganlah Menolak Kebenaran"