“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa
nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di
dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
(al-Qur'an) bagi mereka, tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS.
al-Mu’minun [23] : 71)
Menjelang 30 September, muncul gerakan ‘nonton bareng’ film peristiwa
pemberontakan G30S/PKI. Bahkan yang menjadi salah satu pioneernya adalah para
petinggi TNI seperti panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo حَفِظَهُ اللهُ. Mereka memiliki alasan yang sangat baik, karena dengan
pemutaran film ini kembali di layar kaca maka akan kembali mengingatkan
masyarakat Indonesia mengenai bahaya pemahaman komunis yang anti agama dan anti
Tuhan. Film yang biasa diputar setiap tanggal 30 September ini memang sudah
lama tidak ditayangkan kembali sejak lengsernya Presiden Soeharto رَحِمَهُ اللهُ dari tampuk kepemimpinan NKRI. Selain itu, muculnya gerakan ‘nonton
bareng’ film peristiwa G30S/PKI ini sebagai wujud perlawanan dari
masyarakat kepada antek-antek PKI yang sekarang sudah mulai berani muncul ke
permukaan demi membangkitkan faham yang sudah dilarang oleh pemerintah dan
diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Faham yang dibawa PKI (Komunisme) merupakan faham yang sangat berbahaya. Sepanjang
sejarah, faham ini menjadi salah satu sumber kerusakan terbesar di muka bumi pada
era modern ini termasuk di bumi Nusantara. Di Indonesia saja, PKI sudah
berkali-kali melakukan pemberontakan seperti kejadian Madiun tahun 1948 dengan
melakukan pembantaian kepada para ulama dan santri kala itu atau kejadian 30
September 1965 di Lubang Buaya dimana mereka melakukan pembunuhan kepada para
Jenderal.
Berikut ini penulis sajikan mengenai
bagaimana kekejaman PKI yang mereka lakukan kepada para Ulama dan Santri pada
kejadian Madiun 1948 yang penulis kutip dari situs jejakislam.net, tulisan
dibawah merupakan tulisan dari Andy Ryansyah – Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB).
Seorang antropolog Amerika, Robert Jay, yang mulai tahun 1953, turun ke
Jawa Tengah menggambarkan kekejaman PKI. “Mereka menggunakan kekuatan mereka
untuk melenyapkan bukan saja para pejabat pemerintah pusat, tapi juga penduduk
biasa yang merasa dendam. Mereka itu terutama ulama-ulama tradisionalis, santri
dan lain-lain yang dikenal karena kesalihan mereka kepada Islam. Mereka ini
ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang, kadang-kadang
ketiga-tiganya sekaligus. Masjid dan madrasah dibakar, rumah-rumah pemeluknya
dirampok dan dirusak.”
Seorang narasumbernya bercerita kepada Robert Jay: “Soalnya begini Mas.
Kami mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri
mereka dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka
itu tidak berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan
anak-anak laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang
dibawa ke alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung.
Parit-parit di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter,
Mas.”
Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan
kekuasaan menyusul tindakan pembersihan: “Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI
ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun
djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen
bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi,
PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak.
Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi
bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian
atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan
sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah
membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika
orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di
sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.”
Sin Po 1 Oktober 1948,
memberitakan: “pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI
merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di
daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”
Seorang narasumbernya cerita kepada Robert Jay: “Soalnya begini Mas. Kami
mulai mendengar kabar itu dari Madiun. Ulama-ulama dan santri-santri mereka
dikunci di dalam madrasah, lalu madrasah-madrasah itu dibakar. Mereka itu tidak
berbuat apa-apa, orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak
laki-laki yang baik. Hanya karena mereka itu muslim saja. Orang dibawa ke
alun-alun kota, di depan masjid, kemudian kepala mereka dipancung. Parit-parit
di sepanjang jalan itu digenangi darah setinggi tiga sentimeter, Mas.”
Di Madiun, Sin Po menulis laporan dari saksi mata. Sesudah perebutan
kekuasaan menyusul tindakan pembersihan: “Semoea pemimpin Masjoemi dan PNI
ditangkep atawa diboenoeh dengan tida dipreksa poela. Kekedjaman di Kota Madiun
djadi memoentjak, koetika barisan ‘warok’ ponorogo masoek kota dengen
bersendjata revolver dan klewang. Di mana ada terdapat orang-orang Masjoemi,
PNI atawa jang ditjoerigakan, zonder banjak tjingtjong lagi lantas ditembak.
Belon poeas dengan ini tjara, korban itoe laloe disamperi dan klwangnja dikasi
bekerdja oentoek pisahken kepalanja sang korban dari toeboehnja. Kedjadian
atawa pemboenoehan stjara ini dilakoekan di berbagai bagian dari kota dan
sakiternja, hingga dalam tempo beberapa hari sadja darah manoesia telah
membandjiri kota Madioen. Soenggoe keadahan sangat mengerihkan teroetama djika
orang melihat dengen mata sendiri, orang-orang jang diboenoeh pating gletak di
sepandjang djalan sampe bebrapa hari tida ada jang mengangkat.”
Sin Po 1 Oktober 1948,
memberitakan: “pembrontakan communist itoe ditoedjoekan kerna kaoem FDR-PKI
merasa tida soeka pada Masjoemi dan banjak sekali orang-orang jang Masjoemi di
daerah jang didoedoekin oleh communist telah diboenoe dengen kekedjaman.”
Serangan ke
Pesantren Sabilul Muttaqien
Belakangan tim koran Jawa Pos yang terdiri atas Maksum, Sunyoto, dan
Zainuddin, mewawancarai saksi-saksi hidup, baik tokoh-tokoh yang turut dalam
operasi penumpasan, maupun para korban yang luput dari aksi pembantaian oleh
kaum komunis. Hasil wawancaranya mengungkap PKI memakan korban, khususnya kiai.
Salah satu yang menjadi sasaran adalah Pesantren Sabilul Muttaqien atau yang
lebih dikenal dengan Pesantren Takeran.
Bersamaan dengan kudeta terhadap pemerintah, pendukung PKI mengincar
tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran yang dianggap sebagai musuh utama mereka.
Sebab, Pesantren Takeran pimpinan Kiai Imam Mursjid Muttaqien yang masih
berusia 28 tahun itu adalah pesantren yang paling berwibawa di kawasan
Magetan..
Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari Jumat Pon, Kiai Hamzah dan
Kiai Nurun yang berasal dari Tulungagung dan Tegal Rejo berpamitan kepada Kiai
Imam Mursjid. Kepergian Kiai Hamzah dan Kiai Nurun ke Burikan itu ternyata
untuk yang terakhir kalinya. Sebab pada hari Sabtu Wage, 18 September 1948,
Pesantren Burikan diserbu oleh PKI, dan tokoh-tokoh pesantren serta para
santri, termasuk Kiai Hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren
tersebut, diseret ke Desa Batokan yang letaknya hanya 500 meter dari Pesantren
Burikan. Kiai Hamzah dan Kiai Nurun termasuk diantara para korban yang dibantai
oleh PKI di lubang pembantaian Batokan.
Seusai shalat Jumat tanggal 17 September 1948, Kiai Imam Mursjid didatangi
oleh tokoh-tokoh PKI. Muhammad Kamil kenal dengan beberapa orang di antara
tokoh PK yang datang itu, seperti Suhud dan Ilyas alias Sipit. “Sipit
sebenarnya santri Mas Imam Mursjid. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi PKI,”
ujar Kamil,salah seorang saksi mata.
Sipit sendiri, menurut Kamil, ketika itu dikenal sebagai kepala Takeran
yang kemana-mana selalu membawa senapan. Tetapi sejak jauh hari, Kiai Imam
Mursjid sudah mulai meragukan kesetiaan Sipit. Hal itu terungkap dari
pernyataan Kiai Imam Mursjid kepada Kamil tentang iktikad baik Sipit. “Waktu
itu saya sudah mengatakan bahwa Sipit tak bisa dipercaya lagi, sebab Sipit
sudah tak sembahyang lagi,” ujar Kamil mengingat-ingat.
Waktu didatangi oleh tokoh-tokoh PKI, Kiai Imam Mursjid diajak keluar dari
mushalla kecil di sisi rumah Kamil. Menurut Kamil, Kiai Imam Mursjid akan
diajak bermusyawarah mengenai Republik Soviet Indonesia dengan PKI-nya.
Keberangkatan Kiai Imam Mursjid bersama orang-orang PKI itu tentu saja
merisaukan warga pesantren, sebab warga pesantren tak menduga bahwa Kiai Imam
Mursjid akan menurut begitu saja diajak berunding oleh PKI.
Kiai Zakaria, salah seorang saksi yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam
Bersatu (JITU), yang saat kejadian masih jadi santri (13 tahun) di pesantren
Sabilil Muttaqin, bercerita: “Salah satu pendiri pesantren Sabilil Muttaqin,
Kiai imam mursyid didatangi oleh Suhud. Suhud adalah seorang camat PKI.
Mobilnya hitam. Di sisinya, berdiri dua orang yang satu membawa standgun dan
satu lagi membawa karaben. Di hadapan santri-santri, Suhud membaca, ‘innallaha
laa yughoyyiruma bi koumin hatta laa yughoyyiruma bin anfusihim’. Jadi dia
itu mau melakukan perubahan di Indonesia. Lalu Kiai Imam Mursyid diculik
olehnya. Kata Suhud, pak Kiai mau diajak berunding. Pak Kiai dibawa ke sana
(sambil menunjuk arah Gorang Gareng). Tapi sampai sekarang tidak ada datanya
dimana beliau disedani (dibunuh).”
Waktu itu para santri di Takeran berkumpul dengan perasaan was-was terhadap
rencana kepergian kiai mereka bersama PKI. Setelah Suhud menenangkan suasana
dngan dalilnya, di depan pendapa pesantren Kiai Imam Mursjid dinaikkan ke
mobil. Tetapi sebelum mobil berangkat, Imam Faham, saudara sepupu Kiai Imam
Mursjid sekaligus santri yang setia, meminta kepada PKI agar diperkenankan ikut
naik mobil mendampingi pemimpinnya. Permohonan Imam Faham itu dikabulkan oleh
PKI dan mereka pun meluncur keluar kawasan pesantren.
Iskan, salah seorang saksi mata, juga menyatakan bahwa Pesantren Takeran
sudah dikepung oleh ratusan orang PKI. “Setelah Mas Imam Mursjid dibawa
dengan mobil, saya melihat orang-orang PKI sudah berdiri melingkari pesantren.
Mereka rata-rata berpakaian hitam dengan memakai ikat kepala merah dan
bersenjata,” ujar Iskan sambil menitikkan air mata mengenang gurunya yang
sangat dipatuhi itu.
Menurut Iskan, sebelum itu pihak PKI memang sudah mengancam, jika Kiai Imam
Mursjid tak mau menyerah dan mendukung mereka, maka pesantren akan
dibumihanguskan. Mungkin, menurut Iskan, apabila Jumat itu Kiai Imam Mursjid
tak berhasil dibawa PKI, bisa dipastikan pesantren akan dibakar dan dengan
demikian korban akan sangat besar. Iskan menduga, Kiai Imam Mursjid mau ikut
PKI untuk menghindari terjadinya korban yang lebih besar di antara para
pengikutnya.
Pada hari Minggu Kliwon, 19 September 1948, kurir PKI yang lain datang lagi
menyampaikan pesan bahwa Kiai Imam Mursjid belum bisa pulang. Malah mereka
mengatakan perundingan tersebut membutuhkan kehadiran Kiai Muhammad Noer,
sepupu Kiai Imam Mursjid yang selama itu ikut memimpin Pesantren Takeran.
“Waktu itu mereka mengatakan bahwa Mas Imam Nursjid baru bisa pulang kalau Kiai
Muhammad Noer datang menjemput,” kata Kamil.
Kiai Muhammad Noer, begitu mendengar pesan dari kurir tersebut, diam-diam
mendatangi markas PKI di Gorang Gareng, 6 kilometer di sebelah barat Takeran.
Tapi di tengah jalan, ia ditangkap PKI dan sempat ditawan di sebuah tempat di
Takeran. Kurir PKI berulang kali datang lagi ke pesantren setelah Kiai Muhammad
Noer dibawa ke Gorang Gareng. Dia mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai
Muhammad Noer baru bisa kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai
Imam Mursjid yang juga sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
PKI mengatakan bahwa Kiai Imam Mursjid dan Kiai Muhammad Noer baru bisa
kembali setelah Ustadz Muhammad Tarmudji, adik Kiai Imam Mursjid yang juga
sebagai tokoh pemuda, datang menjemput ke Gorang Gareng.
Mendapat informasi seperti itu, Tarmudji secepatnya menyelamatkan diri.
Apalagi dia juga diberi tahu bahwa dialah yang mendapat giliran dicari PKI.
Meskipun tak menemukan Tarmudji, PKI terus menangkapi tokoh-tokoh pesantren
seperti Ustadz Ahmad Baidawy, Muhammad Maidjo, Rofi’i, Tjiptomartono, Kadimin,
Reksosiswojo, Husein, Hartono, dan Hadi Addaba’. Yang terakhir ini adalah guru
pesantren yang didatangkan dari Al-Azhar, Kairo (Mesir). Saat itu, Pesantren
Takeran memang sangat terkenal dan muridnya datang dari berbagai daerah
termasuk dari luar Jawa.
Mereka itu akhirnya memang tak pernah kembali. Bahkan sebagian besar
ditemukan sudah menjadi mayat di lubang-lubang pembantaian PKI yang tersebar di
berbagai tempat di Magetan. Bahkan hingga tahun 1990, mayat Kiai Imam Mursjid
tak kunjung ditemukan. Dari daftar korban yang dibuat PKI sendiri -daftar ini
ditemukan oleh pasukan Siliwangi-, nama Kiai Imam Mursjid tak ada.
Pembantaian di
sumur tua Cigrok
Di Desa Cigrok, sebelah selatan Takeran, terdapat sumur tua yang digunakan
PKI sebagai tempat pembuangan korban-korbannya. Sumur tua Cigrok ini terletak
di belakang rumah To Teruno, seorang warga yang sebenarnya bukan orang PKI.
Justru dialah yang melaporkan kegiatan PKI di sumurnya itu kepada Kepala
Desanya. Di dekat rumah To Teruno, tinggal pula Muslim, seorang santri yang
menjadi saksi kebiadaban PKI dalam melakukan pembantaian di sumur tua itu tahun
1948.
Muslim menceritakan pada malam terjadinya penjagalan itu, semua orang tak
berani keluar rumah. Malam itu, dia mendengar suara bentakan Surat, pimpinan
PKI yang berasal dari Desa Petungredjo. Dia juga mendengar suara orang menjerit
histeris karena dianiaya. Muslim, yang diam-diam mengintip melalui lubang dari
rumahnya, melihat gerak-gerik orang-orang PKI itu dalam keremangan malam.
Muslim dapat mengenali salah satu korban yang mengumandangkan adzan dari dalam
sumur. Suara itu, menurutnya adalah suara K.H. Imam Sofwan dari Pesantren
Kebonsari.
Achmad Idris, tokoh Masyumi di Desa Cigrok yang ketika itu sudah ditawan
PKI, menyaksikan penjagalan biadab PKI dari kejauhan. Meskipun sayup-sayup, dia
sangat mengenal suara adzan K.H. Imam Sofwan yang mengumandang dari dalam sumur
itu, sebab Idris sering mendengarkan pengajian-pengajian K.H. Imam Sofwan.
Menurut Idris, pembantaian oleh PKI di sumur Cigrok itu tak dilakukan
dengan senapan atau Klewang, akan tetapi dengan pentungan. Idris mengungkapkan
para tawanan dengan tangan terikat dihadapkan ke arah timur sumur satu demi
satu. Kemudian, seorang algojo PKI menghantamkan pentungan ke bagian belakang
tiap tawanan tersebut.
Waktu itu, Idris mengenang, ada tawanan yang segera setelah dihantam
langsung menjerit dan roboh ke dalam sumur. Tetapi ada pula yang setelah
dihantam, masih kuat merangkak sambil melolong-lolong kesakitan. Tangan mereka
menggapai-gapai mencari pegangan. Melihat para korban merangkak seperti itu,
orang-orang PKI kemudian menyeret begitu saja dan memasukkan mereka hidup-hidup
ke dalam sumur. K.H. Imam Sofwan, menurut Idris, termasuk yang tak meninggal
setelah dihantam. Hal serupa juga dialami oleh kedua putra beliau, yakni Kiai
Zubair dan Kiai Bawani, yang dibantai di sumur tua Desa Kepuh Rejo, tak jauh
dari sumur Cigrok.
Orang-orang PKI yang melihat bahwa ternyata ada korban yang masih hidup di
dalam sumur, sama sekali tak peduli. Mereka lantas langsung menimbuni sumur
tersebut dengan jerami, batu, dan tanah. Karena itu, ada pernyataan yang
menyebutkan bahwa korban pemberontakan PKI tahun 1948 sebenarnya dikubur
hidup-hidup. Muslim mengatakan, pada pagi hari seusai pembantaian dia mendapati
lanjaran (rambatan) kacang dan jerami di kebunnya sudah habis. “Rupanya
orang-orang PKI membabat semua itu untuk menimbuni sumur,” tutur Muslim yang
diancam oleh PKI agar tutup mulut.
Yang dimasukkan ke lubang pembantaian Cigrok paling sedikit berjumlah 22
orang. Di antara para korban itu, ada K.H. Imam Sofwan, Hadi Addaba’ dan Imam
Faham. Hadi Addaba’ sendiri adalah guru dari Mesir yang ditugaskan mengajar di
Pesantren Takeran. Sementara Imam Faham adalah santrinya K.H. Imam Mursjid yang
ikut mengiringi K.H. Imam Mursjid ketika dibawa mobil PKI. Tetapi rupanya di
tengah jalan kiai dan pengawalnya itu dipisah. Imam Faham diturunkan di tengah
jalan dan akhirnya ditemukan di dalam lubang pembantaian Cigrok.
Kisah lainnya, pada hari Senin Legi, 20 September 1948, tiba-tiba datang
sebuah truk yang berisi orang-orang PKI baik laki-laki, maupun perempuan.
Seorang perempuan sekonyong-konyong berteriak keras kepada seluruh penduduk
Kauman. Dia mengatakan bahwa salah seorang anggota PKI telah mati terbunuh di
Kampung Kauman.
“Di atas truk memang ada mayat yang dibungkus kain dan hanya kelihatan
kakinya saja,” kata Parto Mandojo, yang ketika itu menjadi pengusaha mebel
makanan di Kauman. Dia menceritakan bahwa perempuan yang berteriak tadi
menginginkan ada penduduk Kauman yang mengakui telah membunuh salah seorang
anggota PKI. Namun tak satu pun penduduk Kauman yang mengakuinya karena mereka
memang tak merasa pernah membunuh satu orang pun. Akhirnya rombongan PKI pergi
meninggalkan ancaman akan membumihanguskan Kampung Kauman. Ini adalah taktik
licik ‘mencari pembunuh’ ala PKI, karena sebenarnya, ingin menjebak lawan-lawan
yang akan menghalangi pemberontakan mereka.
Pada hari Jumat Kliwon, 24 September 1948, PKI seperti kerumunan lebah yang
menyerbu Kampung Kauman. Rumah-rumah dibakar sehingga seluruh penghuni keluar
dari persembunyiannya. “Waktu itu seluruh warga laki-laki Kauman ditawan dan
digiring ke Masopati setelah tangan mereka ditelikung dan diikat dengan tali
bambu,” tutur Parto Mandojo.
Dalam aksi pembumihangusan Kampung Kauman itu, tak kurang dari 72 rumah
terbakar, dan sekitar 149 laki-laki digiring ke Maospati. Dari Maospati seluruh
tawanan dimasukkan ke dalam gudang pabrik rokok, kemudian diangkut dengan lori
milik pabrik gula ke kawasan Glodok. “Dari glodok kami dipindahkan ke Geneng
dan Keniten. Tetapi sebelum disembelih, kami berhasil diselamatkan oleh tentara
Siliwangi,” ujar Parto Mandojo tentang peristiwa mencekam itu.
Pembakaran Kampung Kauman pada dasarnya merupakan bagian dari aksi PKI
untuk memberangus pengaruh agama Islam di tengah masyarakat. Sebab, sebelum
aksi pembakaran itu, Madrasah Pesantren Takeran juga telah dibakar, beberapa
saat setelah Kiai Imam Mursjid tertawan. Pesantren Burikan pun tak luput dari
serbuan PKI. Kemudian para tokoh-tokoh pesantren seperti Kiai Kenang, Kiai
Malik, dan Muljono dibantai di Batokan. Korban lain dari kalangan ulama yang
dibantai oleh PKI adalah keluarga Pesantren Kebonsari, Madiun.
Achmad Daenuri, putra K.H. Sulaiman Zuhdi Affandi dari pesantren Mojopurno,
menceritakan bahwa ayahnya adalah putra sulung Kiai Kebonsari. Menurut Daenuri,
ayahnya ditangkap oleh PKI, bersamaan dengan ditangkapnya bupati Magetan.
Sementara adik kandung ayahnya, K.H. Imam Sofwan yang menjadi pimpinan
Pesantren Kebonsari, ditangkap PKI bersama dengan dua putranya yakni Kiai
Zubair dan Kiai Bawani. “Jadi setelah pemberontakan itu meletus,
pesantren-pesantren sudah benar-benar kehilangan pimpinan,” simpul Daenur.
Pak Kafrawi, saksi penyerbuan PKI di Ponpes Gontor. |
Di Pondok Pesantren Gontor, PKI juga menyebarkan terornya, Seperti
dituturkan oleh Kafrawi, saksi hidup yang diwawancarai Tim Jurnalis Islam
Bersatu (JITU), yang saat kejadian, masih jadi santri di Pesantren Gontor,
Ponorogo. Ketika itu pesantren Gontor dikuasai dan diancam oleh PKI. Banyak
orang PKI berpakaian hitam-hitam datang ke Gontor, lalu mengancam. “Kalau tidak
mau menyerah, kita akan habiskan besok dan akan kita duduki,” katanya. Oleh
kiai, Kafrawi dan anak-anak kecil lainnya disuruh mengosongkan Gontor dan
pindah ke timur Tulung Agung. Di Gontor hanya tersisa ibu-ibu. Ia dan enam
orang beserta anaknya yang masih kecil-kecil, lalu berjalan menuju timur. Di
perjalanan, mereka ketahuan PKI. Ditawanlah mereka. “Akhirnya ditawan di
tulung, anak gontor itu sekitar 50, dan digiring lagi ke gontor setelah di
pulung berapa minggu menjadi tawanan. Pak Jahal (pengajar pesantren gontor) dan
terutama yang senior dibawa ke Ponogoro lebih dulu, dan dimasukan ke penjara
dekat masjid Muhammadiyah. Semua dibunuh kecuali Pak Jahal,” cerita Kafrawi.
Berbagai peristiwa biadab tersebut, sebetulnya menjelaskan bahwa
pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, bukanlah membela diri seperti yang
digaung-gaungkan Aidit. Jika hanya membela diri mengapa mereka membantai para
kiyai dan santrinya yang tak bersalah dan tak ikut dalam konflik, secara
sistematis?
0 Comment for "Pemberontakan PKI Madiun 1948: Pembantaian Ulama dan Santri"