Larangan Mencela Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

“Muhammad adalah Rasul Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras dan tegas terhadap orang-orang kafir dan bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama mereka.” (QS. al-Fath [48] : 29)


Mencela para sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kalangan Syi’ah Rafidhah merupakan dosa yang sangat besar. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ .

“Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai satu mud pun dari (kebaikan) mereka atau bahkan tidak pula separuhnya.”[1]

Hadits ini secara tegas melarang kita mencela sahabat Nabi. Larangan dalam hadits di atas sifatnya mutlak artinya berlaku bagi seluruh sahabat Nabi, jika seseorang mencela salah satu sahabat Nabi saja maka hukumnya adalah haram. Termasuk di dalamnya adalah semua bentuk celaan dan sindiran negatif yang ditujukan kepada mereka atau salah seorang dari mereka. Sebab, mencela sahabat Nabi, berarti secara tidak langsung telah menyakiti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada beberapa alasan mengapa kita dilarang keras untuk mencela para sahabat Nabi, diantaranya adalah:

  • Terdapat dalil larangan yang melarang untuk mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ .

“Janganlah mencela sahabatku! Janganlah mencela sahabatku! Maka demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka hal itu tidak akan menyamai satu mud pun dari (kebaikan) mereka atau bahkan tidak pula separuhnya.”[2]

  • Mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk ghibah yang haram.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

“Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”[3]

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”[4]

  • Allah subhanahu wa ta’ala melaknat seorang yang mencela sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Barangsiapa mencela salah satu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan melaknat orang tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barangsiapa mencela sahabatku, maka dia akan mendapatkan laknat Allah.[5]

  • Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhai para sahabat.

Allah subhanahu wa ta’ala telah meridhai para sahabat, maka mencela para sahabat menunjukan ketidakridhaan kepada mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sungguh Allah telah meridhai kaum mukminin ketika mereka memba’iatmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).[6]

  • Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk memohonkan ampun bagi para sahabat, bukan mencelanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang.[7]

Mengenai ayat di atas, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada keponakannya yaitu Urwan bin az-Zubair radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ

“Wahai keponakanku, mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka justru mencacinya.”[8]

            Mengenai perkataan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas, al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata:

الظاهر أنها قالت هذا عندما سمعت أهل مصر يقولون في عثمان ما قالوا ، وأهل الشام في علي ما قالوا ، والحرورية في الجميع ما قالوا ، وأما الأمر بالاستغفار الذي أشارت إليه فهو قوله تعالى : وَٱلَّذِينَ جَاءوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلإيمَانِ

“Tampaknya, beliau menyatakan mengenai hal ini ketika penduduk Mesir mencela ‘Utsman dan penduduk Syam mencela ‘Ali, sedangkan al-Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala, وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِDan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.[9][10]

Demikianlah pembahasan mengenai alasaan mengapa kita dilarang untuk mencela para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahaminya dan menjauhkan kita dari sifat ini. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ


[1] HR. Muslim no. 2540
[2] HR. Muslim no. 2540
[3] QS. al-Hujurat [49] : 12
[4] QS. al-Ahzab [33] : 58
[5] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1001
[6] QS. al-Fath [48] : 18
[7] QS. al-Hasyr [59] : 10
[8] HR. Muslim no. 3022
[9] QS. al-Hasyr [59] : 10
[10] Syarh Shahih Muslim, Juz 18 hal. 158


Referensi

  • al-Qur’an al-Kariim.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu Bakar bin Abi ‘Ashim adh-Dhahhak bin Mukhlad asy-Syaibani. Kitab as-Sunnah wa Ma'ah Zhilal al-Jannah fii Takhrij as-Sunnah. 1400 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • al-Imam Abu Zakariyyah Yahya bin Syaraf an-Nawawi. al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. 1347 H. al-Mathba'ah al-Mishriyyah bi al-Azhar Kairo.

0 Comment for "Larangan Mencela Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top