Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Sahabat adalah seseorang yang pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.” (al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Juz 1 hal. 8)


Kembali melanjutkan pembahasan kitab Matan Safinah an-Najah karya asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas mengenai siapakah sahabat  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. asy-Syaikh Salim bin Sumair al-Hadhrami rahimahullah berkata dalam Muqadimah Matan Safinah an-Najah:

بسم الله الرحمن الرحيم .
الحمد لله رب العالمين ، وبه نستعين على أمور الدنيا والدين ، وصلى الله وسلم على سيدنا محمد خاتم النبيين ، وآله وصحبه أجمعين ، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم .

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji milik Allah Rabb semesta alam. Dengan-Nya kami meminta pertolongan dalam urusan dunia dan agama. Semoga shalawat dan salam Allah atas tuan kita Muhammad penutup para Nabi, keluarganya, dan Sahabatnya semua. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia.”[1]

(وصحبه أجمعين)

asy-Syaikh Nawawi al-Bantani rahimahullah berkata:

وصحبه وهو من اجتمع مؤمنا بالنبي صلى الله عليه وسلم بعد الرسالة ولو قبل الأمر بالدعوة في حال حياته اجتماعا متعارفا بأن يكون في الأرض ولو في ظلمة أو كان أعمى وإن لم يشعر به ، أو كان غير مميز أو مارا أحدهما على الآخر ولو نائما أو لم يجتمع به ، لكن رأى النبي أو رآه النبي ولو مع بعد المسافة ولو ساعة واحدة .

“(Dan para sahabatnya) Dan sahabat adalah orang yang berkumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman setelah risalah, walaupun sebelum ada perintah untuk berdakwah, pada saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, dengan berkumpul yang saling mengenal, dengan sekiranya keadaan berkumpulnya di bumi, walaupun dalam kegelapan, atau keadaan orang tersebut buta, meskipun ia tidak merasakan dengan (ciri fisik) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau keadaan orang tersebut belum mumayyiz, atau sebagai orang yang melintas (sekejap) salah satu dari kedua orang itu atas orang yang lainnya, walaupun dalam keadaan tertidur, atau ia tidak berkumpul dengan Nabi, akan tetapi ia melihat Nabi, atau Nabi melihat kepadanya, walaupun disertai dengan jauhnya jarak, walaupun hanya sesaat.”[2]

as-Sayyid Ahmad bin Umar asy-Syathiri rahimahullah berkata:

وصحبه هم الذين اجتمعوا به صلى الله عليه وسلم مؤمنين به في الأرض في حياته بعد النبوة .

“(Dan sahabatnya) mereka adalah seseorang yang berkumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka bumi pada saat masih hidup setelah nubuwah.”[3]

أجمعين توكيد لما قبله أي كلهم .

“(Ajma’in) merupakan penekanan dari kata-kata sebelumnya yaitu semuanya (keluarga dan sahabat).”[4]

al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:

الصحابي أنه من لقي النبي صلى الله عليه و سلم مؤمنا به و مات على الإسلام .

“Sahabat adalah seseorang yang pernah bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam.”[5]

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seseorang yang berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun hanya sesaat dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman dan derajat masing-masing ditentukan menurut jangka waktunya menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan seseorang yang tak pernah berjumpa dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun dia beriman kepadanya ketika hidup dan meninggal dalam keadaan beriman maka dia bukanlah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun masuk kategori saudara kaum Mukminin. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pekuburan. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ .

“Salam kesejahteraan atas kalian, wahai penghuni perkampungan kaum Mukminin. Dan aku Insya Allah akan menyusul kalian. Sungguh aku sangat merindukan untuk bertemu dengan saudara-saudara kita.” Para sahabat pun bertanya, ”Bukankah kami ini saudara-saudaramu?” Beliau menjawab, “Kalian adalah para sahabatku, sedangkan saudara-saudara kita adalah mereka yang datang kemudian.”[6]

Sedangkan seseorang yang mengaku bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat, maka ini terbagi menjadi dua. Pertama, jika orang tersebut bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam mimpi dan ciri-ciri dalam mimpi adalah sesuai dengan ciri-ciri fisik yang telah diketahui dalam syama’il (sifat dan perangai) beliau, maka mimpi itu adalah benar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بي

“Barangsiapa melihatku dalam mimpi maka dia benar benar telah melihatku, karena syaithan tidak mampu menyerupaiku.”[7]

Jika tidak sesuai dengan syama’il (sifat dan perangai) beliau, maka hal itu adalah mimpi yang bathil dan merupakan permainan setan terhadap manusia, karena dia mengamuflasekan dirinya dengan suatu rupa yang dianggap oleh orang yang bermimpi bahwa rupa tersebut adalah rupa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setan bahkan mampu berkamuflase dan mengaku sebagai Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyesatkan manusia, sebagaimana yang pernah terjadi kepada asy-Syaikh Abdul Qadir al-Jailani rahimahullah, namun karena ketauhidan beliau maka setan tidak mampu menggodanya.

Kedua, jika orang tersebut menyatakan bahwa dia bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terjaga setelah beliau wafat sebagaimana yang biasa lazim terjadi di kalangan orang-orang sufi, maka dia adalah pendusta besar. Mengenai perkara ini, al-Imam al-Qasthalani rahimahullah berkata:

وأما رؤيته- صلى الله عليه وسلم- فى اليقظة بعد موته- صلى الله عليه وسلم- فقال شيخنا: لم يصل إلينا ذلك عن أحد من الصحابة، ولا عن من بعدهم. وقد اشتد حزن فاطمة عليه- صلى الله عليه وسلم- حتى ماتت كمدا بعده بستة أشهر- على الصحيح- وبيتها مجاور لضريحه الشريف، ولم ينقل عنها رؤيته فى المدة التى تأخرت عنه

“Adapun melihat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam keadaan terjaga (tidak tidur) setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, maka guru kami (yaitu al-Imam as-Sakhawi rahimahullah) berkata: “Tidaklah sampai kepada kami hal tersebut dari seorang pun dari kalangan para sahabat Nabi, dan juga dari kalangan setelah para sahabat. Dan sungguh telah berat kesedihan Fathimah atas wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, sampai-sampai Fathimah -setelah enam bulan menurut pendapat yang shahih- akhirnya meninggal karena kesedihan yang amat parah. Padahal rumahnya berdekatan dengan kuburan Nabi yang mulia, akan tetapi tidak dinukilkan dari Fathimah bahwa beliau melihat Nabi di masa enam bulan tersebut.”[8]

Jika para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang merupakan manusia terbaik dari umat ini yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak pernah bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat, apalagi seseorang yang jauh masanya dari beliau sebagaimana sering kita dengar dari ucapan orang-orang sufi? Allahu musta’an.

Mengenai kedudukan orang-orang yang mengaku pernah bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan bermimpi walaupun mimpinya adalah benar, maka hal tersebut tidak menjadikan orang tersebut sebagai sahabat Nabi. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ



[1] Matan Safinah an-Najah, hal. 15
[2] Kasyifah as-Saja’, hal. 32
[3] Nail ar-Raja’, hal. 7
[4] Nail ar-Raja’, hal. 8
[5] al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, Juz 1 hal. 8
[6] HR. Muslim no. 249
[7] HR. al-Bukhari no. 6993 dan Muslim no. 2266
[8] al-Mawahib al-Laduniyah bi al-Minah al-Muhammadiyah, Juz 2 hal. 669


Referensi

  • al-Hafizh Abu Fadhl Syihab ad-Din Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani. al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah. 1415 H. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beirut.
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
  • al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani. al-Mawahib al-Laduniyah bi al-Minah al-Muhammadiyah. 1425 H. al-Maktab al-Islami Beirut.
  • as-Sayyid Ahmad bin Umar asy-Syathiri. Nail ar-Raja’ bi Syahr Safinah an-Naja’. 1392 H. Mathba’ah al-Madani Kairo.
  • asy-Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi. Kasyifah as-Saja Syarh Safinah an-Naja. 1432 H. Dar Ibn Hazm Beirut.
  • asy-Syaikh Salim bin Sumair al-HadhramiMatan Safinah an-Najah fii Maa Yajibu ‘Ala al-Abdi li Maulah. 1430 H. Dar Ibn Hazm Beirut.

2 Comment for "Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam"

tafadhol di copas, tapi jangan lupa sertakan link sumbernya sebagai amanat ilmiah

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top