“Bahwa manusia
tidak akan mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (QS.
An-Najm [53] : 39)
Kita biasa saksikan di
tengah-tengah masyarakat kita mengenai tradisi kirim pahala. Dalam do’a mereka
katakan, “Ilaa hadhrati ‘fulan’, al-fatihaah”. Bagaimanakah pandangan
Islam tentang hal ini? Apakah amalan semacam itu diajarkan dalam Islam? Apa
hukum menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada mayit? Apakah pahalanya sampai?
Sebelumnya kita perlu memahami
bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan hamba, ibadah dibagi menjadi 3:
·
Pertama, ibadah murni badaniyah, itulah semua
ibadah yang modal utamanya gerakan fisik. Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan,
membaca Al-Quran dan lainnya.
·
Kedua, ibadah murni maliyah. Semua ibadah yang
pengorbanan utamanya harta. Seperti zakat, infaq, sedekah dan lainnya.
·
Ketiga, ibadah badaniyah maliyah. Gabungan antara
ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau
umrah.
Ulama sepakat bahwa semua
ibadah yang bisa diwakilkan, seperti ibadah maliyah atau yang dominan maliyah,
seperti sedekah, atau haji, atau ibadah yang ditegaskan bisa diwakilkan,
seperti puasa, maka semua bisa dihadiahkan kepada mayit.
Syaikhul Islam Zakariya
Al-Anshari rahimahullah berkata:
وينفعه
أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع وغيره
“Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang
lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama.” (Fathul Wahhab, Jilid
2 hal. 31)
Keterangan lain disampaikan oleh
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah,
beliau berkata:
أما
الدعاء والاستغفار والصدقة وقضاء الدين وأداء الواجبات فلا نعلم فيه خلافاً إذا
كانت الواجبات مما يدخله النيابة
“Doa, istighfar, sedekah, melunasi utang,
menunaikan kewajiban (yang belum terlaksana), bisa sampai kepada mayit. Kami
tidak tahu adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, apabila kewajiban itu
bisa diwakilkan.” (Asy-Syarhul Kabir, Jilid 2 hal. 425)
Sementara itu, ulama berbeda
pendapat untuk hukum mengirim pahala ibadah yang tidak bisa diwakilkan kepada
mayit, seperti bacaan Al-Quran. Kita akan sebutkan secara ringkas.
Pertama, Madzhab Hanafi
Ulama hanafiyah menegaskan
bahwa mengirim pahala bacaan Al-Quran kepada mayit hukumnya diperbolehkan.
Pahalanya sampai kepada mayit, dan bisa bermanfaat bagi mayit. Ulama besar
Madzhab Hanafi Imam Ibnu Abil Izz rahimahullah berkata:
إن الثواب
حق العامل، فإذا وهبه لأخيه المسلم لم يمنع من ذلك، كما لم يمنع من هبة ماله له في
حياته، وإبرائه له منه بعد وفاته. وقد نبه الشارع بوصول ثواب الصوم على وصول ثواب
القراءة ونحوها من العبادات البدنية
“Sesungguhnya pahala adalah hak orang yang
beramal. Ketika dia hibahkan pahala itu kepada saudaranya sesama muslim, tidak
jadi masalah. Sebagaimana dia boleh menghibahkan hartanya kepada orang lain
ketika masih hidup. Atau membebaskan tanggungan temannya muslim, yang telah
meninggal. Syariat telah menjelaskan pahala puasa bisa sampai kepada mayit,
yang itu mengisyaratkan sampainya pahala bacaan Al-Quran, atau ibadah badaniyah
lainnya.” (Syarh Aqidah Thahawiyah, Jilid 1 hal. 300)
Kedua, Madzhab Maliki
Imam Malik bin Anas rahimahullah
menegaskan, bahwa menghadiahkan pahala amal kepada mayit hukumnya dilarang dan
pahalanya tidak sampai, dan tidak bermanfaat bagi mayit. Sementara sebagian
ulama malikiyah membolehkan dan pahalanya bisa bermanfaat bagi mayit.
Dalam Minah Al-Jalil, Imam
Syihabuddin Al-Qarrafi rahimahullah membagi ibadah menjadi tiga:
1. Ibadah
yang pahala dan manfaatnya dibatasi oleh Allah, hanya berlaku untuk pemiliknya.
Dan Allah tidak menjadikannya bisa dipindahkan atau dihadiahkan kepada orang
lain. Seperti iman, atau tauhid.
2. Ibadah
yang disepakati ulama, pahalanya bisa dipindahkan dan dihadiahkan kepada orang
lain, seperti ibadah maliyah.
3. Ibadah
yang diperselisihkan ulama, apakah pahalanya bisa dihadiahkan kepada mayit
ataukan tidak? Seperti bacaa Al-Quran. Imam Malik dan Imam Syafii melarangnya.
(Minan Al-Jalil, Jilid 1 hal. 509)
Selanjutnya Imam Syihabuddin Al-Qarrafi
rahimahullah menyebutkan dirinya lebih menguatkan pendapat yang
membolehkan. Beliau menyatakan:
فينبغي
للإنسان أن لا يتركه، فلعل الحق هو الوصول، فإنه مغيب
“Selayaknya orang tidak meninggalkannya. Bisa jadi
yang benar, pahala itu sampai. Karena ini masalah ghaib.” (Minan Al-Jalil, Jilid
7 hal. 499)
Ada juga ulama malikiyah yang
berpendapat bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran tidak sampai
kepada mayit. Hanya saja, ketika yang hidup membaca Al-Quran di dekat mayit
atau di kuburan, maka mayit mendapatkan pahala mendengarkan bacaan Al-Quran.
Namun pendapat ini ditolak oleh Al-Qarrafi rahimahullah karena mayit
tidak bisa lagi beramal. Karena kesempatan beramal telah putus (Inqitha’
At-Taklif). (Minan Al-Jalil, Jilid 1 hal. 510)
Ketiga, Madzhab Syafi’i
Pendapat yang masyhur dari Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau melarang menghadiahkan bacaan
Al-Quran kepada mayit dan itu tidak sampai.
Imam Abu Zakariyya An-Nawawi rahimahullah
berkata:
وأما
قراءة القرآن، فالمشهور من مذهب الشافعي، أنه لا يصل ثوابها إلى الميت، وقال بعض
أصحابه: يصل ثوابها إلى الميت
“Untuk bacaan Al-Quran, pendapat yang masyhur
dalam Madzhab Asy-Syafi’i, bahwa itu tidak sampai pahalanya kepada mayit.
Sementara sebagian ulama syafi’iyah mengatakan, pahalanya sampai kepada mayit.”
(Syarh Shahih Muslim, Jilid 1 hal. 90)
Salah satu ulama syafi’iyah
yang sangat tegas menyatakan bahwa itu tidak sampai adalah Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala
di surat An-Najm,
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan
mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (QS. An-Najm [53] :
39)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata:
ومن وهذه
الآية الكريمة استنبط الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء
ثوابها إلى الموتى؛ لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan
ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran
tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit maupun hasil
kerja mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7 hal. 465)
Selanjutnya, Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dan alasan yang mendukung
pendapatnya.
Keempat, Madzhab Hambali
Dalam Madzhab Hambali, ada dua
pendapat. Sebagian ulama hambali membolehkan dan sebagian melarang, sebagaimana
yanng terjadi pada Madzhab Maliki. Ada 3 pendapat ulama Madzhab Hambali dalam
hal ini:
1. Boleh
menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada mayit dan itu bisa bermanfaat bagi
mayit. Ini pendapat yang mayhur dari Imam Ahmad.
2. Tidak
boleh menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada mayit, meskipun jika ada
orang yang mengirim pahala, itu bisa sampai dan bermanfaat bagi mayit.
Al-Buhuti menyebut, ini pendapat mayoritas hambali.
3. Pahala
tetap menjadi milik pembaca (yang hidup), hanya saja, rahmat bisa sampai ke
mayit.
Imam Manshur Al-Buhuti rahimahullah
berkata:
وقال
الأكثر لا يصل إلى الميت ثواب القراءة وإن ذلك لفاعله
“Mayoritas hambali mengatakan, pahala bacaan Al-Quran
tidak sampai kepada mayit, dan itu milik orang yang beramal.” (Kasyaf Al-Qana’,
Jilid 2 hal. 147)
Sementara Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
rahimahullah berkata:
وأي
قربة فعلها وجعل ثوابها للميت المسلم نفعه ذلك
“Ibadah apapun yang dikerjakan dan pahalanya
dihadiahkan untuk mayit yang muslim, maka dia bisa mendapatkan manfaatnya.” (Asy-Syarhul
Kabir, Jilid 2 hal. 425)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah
juga menyebutkan pendapat ketiga dalam Madzhab Hambali:
وقال
بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو اهدي إليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت
كأنه حاضرها فترجى له الرحمة
“Ada sebagian ulama hambali mengatakan, jika
seseorang membaca Al-Quran di dekat mayit, atau menghadiahkan pahala untuknya,
maka pahala tetap menjadi milik yang membaca, sementara posisi mayit seperti
orang yang hadir di tempat bacaan Al-Quran. Sehingga diharapkan dia mendapat
rahmat.” (Asy-Syarhul Kabir, Jilid 2 hal. 426)
Menimbang Pendapat
Seperti yang disampaikan oleh Imam
Syihabuddin Al-Qarrafi rahimahullah, bahwa kajian masalah ini termasuk
pembahasan masalah ghaib. Tidak ada yang tahu sampainya pahala itu kepada
mayit, selain Allah. Kecuali untuk amal yang ditegaskan dalam dalil, bahwa itu
bisa sampai kepada mayit, seperti doa, permohonan ampunan, sedekah, bayar utang
zakat, atau utang sesama mannusia, haji, dan puasa.
Sementara bacaan Al-Quran,
tidak ada dalil tegas tentang itu. Ulama yang membolehkan mengirimkan pahala
bacaan Al-Quran kepada mayit mengqiyaskan (analogi) bacaan Al-Quran dengan
puasa dan haji. Sehingga kita berharap pahala itu sampai, sebagaimana pahala
puasa bisa sampai.
Sementara ulama yang melarang
beralasan, itu ghaib dan tidak ada dalil. Jika itu bisa sampai, tentu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat akan sibuk mengirim pahala
bacaan Al-Quran untuk keluaganya yang telah meninggal dunia.
Beberapa keluarga tercinta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti Khadijah, Hamzah, Zainab bintu
Khuzaimah (istri beliau), semua putra beliau, Qosim, Ibrahim, Ruqayyah, Ummu
Kultsum, dan Zainab, mereka meninggal sebelum wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Namun tidak dijumpai riwayat, beliau menghadiahkan
pahala bacaan Al-Quran untuk mereka.
Dalam hal menghadiahkan pahala
bacaan Al-Quran ini, penulis sendiri lebih cenderung kepada pendapat yang tidak
membolehkan sebagaimana yang diutarakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
dan juga ulama-ulama yang mengikuti pendapat beliau seperti Imam An-Nawawi rahimahullah
dan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, dengan dalil firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan
mendapatkan pahala kecuali dari apa yang telah dia amalkan.” (QS. An-Najm [53] :
39)
Saran
Bagi Ikhwah yang Suka Sesat Menyesatkan Saudaranya
Melihat perbedaan pendapat di
kalangan ulama tentang masalah menghadiahkan pahala amal badaniyah kepada
mayit, kita bisa menegaskan bahwa masalah ini termasuk masalah ikhtilaf
ijtihadiyah fiqhiyah, dan bukan masalah aqidah manhajiyah (prinsip beragama).
Sehingga berlaku kaidah, siapa yang ijtihadnya benar maka dia mendapatkan dua
pahala dan siapa yang ijtihadnya salah, mendapat satu pahala.
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash radlhyallahu
‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara,
lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu
perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”. (HR. Bukhari no. 7352
dan Muslim no. 4584)
Kaitannya dengan ini, ada satu
sikap yang perlu kita bangun, ketika kita bersinggungan dengan masalah yang
termasuk dalam ranah ijtihadiyah fiqhiyah, yaitu mengedepankan sikap dewasa,
toleransi dan tidak menjatuhkan vonis kesesatan. Baik yang berpendapat boleh
maupun yang berpendapat melarang.
Masing-masing boleh
menyampaikan pendapatnya berdasarkan alasan dan dalil yang mendukungnya.
Sekaligus mengkritik pendapat yang tidak sesuai dengannya. Sampai batas ini
dibolehkan.
Dan perlu dibedakan antara
mengkritik dengan menilai sesat orang yang lain pendapat. Dalam masalah
ijtihadiyah, mengkritik atau mengkritisi pendapat orang lain yang beda, selama
dalam koridor ilmiyah, diperbolehkan. Kita bisa lihat bagaiamana ulama yang
menyampaikan pendapatnya, beliau sekaligus mengkritik pendapat lain. Namun
tidak sampai menyesatkan tokoh yang pendapatnya berbeda dengannya.
Terkadang, orang yang kurang
dewasa, tidak siap dikritik, menganggap bahwa kritik pendapatnya sama dengan
menilai sesat dirinya. Dan ini tidak benar.
Semoga Allah menambahkan wawasan keislaman kepada kita semua. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Kirim Pahala Bacaan Al-Quran Untuk Mayit"