“Tiap-tiap
umat mempunya batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak
dapat mengulurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) memajukannya.” (QS.
Al-A'raf [7] : 34)
Tiada hal yang
dapat dihindari di dunia ini selain peristiwa kematian. Kepada setiap makhluk
yang bernyawa, dimana pun, kapan pun dan kepada siapa saja. Tua, muda,
anal-anak, laki-laki, perempuan. Semua makhluk Allah subhanahu wa ta'ala,
manusia, jin, hewan bahkan malaikat pun akan merasakan hal ini. Tiada kuasa dan
upaya yang dapat dilakukan, selain menerimanya dengan kesiapan yang mantap.
Begitu banyak
firman Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan perihal kematian. Sebab
mati merupakan rangkaian proses kehidupan. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ
“Segala sesuatu pasti akan binasa
kecuali Allah. Bagi-Nya segala penentuan, dan hanya kepada-Nya kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Qashash [28] : 88)
Kematian adalah
sesuatu yang niscaya datang. Setiap manusia pasti mengalaminya. Jika setiap
kita mau berpikir dan merenungkan sejenak saat-saat kematian itu, saat
berpisahnya ruh dari jasad, niscaya ia akan mempersiapkan diri sebaik mungkin,
mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya guna menyambut kematian.
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا
يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunya batas waktu,
maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengulurkannya barang
sesaat pun dan tidak (pula) memajukannya.” (QS. Al-A'raf [7] : 34)
Tidak ada yang
mampu membantu selain amal shalih kita. Ironisnya, sangat sedikit di antara
kita yang benar-benar menyadari dan selalu mengingat kematian tersebut. Siap ataukah
tidak siap, mau ataupun tidak mau menghadapi mati, malaikat maut pasti datang.
Seseorang yang tidak takut mengadapi kematian adalah orang mempersiapkan diri
menghadapi maut. Sehingga, hanya amal kebaikan dan perasaan rindu berjumpa
dengan Tuhannya saja yang dipupuknya. Sebaliknya, bagi orang yang takut mati,
kehidupan dunia tiada lain dimaknai sebagai kehidupan abadi baginya. Atau
mungkin, ia merasa tidak siap menghadapi kematian, lantaran tiada amal kebaikan
yang mestinya menjadi teman kala maut menjemput.
Banyak orang yang
lari dari kematian dan berusaha membebaskan pikirannya dari bayang-bayang maut
itu. Tentu hal ini adalah hal yang percuma. Karena mati adalah ibarat air, yang
semua orang mau tidak mau pasti meminumnya. Atau ibarat udara, semua orang
pasti menghirupnya. Kini, ia sedang dalam perjalanan untuk menghampiri kita dan
untuk itu dia tidak pernah memperlambat langkahnya, tidak juga mempercepatnya.
Mungkin karena peristiwa sakaratul maut yang menakutkan itu, saat-saat manusia
menghadapi datangnya ajal. Saat-saat itu manusia ditimpa rasa sakit yang amat
sangat, saat-saat penuh cobaan dan godaan, yang menentukan nasib manusia di
akan keabadian kelak, su'ul khatimahkah (mati dalam keadaan yang jelek) dia
ataukah husnul khatimahkah (meninggal dalam keadaan yang baik).
Sejatinya,
mengingat dan merenungi saat-saat itu saja, sebenarnya sudah membuat hati kita
bergetar. Tentu jika hati kita tajam, peka dan selalu peduli. Demikian hebatnya
saat sakaratul maut menghadang, sehingga Ibnu Abbas radhyiallahu ‘anhu pernah
berkata, "Penderitaan terakhir yang dijumpai seorang mukmin adalah
sakaratul maut."
Salah seorang Ulama
Salaf yakni Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
كَفَى بِالْمَوْتِ وَاعِظًا
“Cukuplah kematian sebagai pemberi
nasehat.” (Shifah Ash-Shafwah, Jilid 1 hal. 639. Adapun hadits Nabi shalallahu
‘alaihi wa sallam dengan lafal dimaksud maka tidak valid)
Ka`b rahimahullah
berkata, “Barangsiapa mengenal kematian, niscaya menjadi remehlah segala
musibah dan kegundahan dunia.” (Al-Ihya’ ‘Ulumuddin, Jilid 4 hal. 451)
Terkadang seseorang
menyadari tengah jauh dari-Nya, sehingga terpuruk dalam kehampaan jiwa yang
demikian menyakitkan, meskipun secara zahir dikelilingi oleh kenikmatan
duniawi. Ia ingin keluar dari kondisi tersebut, namun ia bingung untuk mencari
penawar yang praktis dan tepat. Mengingat kematian adalah kunci dari obat
rohani yang sangat efisien dan ampuh. Apapun bentuk kesenangan yang melenakan
dan menjauhkan dari-Nya, baik berupa harta, wanita, jabatan, anak-anak dan lain
sebagainya, seluruhnya akan terputus oleh kematian.
Salah satu penyebab
utama kerusakan kalbu yang menimpa banyak orang sehingga mereka terjerumus ke
dalam kubangan dosa dan maksiat adalah karena jauhnya mereka dari mengingat dan
menghayati kematian yang menanti di depan mereka. Karena itu Rabi` bin Abi
Rasyid rahimahullah berkata, “Sekiranya kalbuku terpisah sesaat saja
dari mengingat kematian, maka aku benar-benar khawatir kalbuku menjadi rusak.”
(Shifah Ash-Shafwah, Jilid 3 hal. 109)
Seorang wanita
pernah mendatangi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk mengeluhkan tentang
kekerasan kalbu. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Perbanyaklah
mengingat kematian, niscaya kalbu itu akan menjadi lembut (baik).”
‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz rahimahullah berkata, “Perbanyaklah mengingat kematian. Sekiranya
engkau hidup dalam kelapangan maka hal itu akan menyempitkanmu. Namun apabila
engkau hidup dalam kesempitan maka hal itu akan melapangkanmu.” (Al-Ihya’ ‘Ulumuddin,
Jilid 4 hal. 451)
Tidak cukupkah kematian
sebagai nasehat? Bayangkanlah ketika datangnya kematian dengan sekaratnya, alam
kubur dengan kesunyian dan kegelapannya, hari kebangkitan dengan detail
perhitungannya, serta Neraka dengan siksanya yang kekal atau Surga dengan kenikmatannya
nan abadi. Kita masih saja terperdaya oleh kelezatan dunia yang fana. Saat
kematian membawa kita ke kubur, adakah kenikmatan dunia yang masih terasa?
Semuanya musnah tak berbekas. Mana rumah yang megah, pakaian yang indah, wajah
yang rupawan, tubuh yang bagus, istri yang jelita, kekasih yang dicintai, anak
yang dibanggakan, jabatan yang tinggi dan kedudukan yang terhormat? Kita
terbenam dalam tanah. Di atas, bawah, kanan dan kiri kita hanyalah tanah. Tiada
kawan kecuali kegelapan yang sangat pekat, kesempitan dan serangga yang
menggerogoti daging kita. Kita benar-benar mengharapkan kumpulan amal shalih
yang mendampingi dan membantu kita, namun sayangnya harapan dan penyesalan
tidak lagi berguna. Kita menganggap kematian itu berada pada posisi yang sangat
jauh dari kita, padahal ia begitu dekatnya. Waktu berlalu bagaikan kedipan
mata. Masa kecil dan remaja bertahun-tahun yang lalu hanyalah bagai hari
kemarin, dan tanpa terasa kita telah berada di hari ini. Begitu pula yang akan
terjadi dengan esok hari. Sampai kemudian kematian tiba-tiba datang menjemput
kita untuk mengarungi sebuah perjalanan yang sangat penjang dan berat,
sementara kita belum memiliki bekal untuk itu, karena kesengajaan dan kelalaian
kita.
0 Comment for "Ketika Kematian Datang Menjemput"