“Leiden Is Lijden, Memimpin Itu
Menderita.” (K.H. Agus Salim rahimahullah)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah
disiksa oleh penguasa di zaman hidupnya dengan cara yang unik. Ia dipenjara
sendiri, tanpa teman, bertahun-tahun dan terus menerus digerogoti sepi. Tak ada
siksaan yang begitu dahsyat bagi pemikir selain situasi yang membuatnya tak
bisa berpikir atau tak mungkin menyampaikan pemikirannya. Toh, Ibnu Qayyim rahimahullah
tak pernah berhenti berpikir. Meski ia akhirnya meninggal dalam penjara yang
sepi.
Suatu ketika, Abdullah bin Ahmad rahimahullah,
anak dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah bercerita. Sebelum penjara
dan siksa mendera ayahnya, setiap hari ia biasa menjumpai imam mazhab fiqih itu
mendirikan shalat hingga 300 raka’at. Tapi setelah cambuk melemahkan
sendi-pendinya, "hanya" 150 raka’at yang ia dirikan setiap harinya.
Itu hanya satu dari kegiatannya. Kegiatan yang lain, ia meneliti ribuan hadits,
menelusuri satu persatu sanadnya dan kemudian merumuskan fatwa-fatwa yang
dibutuhkan umat kala itu. Saat ia meninggal, ratusan ribu manusia meruah di
Baghdad. Tak hanya Muslim, tapi juga Yahudi dan Nasrani. Mereka merasa
kehilangan seorang pemikir.
Kian tua zaman, seharusnya kian arif
penghuninya. Tapi apa boleh buat, tak selamanya pepatah benar adanya. Kian tua
zaman, yang terjadi justru kian tak banyak orang yang berpikir, apalagi memberi
fatwa. Terlalu banyak diantara kita yang lebih senang berpikir instant,
daripada berpikir dalam. Dan segala sesuatu yang bersifat instant begitu
diminati. Sebaliknya, keseriusan adalah melelahkan.
Ketika semua orang berebut tampuk
kepemimpinan, juga sebuah sign. Sebuah pertanda bahwa jangan lagi mengharap
keseriusan dan kedalaman. Sudah tak ada lagi. Sebab, tampaknya
pemimpin-pemimpin yang maju kini tak mengerti benar filosofi kepemimpinan.
Leiden is lijden, begitu kata K.H. Agus Salim rahimahullah. Memimpin
adalah menderita. Tapi kini yang ada adalah memimpin dan berbahagialah.
Lijden, derita adalah kata yang jauh
dari seorang pemimpin. Jangankan menderita, melayani pun mereka sudah lupa
caranya. Jika hari ini kita mendapati berpasang-pasang calon pemimpin
menampilkan diri, belum tentu mereka siap menderita juga melayani.
Jangan-jangan bagi mereka rakyat dan negara hanya berarti ekspolitasi. Sekali
lagi kita harus mengurut dada, karena ini sama sekali bukan pertanda bahwa kita
akan segera keluar dari kelangkaan imam yang akan memimpin kita dengan iman.
0 Comment for "Leiden Is Lijden, Memimpin Itu Menderita"