Bagaimana Kita Membaca Sejarah?

“Seseorang harus  mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan objektif, di samping akan mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi.  Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ul Fataawaa, XIX/203)


Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau, tentu saja kita mengklarifikasi riwayatnya terlebih dahulu; apakah sanadnya shahih, ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karenanya, para ulama memperhatikan hadits yang diriwayatkan perawi, memilah-milahnya, menilainya, dan memisahkan yang shahih dari yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa dibersihkan dari cela, kebohongan, dan hal buruk semisal yang disisipkan padanya.

Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya tetapi biografi para perawi riwayat itu tidak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjungan) ulama terhadap perawinya terkait kredibilitas periwayatannya. Alhasil, kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah tersebut dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian perawinya. Dengan kata lain, meneliti keotentikan sejarah lebih sulit daripada keotentikan hadits. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyepelekannya. Justru, kita harus mengklarifikasi dan mengetahui cara pengambilann riwayat sejarah yang shahih.

Mungkin ada yang berpendapat, dengan standar penilaian demikian berarti banyak sejarah kita yang akan hilang. Pendapat tersebut dapat kita bantah. Sejarah kita tidak akan hilang sebanyak sangkaan Anda. Karena, banyak riwayat sejarah yang dibutuhkan—khususnya dalam pembahasan buku ini—disebutkan beserta sanadnya. Baik sanadnya itu disebutkan dalam kitab sejarah, seperti Taariikh ath-Thabari; dalam kitab-kitab hadits, seperti Shahiihul Bukhari, Musnad Ahmad, dan Jaami’ut Tirmidzi; dalam kitab-kitab Mushannaf, seperti Mushannaf Ibnu Abi Syaibah; dalam kitab-kitab tafsir yang menyebutkan riwayat sejarah disertai sanadnya, seperti Tafsir Ibni Jarir dan Tafsir Ibni Katsir; maupun dalam kitab-kitab yang secara khusus berbicara tentang peristiwa-peristiwa sejarah tertentu, seperti Hhuruubur Riddah karya al-Kula’i atau kitab singkat berjudul Taariikh Khaliifah Ibnu Khayyath. Intinya, kita tidak boleh menyerah untuk menemukan sanad dari riwayat-riwayat sejarah yang beredar saat ini. Kalaupun kita tidak menemukan sanadnya, kita tetap mempunyai pedoman umum, khusunya berkaitan dengan para Sahabat; yaitu pujian Allah ‘azza wa jalla dan sanjungan Rasul-Nya kepada para mereka Radhiyallhu ‘anhum. Dan itu menunjukkan bahwa pada hakikatnya mereka adalah orang-orang yang shalih. Maka, setiap riwayat yang mengandung celaan kepada para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dilihat sanadnya terlebih dahulu. Jika memang shahih, maka kita lihat penafsiran dan keterangannya. Namun jika sanadnya dha’if, atau tidak memiliki sanad, maka kita berpegang pada kaidah awal yaitu semua Sahabat adalah shalih.

Jadi, ketika membaca sejarah, kita harus bersikap teliti, sebagaimana tatkala membaca hadits. Apalagi jika bacaan tersebut terkait dengan sejarah pokok umat Islam, yakni sejarah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan: “Seseorang harus  mempunyai pegangan atau pedoman umum sebagai sumber penyandaran hal-hal yang bersifat parsial dan lebih rinci, agar dia bisa berbicara berdasarkan ilmu dan objektif, di samping akan mengetahui bagaimana hal-hal itu sampai terjadi.  Jika tidak demikian, maka dia akan mudah terhasut oleh kedustaan dan kebodohan mengenai masalah-masalah parsial tersebut, dan tetap bodoh terhadap pedoman umumnya. Dan bisa dipastikan hal itu akan melahirkan kesimpulan (pemahaman) yang sangat kacau.”[1]

Ironisnya, dewasa ini orang-orang justru gemar membaca tulisan modern mengenai sejarah yang hanya memperhatikan keindahan cerita atau melogiskan situasi dan kondisi, atau keduanya sekaligus, tanpa memperhatikan shahih tidaknya riwayat-riwayat yang dinukil, seperti buku-buku karya ‘Abbas al-‘Aqqad[2], Khalid Muhammad Khalid[3], Thaha Husain[4], George Zaidan seorang Nashrani[5], atau buah tangan tokoh-tokoh masa kini lainnya.

Mereka, para penulis yang saya sebutkan tadi, hanya memerhatikan keterkaitan alur, keunikan kisah, dan keindahan penyusunan ketika berbicara tentang sejarah. Mereka tidak memperhatikan apakah kisah-kisah itu dinukilkan secara shahih atau tidak. Sebagian mereka bahkan sengaja ingin mendistorsi kisah tersebut. Bagi mereka, yang terpenting adalah menyajikan kisah yang enak dibaca oleh Anda.

Berikut beberapa kitab sejarah yang harus diwaspadai:

1. Al-Aghaanii karya Abul Faraj al-Ashbahani. Kitab ini berisi obrolan, ssyair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita tidak benar.
2. Al-‘Iqdul Fariid karya Ibnu ‘Abdi Rabbih. Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.
3. Al-Imaamah was Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah rahimahullah, tetapi penisbatan ini adalah dusta belaka.
4. Muruujudz Dzahab atau Taariikh al-Mas’udi karya al-Mas’udi. Kisah-kisah yang ditututkan di dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu Taimiyah rahimahullah bahkan mengomentarinya: “Dalam Taariikh al-Mas’udi terdapat banyak kebohongan, saking banyaknya, sampai-sampai tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah ‘azza wa jalla. Bagaimana mungkin riwayat dengan sanad terputus dalam sebuah kita yang terkenal banyak dustanya itu bisa dipercaya.”[6] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani juga berkomentar: “Kitab-kitabnya menunjukan bahwa dia (al-‘Mas’udi) berpaham Syi’ah dan Mu’tazilah.”[7]
5. Syarh Nahjil Balaaghah karya ‘Abdul Hamid bin Abul Hadid, seorang Mu’tazilah yang dinilai dha’if oleh para ulama al-Jarh wat Ta’dil. Orang yang mengetahu alasan penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karya penulisnya. Kitab ini disusun demi al-Wazir bin al-‘Alqami, seorang yang menjadi penyebab utama terbunuhnya jutaan Muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar. Al-Khawanisari menegaskan: “Dia (Ibnu Abul Hadid) menyusunnya untuk memenuhi lemari (perpustakaan pribadi) al-Wazir Muayyidduddin Muhammad bin al-‘Alqami.”[8] Bahkan, banyak ulama Syi’ah yang mencela penulis dan karyanya ini. Al-Mirza Habibullah al-Khu-i mengomentari sosok Ibnu Abul Hadid: “Orang ini tidak termasuk ahli dirayah (ahli fiqih) maupun ahli atsar (ahli hadits). Pendapatnya kacau dan pandangannya bobrok. Keberadaannya justru memperkeruh kegaduhan; dia telah menyesatkan banyak orang, dan dia sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” Adapun mengenai karyanya, al-Mirza berkomentar: “Tulisannya seperti jasad tanpa roh. Bahasanya berputar-putar pada kulit dan tidak menyentuh isi, sehingga tidak banyak berfaedah. Kitab ini juga mengandung takwil-takwil yang jauh (dari kebenaran); tabiat orang lari menghindarinya, pendengaran pun mengingkarinya.”[9]
6. Taariikh al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi riwayat-riwayat mursal, tidak ada sanadnya yang bersambung secara utuh. Penulisnya sendiri adalah seorang yang tertuduh sebagai pembohong.

Wallahu’alam

Mainsource: Kitab Hiqbah Minat Taariikh / Inilah Faktanya karya as-Syaikh ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis hafizhahullah.


[1] Majmuu’ul Fataawaa (XIX/203)
[2] Salah satu karyanya berjudul Silsilatul ‘Abqariyyaat.
[3] Salah satu karyanya berjudul Khulafaa-ur Rasuul dan Rijal Haular Rasuul.
[4] Salah satu karyanya berjudul Mauqi’atul Jamal, ‘Ali wa Banuuhu, dan al-Fitnatul Kubraa.
[5] Salah satu karyanya berjudul Taaariikhut Tamaddun al-Islaami.
[6] Minhaajus Sunnah an-Nabawiyyah (IV/84).
[7] Lisaanul Miizan (V/532), terbitan Maktab al-Mathbuu’aat al-Islaamiyyah.
[8] Raudhaatul Jannaat karya al-Khawanisari (V/20,21)
[9] Lihat Minhaajul Baraa’ah Syarh Nahjil Balaaghah karya al-Mirza Habibullah al-Khu-i (I/14), terbitan Daar Ihyaa’ at-Turaats al-‘Arabi, Beirut.

Like FB: Sharing Seputar Islam dan Islamic History

0 Comment for "Bagaimana Kita Membaca Sejarah?"

Rasulullah ï·º bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top