“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu,
tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (QS. Hud [11] : 17)
Ada satu hal yang penulis tertarik mengkaji akan hal
tersebut yaitu mengenai hukum mayoritas. Ketika penulis mendalami ilmu politik
di salah satu kampus di Bandung, ada satu hal yang sering diterangkan mengenai
hukum mayoritas ini yaitu sebuah quote “Vox
Populi Vox Dei” yang bermakna “Suara Mayoritas adalah Suara Tuhan”. Bahkan
ironinya hal ini menjadi suatu doktrin bahwa memang benar suara mayoritas
adalah kebenaran karena secara filosofi itu adalah kehendak Tuhan untuk suatu
bangsa. Apakah pernyataan buatan orang kafir ini benar atau justru pernyataan
yang menyesatkan? Terlebih lagi di Negara kita tercinta ini Indonesia yang
memiliki azas demokrasi dimana suara mayoritas menjadi sebuah kesimpulan dalam
memutuskan suatu perkara. Perlu ditekankan kepada para pembaca sekalian bahwa
telah menjadi sunnatullah kalau kebanyakan manusia merupakan para penentang
kebenaran. Maka menjadi ironi, ketika kebenaran kemudian diukur dengan suara
mayoritas.
Apa Itu Hukum Mayoritas?
Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali
ini adalah suatu ketetapan hukum di mana jumlah mayoritas merupakan patokan
kebenaran dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti meski
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sejauh mana keabsahan hukum mayoritas ini? Untuk mengetahui
jawabannya, perlu ditelusuri terlebih dahulu oknum (pengusung)nya, yang dalam
hal ini adalah manusia, baik tentang hakikat dirinya, sikapnya terhadap para
rasul, maupun keadaan mayoritas mereka, menurut kacamata syari’at. Dengan
diketahui keadaan oknum mayoritas, maka akan diketahui pula sejauh mana
keabsahan hukum tersebut.
Hakikat Jati Diri Manusia
Manusia adalah satu-satunya makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang menyatakan diri
siap memikul ‘amanat berat’ yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk-makhluk
besar seperti langit, bumi, dan gunung-gunung. Padahal makhluk yang bernama
manusia ini berjatidiri dzalum (amat zalim) dan jahul (amat bodoh). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّا
عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ
أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanat kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzab [33] : 72)
Allah subhanahu
wa ta’ala mengangkat permasalahan amanat
yang Dia amanatkan kepada para mukallafin (makhluk yang dibebani hukum syari’at),
yaitu amanat menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi segala yang
diharamkan, baik dalam keadaan tampak maupun tidak tampak. Dia tawarkan amanat
itu kepada makhluk-makhluk besar; langit, bumi, dan gunung-gunung sebagai
tawaran pilihan, bukan keharusan, ‘Bila engkau menjalankan dan melaksanakannya
niscaya ada pahala bagimu, dan bila tidak niscaya kamu akan dihukum.’ Maka
makhluk-makhluk itu pun enggan untuk memikulnya karena khawatir akan
mengkhianatinya, bukan karena menentang Rabb mereka dan bukan pula karena tidak
butuh terhadap pahala-Nya. Kemudian Allah subhanahu
wa ta’ala tawarkan kepada manusia, maka
ia pun siap menerima amanat itu dan siap memikulnya dengan segala kezaliman dan
kebodohan yang ada pada dirinya. Maka amanat berat itu pun akhirnya dipikul
olehnya.
Allah subhanahu
wa ta’ala Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana, tidaklah membiarkan manusia
mengarungi kehidupan dengan memikul amanat berat tanpa bimbingan Ilahi. Maka
Dia pun mengutus para rasul sebagai pembimbing mereka dan menurunkan Kitab Suci
agar manusia berpegang teguh dengannya dan mengambil petunjuk darinya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata, serta Kami turunkan bersama mereka Kitab Suci dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid [57] : 25)
Sikap Manusia terhadap Para Rasul yang Membimbing Mereka
Namun, demikianlah umat manusia. Para rasul yang membimbing
mereka itu justru ditentang, didustakan, dan dihinakan. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَانَتْ تَأْتِيهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَكَفَرُوا
فَأَخَذَهُمُ اللَّهُ إِنَّهُ قَوِيٌّ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Yang demikian itu dikarenakan telah datang para rasul
kepada mereka dengan membawa bukti-bukti nyata, lalu mereka kafir (menentang
para rasul tersebut), maka Allah mengazab mereka. Sesungguhnya Dia Mahakuat
lagi Mahadahsyat hukuman-Nya.” (QS. Ghafir [40] : 22)
فَإِنْ
كَذَّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ جَاءُوا بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ
وَالْكِتَابِ الْمُنِيرِ
“Jika mereka mendustakan kamu (Muhammad), maka sesungguhnya
para rasul sebelummu pun telah didustakan (pula). Mereka membawa
mukjizat-mukjizat yang nyata, Zabur dan Kitab yang memberi penjelasan yang
sempurna.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 184)
كَذَّبَتْ
قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ وَالْأَحْزَابُ مِنْ بَعْدِهِمْ وَهَمَّتْ كُلُّ أُمَّةٍ
بِرَسُولِهِمْ لِيَأْخُذُوهُ وَجَادَلُوا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوا بِهِ الْحَقَّ
فَأَخَذْتُهُمْ فَكَيْفَ كَانَ عِقَابِ
“Sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongan yang
bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul), dan tiap-tiap umat telah
merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk menawannya. Dan mereka membantah
dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu, oleh
karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku.” (QS. Ghafir [40] : 5)
وَلَقَدِ
اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا
كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan sungguh telah diperolok-olok beberapa rasul sebelum
kamu. Maka turunlah kepada orang yang mencemoohkan para rasul itu azab atas apa
yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-Anbiya [21] : 41)
Bagaimanakah Keadaan Mayoritas Mereka?
Bila kita merujuk kepada Al-Qur’anul Karim, maka kita akan
dapati bahwa keadaan mayoritas umat manusia adalah:
- Tidak beriman
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
إِنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari Rabbmu,
tetapi mayoritas manusia tidak beriman.” (QS. Hud [11] : 17)
- Tidak bersyukur
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَشْكُرُونَ
“Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia,
tetapi mayoritas manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2] : 243)
- Benci kepada kebenaran
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
لَقَدْ
جِئْنَاكُمْ بِالْحَقِّ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ
“Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran
kepada kalian, tetapi mayoritas dari kalian membenci kebenaran itu.” (QS.
Az-Zukhruf [43] : 78)
- Fasiq (keluar dari ketaatan)
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
“Dan sesungguhnya mayoritas manusia adalah orang-orang yang
fasiq.” (QS. Al-Maidah [5] : 49)
- Lalai dari ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَإِنَّ
كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya mayoritas dari manusia benar-benar lalai
dari ayat-ayat Kami.” (QS. Yunus [10] : 92)
- Menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَإِنَّ
كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Sesungguhnya mayoritas (dari manusia) benar-benar hendak
menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa ilmu.” (QS. Al-An’am [6] : 119)
- Tidak mengetahui agama yang lurus
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
ذَٰلِكَ
الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Itulah agama yang lurus, tetapi mayoritas manusia tidak
mengetahui.” (QS. Yusuf [12] : 40)
- Mengikuti persangkaan belaka
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
إِنْ
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Mereka (mayoritas manusia) tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah Subhanahu
wa ta’ala).” (QS. Al-An’am [6] : 116)
- Penghuni Jahannam
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi Jahannam mayoritas
dari jin dan manusia.” (QS. Al-A’raf [7] : 179)
Refleksi terhadap Hukum Mayoritas
Dari apa yang telah lalu, kita pun mengetahui bahwa ternyata
oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat zalim dan amat bodoh.
Penentangan mereka terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa.
Demikian pula mayoritas mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada
kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama
yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam.
Demikianlah kacamata syari’at
memandang oknum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, lalu bagaimana dengan
hukum mayoritas itu sendiri?
Di antara karakter jahiliah, mereka menilai suatu kebenaran
dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas.
Sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan
yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada
diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini
tidak benar, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala).” (QS. Al-An’am [6] : 116)
Allah subhanahu
wa ta’ala juga berfirman:
وَلَٰكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf [7] : 187)
وَمَا
وَجَدْنَا لِأَكْثَرِهِمْ مِنْ عَهْدٍ ۖ وَإِنْ وَجَدْنَا أَكْثَرَهُمْ
لَفَاسِقِينَ
“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji.
Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik.” (QS.
Al-A’raf [7] : 102)
Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya
pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu
pernyataan sesat yang memosisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat
tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan
firman-firman Allah subhanahu
wa ta’ala di atas?! Yang lebih tragis lagi,
orang-orang yang mengampanyekan diri sebagai “partai Islam”….., siang dan malam
berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang
dibidik adalah suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu. Ketika telah
duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan”
sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syari’at
Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan
sekian banyak pertimbangan.
Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digelar, hasilnya pun
berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu… Tak mau
peduli, apakah sesuai dengan syari’at Islam ataukah justru menguburnya… Tak mau
pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Ketika
hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka
dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas
anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo…, kita harus menjunjung tinggi demokrasi…, dan lain sebagainya.
Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang
menggelar demonstrasi-demonstrasi dengan berbagai macam atribut dan spanduknya.
Wallahul musta’an.
Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya,
akan semakin jauh dari hukum Allah subhanahu
wa ta’ala, akan semakin buta tentang syari’at
Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah subhanahu wa ta’ala
dan syari’at-Nya.
Sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan
refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah.
Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh
radio nusantara dan akhirnya digelari “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun
pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka
dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala
telah berfirman tentang Nabi Nuh ‘alaihis salam:
وَمَا
آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh ‘alaihissalam) kecuali
sedikit.” (QS. Hud [11] : 40)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
عُرِضَتْ
عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ
وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ …
“Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat
seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau
dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….” (HR.
Al-Bukhari no. 5705 dan Muslim no. 220)
Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih
dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama
mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti
Al-Qur’an dan As-Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja.
Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah
mayoritas terkadang di atas kesesatan. Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala).” (QS. Al-An’am [6] : 116)
Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam
kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan,
‘Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku bersikap eksklusif
tidak sama dengan mereka?’.
Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu mazhab
atau perkataan, namun tolok ukurnya adalah benar ataukah bathil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit
atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang
(diikuti), karena ia adalah keselamatan. Selamanya, sesuatu yang bathil tidaklah terdukung (menjadi benar) karena banyaknya orang
yang mengikutinya. Inilah tolok ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap
muslim.
Maka tolok ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) ataupun
sedikit (minoritas), bahkan tolok ukurnya adalah al-haq (kebenaran). Barang siapa
di atas kebenaran (walaupun sendirian) maka
ia benar dan wajib diikuti. Jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan
maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolok ukurnya adalah
kebenaran. Oleh karena itu, para ulama berkata, ‘Kebenaran tidaklah dinilai
dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barang siapa di
atas kebenaran maka ia wajib diikuti’.
Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu
dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu
(dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka
berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh
lagi sesat (yaitu mengikuti mayoritas manusia, pen.) dan tidak mau melihat
kepada apa yang dikatakan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada di Atas Kebenaran?
Jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini
sesuatu yang baik. Namun sunnatullah menunjukkan bahwa mayoritas (manusia)
berada di atas kebatilan.
وَمَا
أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu
(Muhammad) sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf [11] : 103)
وَإِنْ
تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ
وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS.
Al-An’am [6] : 116)
Penutup
Dari pembahasan diatas, dapatlah diambil suatu kesimpulan
bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa
dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj, dan perkataan.
Tolok ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al-Qur’an dan
As-Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih.
Atas dasar ini, maka sistem demokrasi yang menuhankan suara
mayoritas adalah bathil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu
dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil
dan bukan dari syari’at Islam. Wallahu
a’lam.
Semoga Bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Menggugat Hukum Mayoritas"