“Mendengar
dan taat itu wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukainya atau
tidak disukainya, selama tidak diperintah melakukan maksiat. Jika diperintahkan
melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari
no. 7144 dan
Muslim no. 3447)
Ketika
kita tidak taat kepada pemimpin Negara dan selalu berupaya untuk menggulingkan
pemerintahan dengan membuka aib-aib pemerintah maka disitulah otak kita telah
teracuni faham khawarij. Akan tetapi jika kita terlalu taat pada pemerintah
secara buta bahkan tak peduli lagi jika ada hak-hak kaum muslimin yang
terzholimi maka disitulah otak kita telah teracuni faham murji’ah. Lalu
bagaimana ahlussunnah harus bersikap akan hal ini? Taat kepada pemimpin negara
dan lainnya dari unsur kepemerintahan adalah wajib, asal tidak dalam bermaksiat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini berdasarkan firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, dan taatlah kalian
kepada Rasul, dan juga kepada ulil amri dari kalian.” (QS. An-Nisa’ [4] :
59)
Juga
berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma:
السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ
يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ؛ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar
dan taat itu wajib atas setiap muslim baik dalam perkara yang disukainya atau
tidak disukainya, selama tidak diperintah melakukan maksiat. Jika diperintahkan
melakukan maksiat maka tidak boleh mendengar tidak boleh taat.” (HR. Al-Bukhari
no. 7144
dan
Muslim no. 3447)
Kita
tetap wajib taat kepada pemerintah. Sama saja pemerintah itu baik;
yaitu yang menunaikan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan meninggalkan larangan-Nya,
atau pemerintah itu jahat; yaitu pelaku kejahatan dan kezhaliman. Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Auf bin Malik radhiyallahu
‘anhu:
أَلَا
مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ، وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ،
فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللَّهِ، وَلَا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ
“Ingatlah,
siapa yang dipimpin oleh suatu pemerintah, lalu dia melihat pemerintah tersebut
melakukan suatu tindak kemaksiatan kepada Allah Ta’ala, maka hendaknya dia
membenci tindak maksiatnya kepada Allah Ta’ala tersebut, dan jangan sampai dia
keluar dari prinsip ketaatan kepada pemerintah.” (HR. Muslim no.
3448)
Sikap
menentang dan memberontak kepada pemerintah adalah perbuatan yang diharamkan
dalam syari’at islam. Hal ini berdasarkan isi hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu
‘anhu:
بَايَعَنَا
عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا،
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Kami
berbai’at kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk mendengar dan taat, di saat kami suka, di saat kami tidak suka,
di saat kesulitan, dan di saat kemudahan, dan untuk mendahulukan beliau atas
diri-diri kami. Dan kami berbai’at untuk tidak menentang aturan dari
pemerintah, kecuali kalian melihat pada diri pemerintah kekafiran yang nyata, dan
kalian memiliki landasan dari Allah Ta’ala akan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no.
6532 dan Muslim no. 1709)
Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّهُ
يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ كَرِهَ
فَقَدْ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَا نُقَاتِلُهُمْ، قَالَ: لَا مَا صَلَّوْا لَا
مَا صَلَّوْا
“Sesungguhnya
akan ada bagi kalian pemerintah yang kalian lihat melakukan yang ma’ruf dan
kalian lihat melakukan kemungkaran. Siapa yang membenci (kemungkarannya) maka
dia telah terbebas (dari ancaman Allah ta’ala),
dan siapa yang mengingkari (kemungkarannya) maka dia telah selamat (dari
ancaman Allah ta’ala), dan siapa
yang rela dan mengikuti (kemungkarannya maka dialah yang akan dimurkai Allah ta’ala).”
Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah kami memerangi mereka?”
Rasulullah bersabda: “Tidak!! Selama mereka masih menunaikan shalat. Tidak!!
Selama mereka masih menunaikan shalat.” (HR. Muslim no.
1854)
Menginkari
dan membenci di sini maksudnya dilakukan dengan kalbunya, bukan dengan tindakan
yang anarkis dan menghujatnya sehingga runtuhlah kewibawaan pemerintah
semisalnya. Dan maksud “Selama mereka masih menunaikan shalat” artinya
sebagaimana dalam hadits sebelumnya: selama tidak terbukti adanya kekafiran
yang nyata yang ada landasannya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Hadits
terkahir ini mengisyaratkan juga, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu bentuk
kekafiran yang nyata, karena Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam
tidak membolehkan untuk menentang pemerintah kecuali adanya kekufuran yang
nyata, dan beliau menjadikan hal yang menghalangi untuk memrangi pemerintah
adalah penunaian shalat, maka hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan penunaian
shalat ini menjadi sebab bolehnya memerangi pemerintah.
Namun
perlu diingat, secara garis besar memang demikian, kekafiran yang nyata yang
dilakukan itu menjadi sebab bolehnya kaum muslimin untuk memerangi pemerintah.
Namun apakah serta merta kaum muslimin keluar melakukakn perang begitu saja?
Ternyata tidak, umat islam itu umat yang tengah-tengah, tidak lembek tidak pula
serampangan. Para ulama masih tetap menjelaskan banyak kaidah dan aturan serta
batasan terkait permasalahan yang sangat riskan ini. Tujuan ajaran islam adalah
menciptakan kabaikan, ketenteraman, dan keamanan di muka bumi.
Keyakinan
islam, keyakinan ahlus sunnah wal jama’ah pengikut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
adalah sebagaimana dijelaskan di atas. Dan selain itu ahlus sunnah berkeyakinan
untuk tidak menentang pemerintah yang zhalim bukan karena tidak mungkin akan
mendapatkan pemerintah yang lebih baik, namun mereka tidak menentang pemerintah
karena bimbingan Rasul di atas, dan juga mereka tidak menentang pemrintah demi
menjaga kelestarian kebaikan umat dan mencegah dari kerusakan yang besar.
Karena sikap penentangan, pemberontakan dan penggulingan itu telah terbukti
dalam sejarah umat islam kerusakannya lebih besar dari pada kebaikannya,
kondisi sebelum penggulingan lebih baik dari pada setelah penggulingan. Baik
dalam hal keamanan, ekonomi, akhlaq-adab dan lainnya. Silahkan mencoba untuk
kilas balik sejarah yang ada.
Oleh
karenanya ulama salaf (generasi pendahulu) sepakat untuk tidak melakukan
penentangan, pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim meski
mereka zhalim. Dan kebanyakan orang-orang yang melakukan penentangan,
pemberontakan, dan penggulingan terhadap pemerintah muslim tidak mendapatkan
pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala. Entah ketika dalam usaha
penggulingan entah setelah terjadi penggulingan. Kalaupun berhasil
menggulingkan, tidaklah mereka mendapatkan pertolongan Allah subhanahu
wa ta’ala
setelah penggulingan itu. Justru yang ada adalah kerusakan dan kesengsaraan
yang lebih parah dari sebelumnya.
Karena
sebab yang paling banyak yang ada dalam usaha penggulingan adalah usaha
seseorang untuk bisa duduk dalam kursi tersebut, lalu melakukan sesuatu yang
tidak jauh beda dari yang dilakukan oleh orang yang dia gulingkan. Demikan
penjelasan para ulama islam.
Kalau
seandainya terbukti bahwa pemerintah telah melakukan kekafiran yang nyata,
sehingga boleh untuk digulingkan. Namun ingat, para ulama tetap memberikan
rambu dan batasan terkait hal itu. Dengan tujuan penjagaan kebaikan umat. Bagi
yang ingin menggulingkan pemerintah yang kafir (ingat kafir bukan zhalim) harus
memenuhi tiga syarat:
Kekafirannya
itu nyata terbukti berlandaskan dengan syari’at Allah subhanahu
wa ta’ala
dengan pemahaman yang haq, yaitu pemahaman salaf shalih bukan pemahaman
khawarij teroris. Jadi tidak masuk dalam hal ini kalau kekafiran tersebut timbul
karena adanya penta’wilan.
Orang
yang akan melakukan penggulingan memiliki kemampuan nyata untuk hal itu. Ingat
kemampuan yang nyata wujudnya, baik berupa persenjataan ataupun dana. Jadi
tidak cukup hanya dengan perkataan: “Kita akan didukung oleh ini oleh itu.
Senjata akan dikirim oleh ini oleh itu.” Karena pemberontakan dan penggulingan
itu artinya pertumpahan darah. Maka harus bisa membendung kerusakan yang lebih
parah.
Adanya
ganti yang lebih baik dari yang sebelumnya. Artinya lebih shalih, lebih
mengerti syari’at islam (hukum islam atapun politik islam), lebih adil. Dari
kebanyakan aspek lebih baik dari yang sebelumnya secara tinjauan syari’at.
Sehingga tidak akan terjadi mengganti sesuatu yang rusak dengan sesuatu yang
sama rusaknya, atau lebih parah rusaknya. Atau mengganti yang zhalim dengan
yang sama zhalimnya atau lebih parah kezhalimannya. Maka ini bentuk
kerusakannya sama atau malah lebih parah.
Bagi
Ahlus Sunnah,
ketiga syarat ini sangat amat berat diwujudkan.
·
Pertama,
Tidak mudah untuk mengkafirkan seseorang dengan dalil dan bukti.
·
Kedua,
Ahlus Sunnah sangat menjaga darah umat
tidak rela darah satu muslimpun tertumpahkan. Dan juga dari mana akan
mendapatkan senjata dan dana? Ahlus Sunnah sibuk dengan ilmu, fatwa
dan dakwah.
·
Ketiga,
Tidak ada satu ulama pun dari ahlus sunnah yang siap mengemban amanah pimpinan
negara. Mereka lebih cinta menjadi pemberi arahan kepada umat, dan juga kepada
pemerintah dengan nasehat. Jika diterima alhmadulillah, jika tidak diterima
maka amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala sudah tersampaikan. Sehingga
terlepas dari tanggung jawab di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala nantinya.
Sebagai
penutup
Ahlus
Sunnah itu bersikap
tengah-tengah, diantara dua kelompok yang sama-sama berat sebelah :
Kelompok
Pertama: Kelompok yang sangat getol mencari kesalahan pemerintah, mengangkatnya
ke permukaan untuk menjatuhkan wibawa pemerintah di hadapan rakyatnya, mengecap
pemerintah zhalim, bahkan sebagian mereka menghukumi pemerintah itu kafir
pemerintah thaghut. Sehingga membabi buta menghalalkan penggulingan pemerintah
yang sah. Orang semacam ini adalah semisal orang-orang yang berpemikiran
khawarij teroris, atau orang yang memiliki tendensi duniawi mengejar kursi
kepemerintahan, atau orang yang belum tahu bagaimana syari’at ini memberikan
bimbingan terkait ketaatan pada pemerintah.
Kelompok
Kedua: Kelompok yang serba ikut dengan kemauan pemerintah tanpa memilah mana
yang ma’ruf sesuai syari’at islam dan mana yang mungkar atau maksiat dalam kaca
mata syari’at islam. Karena merasa kepentingan duniawinya itu akan terjaga
dengan dalam sikapnya yang demikian terhadap pemerintah. Sehingga kelompok
pertama akan mengatakan kelompok kedua ini adalah kelompok yang lembek atau
semisalnya yang lebih para dari itu.
Adapun
Ahlus Sunnah
wal Jama’ah maka tidak seperti
kelompok pertama, tidak pula seperti kelompok kedua. Maka mereka tidak
mencari-cari kesalahan pemerintah, tidak pula menjatuhkan wibawanya, tidak pula
mengkafirkan karena kezhaliman yang dilakukannya. Dan Ahlus
Sunnah tidak pula serba ikut
dengan semua kemauan. Ahlus Sunnah akan taat kepada
pemerintah ketika diperintah melakukan suatu perbuatan yang dibenarkan secara
syari’at islam. Dan mereka tidak bisa taat ketika diperintah melakukan suatu
perbuatan yang dihukumi syari’at islam sebagai kemaksiatan, kemungkaran dan
keharaman.
Demikian
hadits berikut ini memberikan bimbingan
Dalam
hadist ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad rahimahullah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا
طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ
“Tiada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad no.
3694)
Dalam
riwayat Imam Bukhari rahimahullah dari
hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ada kisah:
بَعَثَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَأَمَّرَ عَلَيْهِمْ
رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ فَغَضِبَ عَلَيْهِمْ
وَقَالَ أَلَيْسَ قَدْ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
تُطِيعُونِي قَالُوا بَلَى قَالَ قَدْ عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ لَمَا جَمَعْتُمْ
حَطَبًا وَأَوْقَدْتُمْ نَارًا ثُمَّ دَخَلْتُمْ فِيهَا فَجَمَعُوا حَطَبًا
فَأَوْقَدُوا نَارًا فَلَمَّا هَمُّوا بِالدُّخُولِ فَقَامَ يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ
إِلَى بَعْضٍ قَالَ بَعْضُهُمْ إِنَّمَا تَبِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِرَارًا مِنْ النَّارِ أَفَنَدْخُلُهَا فَبَيْنَمَا هُمْ
كَذَلِكَ إِذْ خَمَدَتْ النَّارُ وَسَكَنَ غَضَبُهُ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا أَبَدًا
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus sebuah pasukan, dan menjadikan salah seorang Anshar
pemimpin bagi mereka. Beliau memerintahkan pasukan agar taat kepada pemimpin
itu. (Suatu ketika) pemimpin pasukan tersebut marah kepada pasukannya, sembari
berkata: “Tidakkah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah memerintahkan agar kalian taat kepadaku?” Mereka berkata:
“Benar.” Dia berkata: “Sungguh aku telah bertekad agar kalian mengumpulkan kayu
bakar lalu kalian nyalakan api padanya, kemudian kalian masuk ke dalam api
itu.” Maka merekapun mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan apai padanya.
Ketika mereka hendak masuk ke dalam api itu, sebagian mereka berdiri dan
melihat kepada sebagian yang lain. Sebagian pasukan berkata: “Sesungguhnya kita
mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam demi lari menghindari dari api (Neraka), apakah kita akan masuk
kepadanya?” Ketika mereka dalam kondisi demikian padamlah api dan redalah
kemarahan sang pemimpin. Lalu hal itu diceritakan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam maka beliau bersabda: “Kalau seandainya mereka masuk pada api
tersebut maka mereka tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan
itu hanya pada perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no.
7145)
Inilah
prinsip aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah terkait ketaatan pada
pemerintah. Adapun kalau diketemukan pada individu yang mengaku Ahlus
Sunnah wal Jama’ah
kemudian ternyata jauh dari ketaatan pada pemerintah, maka celaan bukan pada
aqidah Ahlus Sunnah
tapi celaan hanya tertuju pada orang tersebut saja. Boleh orang mengaku salafy,
tapi dia akan dituntut pembuktiannya dengan mengamalkan apa yang dituntunkan
Allah subhanahu wa ta’ala
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi
wa sallam
sesuai yang dituntunkan dengan pemahaman yang benar. Entah itu bertentangan
dengan kemauan hawa nafsunya ataupun tidak. Wallahu
a’lam.
Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Prinsip Ahlus Sunnah Mengenai Ketaatan Terhadap Pemimpin"