“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]
: 208)
Tahun
Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan tahun baru
imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (bahasa Tionghoa: 正月;
pinyin: zhēng yuè) di penanggalan
Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh
十五冥 元宵节 di
tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal
sebagai Chúxī yang berarti “malam
pergantian tahun.”
Di
Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru
Imlek sangat beragam. Namun, kesemuanya banyak berbagi tema umum seperti
perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api.
Meskipun penanggalan Imlek secara tradisional tidak menggunakan nomor tahun
malar, penanggalan Tionghoa di luar Tiongkok seringkali dinomori dari
pemerintahan Huangdi.
Dirayakan
di daerah dengan populasi suku Tionghoa, Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari
libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru
di tetangga geografis Tiongkok, serta budaya yang dengannya orang Tionghoa
berinteraksi meluas. Ini termasuk Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, dan
Jepang (sebelum 1873). Di Daratan Tiongkok, Hong Kong, Makau, Taiwan,
Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain atau
daerah dengan populasi suku Han yang signifikan, Tahun Baru Imlek juga
dirayakan, dan pada berbagai derajat, telah menjadi bagian dari budaya
tradisional dari negara-negara tersebut.
Di
Indonesia, Sejak tahun 1968 s/d 1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang untuk
dirayakan di depan umum. Hal itu berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967, yang dikeluarkan oleh Presiden Soeharto. Serta melarang segala hal yang
berbau Tionghoa, termasuk di antaranya tahun baru Imlek.
Namun,
sejak kepemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat keturunan Tionghoa
di Indonesia, kembali mendapatkan kebebasan dalam merayakan tahun baru Imlek,
yaitu di mulai pada tahun 2000. Di mana, Presiden Abdurrahman Wahid secara
resmi mencabut Inpres Nomor 14/1967. Serta menggantikannya dengan Keputusan
Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai
hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).
Selanjutnya,
baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu Hari Libur Nasional,
oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003 hingga saat ini.
Masuk
Dalam Islam Secara Kaffah
Allah
subhanahu wa ta’ala memerintahkan
kepada kita untuk masuk ke dalam Islam secara kaaffah sebagaimana disebutkan
dalam ayat:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 208)
Kata
Imam Mujahid rahimahullah, maksud
‘masuklah dalam Islam secara keseluruhan‘ berarti “Lakukanlah seluruh amalan
dan berbagai bentuk kebaikan.” Artinya di sini, jika suatu kebaikan bukan dari
ajaran Islam, maka seorang muslim tidak boleh bercapek-capek melakukan dan
memeriahkannya. Karena kita diperintahkan dalam ayat untuk mengikuti seluruh
ajaran Islam saja, bukan ajaran di luar Islam.
Ketika
menjelaskan ayat di atas, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata: “Laksanakanlah
seluruh ajaran Islam, jangan tinggalkan ajaran Islam yang ada. Jangan sampai
menjadikan hawa nafsu sebagai tuan yang dituruti. Artinya, jika suatu ajaran
bersesuaian dengan hawa nafsu, barulah dilaksanakan dan jika tidak, maka
ditinggalkan,. Yang mesti dilakukan adalah hawa nafsu yang tunduk pada ajaran
syari’at dan melakukan ajaran kebaikan sesuai kemampuan. Jika tidak mampu
menggapai kebaikan tersebut, maka dengan niatan saja sudah bisa mendapatkan
pahala kebaikan.” (Tafsir Al-Karimir Rahman karya Syaikh As Sa’di)
Islam
Hanya Mengenal Dua Hari Raya Besar
Dalam
Islam, hari raya besar itu cuma dua, tidak ada yang lainnya, yaitu hari raya
Idul Fithri (1 Syawal) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
قَدِمَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ
يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ
تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ يَوْمَيْنِ خَيْراً
مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ
“Ketika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki
dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka
beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di
masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti
keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idul Fithri dan
Idul Adha (hari Nahr)” (HR. An-Nasai no. 1556 dan Ahmad 3/178)
Kalau
dikatakan bahwa dua hari raya di atas (Idul Fithri dan Idul Adha) yang lebih
baik, maka selain dua hari raya tersebut tidaklah memiliki kebaikan. Termasuk
dalam hal ini perayaan yang diadakan oleh sebagian muslim berdarah Tionghoa
yaitu perayaan Imlek. Sudah seharusnya setiap muslim mencukupkan dengan ajaran
Islam yang ada, tidak perlu membuat perayaan baru selain itu. Karena Islam pun
telah dikatakan sempurna, sebagaimana dalam ayat:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al-Maidah [5] :
3)
Kalau
ajaran Islam sudah sempurna, maka tidak perlu ada perayaan baru lagi.
Perayaan
di luar dua perayaan di atas adalah perayaan Jahiliyah karena yang dimaksud
ajaran jahiliyah adalah setiap ajaran yang menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga
merayakan perayaan selain perayaan Islam termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَبْغَضُ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ ثَلاَثَةٌ مُلْحِدٌ فِى الْحَرَمِ ، وَمُبْتَغٍ فِى
الإِسْلاَمِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
لِيُهَرِيقَ دَمَهُ
“Manusia
yang dibenci oleh Allah ada tiga: (1) seseorang yang berbuat kerusakan di tanah
haram, (2) melakukan ajaran Jahiliyah dalam Islam, dan (3) ingin menumpahkan
darah orang lain tanpa jalan yang benar.” (HR. Al-Bukhari no. 6882)
Itu
Bukan Perayaan Umat Islam
Apalagi
jika ditelusuri, perayaan Imlek ini bukanlah perayaan kaum muslimin. Sehingga
sudah barang tentu, umat Islam tidak perlu merayakan dan memeriahkannya. Tidak
perlu juga memeriahkannya dengan pesta kembang api maupun bagi-bagi ampau,
begitu pula tidak boleh mengucapkan selamat tahun baru Imlek.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menegaskan:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud
no. 4031 dan Ahmad 2/92)
Tidak
boleh pula seorang muslim bersikap boros pada perayaan non-muslim dengan
memeriahkannya melalui pesta kembang api. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلا
تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra’ [17] :
26-27)
Memberi
ucapan selamat tahun baru Imlek, ada yang mengucapkan do’a ‘gong he xin xi’
(hormat bahagia menyambut tahun baru) atau ‘gong
xi fa cai’ (hormat bahagia berlimpah rejeki) pun terlarang. Hal ini
disebabkan karena telah ada klaim ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa mengucapkan
selamat atau mendoakan untuk perayaan non-muslim itu haram. Ijma’ adalah satu
dalil yang menjadi pegangan. Nukilan ijma’ tersebut dikatakan oleh Ibnul Qayyim
Al-Jauziyah rahimahullah, di mana
beliau berkata:
وأما
التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق ، مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم
، فيقول: عيد مبارك عليك ، أو تهْنأ بهذا العيد ونحوه ، فهذا إن سلم قائله من
الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثماً عند
الله ، وأشد مقتاً من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس ، وارتكاب الفرج الحرام ونحوه
، وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ، ولا يدري قبح ما فعل ، فمن هنّأ عبداً
بمعصية أو بدعة ، أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus
bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal dan selamat tahun
baru imlek, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan)
para ulama. Contohnya adalah memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa
mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’,
atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang
orang yang mengucapkan hal ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak
akan lolos dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini
pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka
lakukan pada salib, bahkan perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi
Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang
memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa,
berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang
paham agama terjatuh dalam hal tersebut. Orang-orang semacam ini tidak
mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu,
barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah
atau kekufuran, maka dia pantas mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”
(Ahkam Ahli Dzimmah, Jilid 1 hal. 441)
Kalau
dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Dan umat tidak mungkin
bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itulah yang terkena
klaim sesat. Sebagaimana Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ
سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
“Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam,
dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’ [4] : 115)
Jalan
orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.
Bersikap
toleran bukan berarti membolehkan segala hal yang dapat meruntuhkan akidah
seorang muslim. Namun toleran yang benar adalah membiarkan mereka merayakan
tanpa perlu loyal (wala’) pada perayaan mereka. Wallahu
a’lam. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga
Bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Muslim Tidak Merayakan Imlek"