“Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila dia berucap
dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia
mengkhianati.” (HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)
Janji
merupakan suatu hal yang sudah umum di masyarakat dan sangat lumrah, baik itu
dalam kehidupan bertetangga bahkan sampai bernegara. Ketika disebutkan kata
janji, maka yang ada dalam pikiran kita umumnya adalah menepatinya atau tidak
menepatinya. Menepati janji merupakan sebuah akhlak yang sangat mulia, akan tetapi
ingkar janji merupakan suatu akhlak yang buruk dan pelakunya dihukumi memiliki
tanda sebagai orang yang munafik.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ
خَانَ
“Tanda
orang munafik itu tiga apabila dia berucap dia berdusta, jika membuat janji dia
mengingkari, dan jika diamanahi dia mengkhianati” (HR Al-Bukhari no. 33 dan
Muslim no. 59)
Sebelumnya,
perlu diketahui bahwa janji tidaklah sama dengan sumpah dan nazar. Mengenai
definisi janji, Syaikh Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-A’zhim rahimahullah
berkata:
الوعد:
هو التعهد بفعل الخير في المستقبل، كأن يقول الرجل لصاحبه : "أعدك بهدية"
أو "أعدك بالذهاب معك إلى الدرس" ونحو ذلك
“Janji
adalah suatu kesepakatan kepada orang lain dalam bentuk pekerjaan yang baik
(yang akan dikerjakan) di masa yang akan datang, sebagaimana perkataan
seseorang kepada sahabatnya: ‘aku akan memberimu hadiah’ atau ‘aku akan pergi
bersamamu untuk belajar’ dan lain sebagainya.” (‘Aunul Ma’bud, Jilid 12 hal.
289)
Seperti
sudah disebutkan sebelumnya bahwa janji itu tak sama dengan sumpah dan nazar,
maka ulama berbeda pendapat tentang apakah memenuhi janji itu wajib yang berarti
berdosa kalau ingkar janji atau mustahab yang berarti tidak apa-apa kalau janji
tidak dilaksanakan. Mengenai hal ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah
berkata dalam Fathul Bari, Bab mengenai perintah menepati janji:
الشهادات
أن وعد المرء كالشهادة على نفسه . قاله الكرماني ، وقال المهلب : إنجاز الوعد
مأمور به مندوب إليه عند الجميع وليس بفرض لاتفاقهم على أن الموعد لا يضارب بما
وعد به مع الغرماء . اهـ . ونقل الإجماع في ذلك مردود فإن الخلاف مشهور لكن القائل
به قليل .
وقال ابن
عبد البر وابن العربي : أجل من قال به عمر بن عبد العزيز . وعن بعض المالكية : إن
ارتبط الوعد بسبب وجب الوفاء به وإلا فلا
“Janji
seseorang itu seperti persaksian atas dirinya sendiri, demikianlah perkataan
Al-Kirmani, Al-Mihlab berkata: Memenuhi janji itu diperintahkan dan mandub
(sunnah) bagi setiap orang, akan tetapi tidak diwajibkan untuk memenuhi janji
atas apa yang telah dijanjikan kepada seseorang yang telah dijanjikan. Dan kesepakatan
mengenai hal ini telah dinukil namun tertolak, karena sesungguhnya perselisihan
akan hal ini masyhur akan tetapi yang berkata hal ini sedikit. Ibnu Abdil Bar
dan Ibnul Arabi berkata: Yang berpendapat mewajibkan antara lain Umar bin Abdul
Aziz. Dan dari sebagian Ulama Maliki, mereka berkata: Jika janji itu berkaitan
dengan sebab tertentu maka wajiblah dipenuhi dan jika tidak maka tidak wajib.”
(Fathul Bari, Jilid 5 hal. 290)
Melihat perkataan Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-Asqalani rahimahullah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
mengenai hukum menepati janji itu para ulama terbagi menjadi tiga pendapat,
yaitu wajib secara mutlak, wajib jika ada sebab tertentu dan mustahab.
1. Menepati janji adalah wajib secara
mutlak dan jika diingkari maka berdosa
Ulama
yang menyatakan bahwa janji itu wajib ditepati secara mutlak dan jika diingkari
maka berdosa antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Imam
Hasan Al-Bashri rahimahullah dan Imam Ishaq bin Rahawiyah rahimahullah
serta ulama-ulama dari Madzhab Zhahiriyah. Nash-nash yang melandasi pendapat
ini antara lain:
·
Firman
Allah subhanahu wa ta’ala:
يا أَيُّهَا
الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Wahai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah [5] : 1)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu
kerjakan? (QS. Ash-Shaf [61] : 2)
·
Sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ
خَانَ
“Tanda
orang munafik itu ada tiga: apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat
janji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia mengkhianati.” (HR Al-Bukhari
no. 33 dan Muslim no. 59)
أَرْبَعٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ
كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ،
وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
“Ada
empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam
dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni dan barangsiapa yang
di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu
memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya,
yaitu: dan apabila diamanahi dia mengkhianati apabila dia berucap dia berdusta,
apabila membuat janji dia mengingkari dan apabila bertengkar maka ia berbuat
kecurangan.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 58)
Mengenai
hadits diatas, Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:
و هذا
ينزل على من وعد و هو على عزم الخلف أو ترك الوفاء من غير عذر فأما من عزم على الوفاء
فعن له عذر منعه من الوفاء لم يكن منافقا و إن جرى عليه ما هو على صورة النفاق
“Hadits
ini ditujukan kepada seseorang yang berjanji dan ia berniat untuk mengingkari
atau dia meninggalkan janji tanpa udzur, adapun seseorang yg berniat menepatinya
akan tetapi dia tidak bisa menepatinya karena suatu udzur, maka dia tidak
termasuk atas gambaran seorang munafik.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid 3 hal. 130)
لَا تُمَارِ
أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ
“Janganlah
membantah saudaramu, jangan bergurau dengannya dan jangan pula engkau
menjanjikannya suatu janji lalu engkau mengingkarinya.” (HR. At-Tirmidzi no.
1918)
Ulama yang berpendapat wajib dalam
menepati janji menjelaskan, jika seseorang tidak menepati janji pada waktu yang
sudah ditentukan sebelumnya maka seseorang tersebut harus menepati janjinya di
waktu yang lain sesuai dengan kesepakatan ulang antara orang yang berjanji dan
yang diberi janji. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan waktunya, maka tak
ada batas waktu dalam memenuhi janji tersebut.
2. Menepati janji adalah wajib jika ada
sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi wajib
Mazhab
Maliki berpendapat wajib dan sunnah tergantung konteks: apabila orang yang
diberi janji itu akan mendapat kemudaratan apabila janji tidak dipenuhi, maka
wajib dipenuhi janjinya. Apabila tidak berbahaya bagi yang diberi janji, maka
tidak wajib menepatinya, dan menjadi sunnah.
3. Menepati Janji adalah mustahab dan
mengingkari janji adalah makruh
Tiga
mazhab fikih yaitu Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dan sebagian dari mazhab Maliki
berpendapat bahwa menepati janji hukumnya mustahab dan tidak wajib. Ingkar
janji hukumnya makruh. Dengan demikian dalil-dalil tentang motivasi memenuhi
janji dan ancaman bagi pelanggar janji dianggap sebagai himbauan menurut jumhur
ulama. Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab
Al-Adzkar berkata:
قد أجمع
العلماء على أن من وعد إنساناً شيئاً ليس بمنهي عنه، فينبغي أن يفي بوعده، وهل ذلك
واجب أم مستحب؟ فيه خلاف بينهم، ذهب الشافعي وأبو حنيفة والجمهور إلى أنه مستحب، فلو
تركه فاته الفضل، وارتكب المكروه كراهة شديدة، ولكن لا يأثم
“Sesungguhnya
para ulama bersepakat bahwa barangsiapa berjanji dengan seseorang dalam perkara
apapun yang tidak terlarang, maka dianjurkan baginya untuk menepati janjinya.
Namun apakah hukum menepati janji itu wajib atau sekedar mustahab (sunnah)? Padanya
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan
jumhur ulama menyatakan bahwa hukumnya mustahab (sunnah). Maka jika seseorang
tidak menepati janjinya maka telah terlewat darinya satu keutamaan dan dia
telah melakukan perkara makruh yang berat, namun tidak berdosa.” (Al-Adzkar,
hal. 317)
Nash-nash
yang melandasi pendapat ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala
dalam Al-Quran mengenai pujian-pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada
para rasul:
وَإِبْرَاهِيمَ
الَّذِي وَفَّىٰ
“Dan
lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An-Najm [53]
: 37)
وَاذْكُرْ
فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
“Dan
ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam
Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah
seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19] : 54)
Selain itu, alasan lain yang
digunakan oleh jumhur ulama dalam menghukumi mustahab mengenai hal ini adalah
karena tidak ada dalil yang menjelaskan mengenai kafarat jika mengingkari janji
dan hal inilah yang membedakan antara janji dengan nazar dan sumpah. Juga tak
ada dalil yang menjelaskan mengenai hukuman bagi seseorang yang ingkar janji
baik di akhirat maupun di dunia berupa hukum had.
Tarjih
Apakah ingkar janji itu berdosa? Sebagaimana
uraian diatas serta pendapat jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka jawabnya
adalah tidak berdosa karena nash-nash yang membicarakan mengenai hal ini bersifat
himbauan dan dalam kaedah ushul fiqih suatu perintah (amru) yang bersifat
himbauan maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Sifat himbauan adalah berisi
anjuran serta fadhilah jika meaksanakan atau meninggalkannya dan sebaliknya tak
ada dalil yang menunjukan hal tersebut berdosa dimana ada ancaman di akhirat
atau berupa hudud bagi yang melanggar atau kafarat bagi yang melanggar namun
hendak bertaubat. Akan tetapi perlu diperhatikan juga dari segi yang lain yaitu
dusta, maka dalam segi kedustaan maka hukumnya berdosa.
Memenuhi
janji merupakan sebuah kebaikan dan merupakan akhlak yang terpuji. Dengan
memenuhi janji, maka akan semakin bertambah derajat ketakwaan di sisi Allah subhanahu
wa ta’ala serta bertambah pula integritas serta kepercayaan kepada pemberi
janji. Sebaliknya, dengan ingkar janji maka akan membuat reputasi seseorang
menjadi buruk, bahkan bisa menjadi bahan pergunjingan serta hilangnya rasa
kepercayaan kepada si pemberi janji, selain itu seseorang yang telah ingkar
janji maka telah ada salah satu tanda kemunafikan dalam dirinya, dimana jika
hal tersebut terus dilakukan maka seseorang akan semakin menjerumuskan dirinya
dalam kebinasaan. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Hukum Menepati Janji"