“Dan
tidak diragukan lagi bahwasanya melarang manusia dari bid'ah yang mungkar ini merupakan
cara menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka banyak pintu-pintu
kebaikan, dan menutup banyak pintu-pintu keburukan.” (I’anatuth Thalibin, Jilid
2 hal. 165-166)
Tahlilan
atau kenduri merupakan hal yang sudah tak asing lagi di masyarakat, bahkan
sudah menjadi budaya dimana masyarakat menganggap aib jika ada sebuah keluarga
yang tidak mengadakan hal ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kenduri bermakna perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, minta berkat dan
sebagainya. Biasanya kenduri ini dibarengi dengan membaca Al-Quran dan juga
do’a-do’a yang dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk sang
mayit. Namun yang menjadi titik permasalahnnya adalah ketika hal ini dianggap
menjadi suatu ibadah sunnah yang bernilai pahala jika dikerjakan, karena suatu
hal yang terikat secara praktis tentu saja membutuhkan dalil dari Al-Quran dan
As-Sunnah, akan tetapi dalil mengenai hal ini tidak ditemukan dalam Al-Quran
serta Al-Hadits. Maka untuk menimbang hal ini, maka alangkah baiknya jika kita
perhatikan bagaimana fatwa ulama mengenai hal ini karena mereka para ulama
lebih faham mengenai masalah-masalah seperti ini, dan pada artikel ini penulis
akan mengemukakan fatwa-fatwa dari Ulama besar Madzhab Asy-Syafi’i karena
kebanyakan pelaku dari kenduri arwah atau tahlilan ini mengaku bermadzhab
Asy-Syafi’i.
Sebelum
penulis melampirkan fatwa-fatwa, alangkah baiknya kita melihat terlebih dahulu
mengenai apa saja yang terdapat dalam kenduri arwah atau tahlilan. Jika kita
perhatikan secara kaifiyat, maka setidaknya ada dua pokok perkara yang menyusun
kenduri arwah atau tahlilan yaitu membaca Al-Quran atau do’a-do’a yang
ditujukan untuk si mayit atau istilahnya kirim hadiah pahala kemudian
dilanjutkan dengan perjamuan makan, bahkan tak jarang yang memberikan bekal
makanan ketika pulang kepada tamu yang datang ke tahlilan atau yang lebih
dikenal oleh masyarakat dengan sebutan makanan berkat.
Untuk
perkara pertama yang digaris bawahi adalah mengenai membaca Al-Quran atau
do’a-do’a yang ditujukan untuk si mayit atau istilahnya kirim hadiah pahala.
Mengenai hal ini, penulis sebelumnya telah menjabarkan dalam artikel Kirim
Pahala Bacaan Al-Quran untuk Mayit yang pada intinya hal ini masih menjadi
ikhtilaf para ulama mengenai sampai atau tidaknya pahala bacaan Al-Quran tersebut
kepada mayit, namun secara resmi Madzhab Asy-Syafi’i menyatakan bahwa
menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran adalah tidak sampai kepada mayit dengan
landasan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا
سَعَى
“Bahwa manusia tidak akan mendapatkan pahala kecuali
dari apa yang telah dia amalkan.” (QS. An-Najm [53] : 39)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
ومن وهذه الآية الكريمة استنبط
الشافعي، رحمه الله، ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى؛ لأنه
ليس من عملهم ولا كسبهم
“Dari ayat ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan
ulama yang mengikuti beliau menyimpulkan, bahwa menghadiahkan pahala bacaan
Al-Quran tidak sampai kepada mayit. Karena itu bukan bagian dari amal mayit
maupun hasil kerja mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 7 hal. 465)
Akan
tetapi untuk do’a-do’a serta sedekah maka hal tersebut dapat bermanfaat bagi si
mayit sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari rahimahullah:
وينفعه أي الميت من وارث وغيره صدقة ودعاء، بالإجماع
وغيره
“Sedekah atau doa baik dari ahli waris maupun yang
lainnya, bisa bermanfaat bagi mayit dengan sepakat ulama.” (Fathul Wahhab,
Jilid 2 hal. 31)
Sedangkan untuk perkara kedua yaitu
mengenai perjamuan makan atau menghidangkan makanan oleh ahli mayit kepada
mereka yang datang untuk kenduri arwah alias tahlilan maka berikut adalah
fatwa-fatwa ulama Madzhab Asy-Syafi’i mengenai perkara ini:
1. Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah
Imam
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah berpendapat mengenai hal
yang berhubungan dengan menghidangkan makanan bahwa yang seharusnya menghidangkan
makanan bukanlah ahli mayit akan tetapi tetangga, kerabat atau orang yang
melayat untuk menghibur ahli mayit dari kesedihan mereka sebagaimana fatwa Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah:
وأحب لجيران الميت
أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر
كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله
عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإنه قد جاءهم أمر يشغلهم
“Dan
aku menyukai apabila tetangga mayit atau sanak kerabatnya membuat makanan untuk
ahli mayit yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari pada hari
kematian sang mayat. Karena sesungguhnya hal itu adalah sunnah merupakan
kebaikan dan itu adalah perbuatan orang-orang yang baik sebelum kami dan
sesudah kami, karena sebagaimana telah datang kabar mengenai kematian Ja’far,
maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Buatkanlah oleh kalian
makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka
keadaan yang menyibukan mereka.“ (Al-Umm, Jilid 1 hal. 278)
Selain itu, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
juga membenci Al-Ma’tam yaitu perkumpulan orang-orang di rumah ahli mayit
walaupun tidak ada ratapan maupun tangisan dalam perkumpulan tersebut. Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وأكره المأتم، وهي الجماعة، وإن لم يكن
لهم بكاء فإن ذلك يجدد الحزن، ويكلف المؤنة مع ما مضى فيه من الأثر
“Aku
membenci Al-Ma’tam (perkumpulan pada terjadinya musibah), dan adalah sebuah
kelompok (jama’ah), walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, karena
yang demikian akan memperbaharui kesedihan, dan membebani biaya bersamaan
perkara yang sebelumnya pernah terjadi (membekas) padanya” (Al-Umm, Jilid 1 hal.
279)
2. Imam
An-Nawawi rahimahullah
Imam
Abu Zakariyya Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai
berkumpulnya manusia di rumah ahli mayit, dan beliau mengatakan ini bid’ah dan
merupakan bentuk kemaksiatan. Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
قال أصحابنا رحمهم الله : ولو كان
النساء ينحن لم يجز اتخاذ طعام لهن ، لأنه اعانة على المعصية. قال صاحب الشامل و
غيره : وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ ، وهو بدعة
غير مستحبة. هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله
عنه قال : كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة.
رواه أحمد بن حنبل وابن ماجه بإسناد صحيح
“Para
sahabat kami (ulama madzhab Asy-Syafi’i) rahimahumullah berkata: “Seandainya
para wanita melakukan niyahah (ratapan) maka tidak boleh menghidangkan makanan
bagi mereka karena sesungguhnya hal tersebut merupakan bentuk membantu dalam
kemaksiatan.” Penulis Asy-Syamil dan juga lainnya berkata: “Adapun
menghidangkan makanan oleh ahli mayit dan mengumpulkan manusia atasnya maka tidaklah
ada dalil naqlinya sama sekali dan hal itu adalah bid’ah dan bukan mustahab
(sunnah).” Ini merupakan perkataan penulis Asy-Syamil dan dalil untuk pendapat
ini adalah hadits Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Kami
memandang berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayit termasuk niyahah.” Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan
Ibnu Majah dengan sanad yang shahih.” (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Jilid 5
hal. 290)
3. Imam
Ar-Ramli rahimahullah
Syaikh
Syihabuddin Al-Qaliyubi Al-Mishri Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab
Hasyiyah Al-Qaliyubi meriwayatkan perkataan Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli rahimahullah.
Imam Ar-Ramli rahimahullah berkata:
ومن البدع المنكرة المكروه فعلها. كما
في الروضة ما يفعله الناس مما يسمى بالكفارة، ومن صنع طعام للاجتماع عليه قبل
الموت أو بعده، ومن الذبح على القبر، بل ذلك كله حرام إن كان من مال محجور ولو من
التركة، أو من مال ميت عليه دين وترتب عليه ضرر، أو نحو ذلك، والله أعلم
“Diantara
bid’ah mungkar yang dibenci mengerjakannya, sebagaimana didalam Ar-Raudhah
yaitu apa yang manusia melakukannya seperti yang dinamakan kaffarah yaitu
menghidangkan makanan untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau setelah
kematian, dan menyembelih diatas kubur bahkan semua itu haram jika berasal dari
harta yang terlarang walaupun dari harta peninggalan, atau dari harta mayit
yang masih memiliki tanggungan hutang, menyebabkan dhalar atau seumpamanya.
Wallahu a’lam.” (Hasyiyah Al-Qaliyubi, Jilid 1 hal. 353)
4. Imam
Al-Khathib Asy-Syarbini rahimahullah
Imam
Muhammad Al-Khathib Asy-Syarbini rahimahullah dalam kitab Mughni
Al-Muhtaj berkata:
وحرم تهيئته
لنحو نائحة كنادبة لأنها إعانة على معصية قال ابن الصباغ وغيره أما اصطناع أهل
الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
“Dan
haram menyediakan makanan untuk wanita-wanita yang meratap seperti
menyebut-nyebut karena itu adalah maksiat, Ibnu Ash-Shabbagh dan lainnya
berkata: “Adapun menghidangakan makanan oleh ahli mayit dan manusia berkumpul
atasnya, maka hal itu bid’ah bukan mustahab (sunnah).” (Mughni Al-Muhtaj, Jilid
1 hal. 386)
5. Syaikhul
Islam Zakariyya Al-Anshari rahimahullah
Syaikhul
Islam Zakariyya Al-Anshari Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa
berkumpul di rumah ahli mayit dan menghidangkan makanan atasnya adalah perkara
bid’ah dan bukan sunnah, bahkan beliau dengan tegas mengatakan hal ini haram.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
ويكره لأهله أي الميت طعام أي صنع طعام
يجمعون عليه الناس أخذ كصاحب الأنوار الكراهة من تعبير الروضة والمجموع بأن ذلك بدعة
غير مستحب واستدل له في المجموع بقول جرير بن عبد الله كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت
وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة رواه الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح وليس
في رواية ابن ماجه بعد دفنه وهذا ظاهر في التحريم
“Dan
dibenci bagi ahli mayit untuk menghidangkan makanan yang dimana manusia
berkumpul atasnya, mereka mengambil makanan itu seperti orang yang sedang
berbahagia padahal mereka sedang kesulitan dari penjelasan dalam Ar-Raudhah dan
Al-Majmu’. Karena sesungguhnya itu bid’ah bukan mustahab (sunnah). Dan dalil
mengenai hal ini dalam Al-Majmu’ yaitu dengan perkataan Jarir bin Abdullah:
“Kami memandang berkumpul di rumah ahli mayit dan membuat makanan setelah
dikuburkannya mayit termasuk niyahah.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Majah dengan sanad shahih dan tidak diriwayatkan oleh Ibnu Majah setelah
penguburannya dan ini jelas haram.” (Asna Al-Mathalib fi Syarhi Raudh Ath-Thalib,
Jilid 1 hal. 335)
6. Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah
Al-Allamah
Syaikh Ahmad bin Hajar Al-Haitami rahimahullah dalam Tuhfah Al-Muhtaj li
Syarh Al-Minhaj berkata:
ويسن لجيران أهله أي الميت تهيئة طعام
يشبعهم يومهم وليلتهم، للخبر الصحيح اصنعوا لآل جعفر طعاما فقد جاءهم ما
يشغلهم.ويلح عليهم في الاكل ندبا، لانهم قد يتركونه حياء، أو لفرط جزع. ويحرم
تهيئه للنائحات لانه إعانة على معصية، وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا
الناس إليه، بدعة مكروهة – كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي الله عنه: كنا نعد
الاجتماع لى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة. ووجه عده من النياحة ما
فيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن. ومن ثم كره اجتماع أهل الميت ليقصدوا بالعزاء، بل
ينبغي أن ينصرفوا في حوائجهم، فمن صادفهم عزاهم.
“Dan
dianjurkan bagi para tetangga ahli mayit untuk menyiapkan makanan yang cukup
untuk mengenyangkan ahli mayit selama sehari dan semalam. Dalilnya adalah
sebuah hadits yang shahih, “Buatkan makanan untuk keluarga Ja’far karena telah
datang kepada mereka duka yang menyibukkan mereka -dari menyiapkan makanan-”
Dan dianjurkan hukumnya ahli mayit untuk agak dipaksa agar mau menikmati
makanan yang telah disiapkan untuk mereka karena boleh jadi mereka tidak mau
makan karena malu atau sangat sedih. Dan haram hukumnya menyediakan makanan
untuk wanita yang meratapi mayit karena tindakan ini merupakan dukungan
terhadap kemaksiatan. Kebiasaan sebagian orang berupa keluarga mayit membuat
makanan lalu mengundang para tetangga untuk menikmatinya adalah bid’ah
makruhah. Demikian pula mendatangi undangan tersebut termasuk bid’ah makruhah.
Dalilnya adalah sebuah riwayat yang shahih dari Jarir: “Kami menilai
berkumpulnya banyak orang di rumah keluarga mayit, demikian pula aktivitas
keluarga mayit membuatkan makanan setelah jenazah dimakamkan adalah bagian dari
niyahah atau meratapi jenazah.” Alasan logis yang menunjukkan bahwa perkara
tersebut termasuk niyahah adalah karena perbuatan tersebut menunjukkan
perhatian berlebih terhadap perkara yang menyedihkan. Oleh karena itu, makruh
hukumnya ahli mayit berkumpul supaya orang-orang datang menyampaikan bela
sungkawa. Sepatutnya ahli mayit sibuk dengan keperluan mereka masing-masing
lantas siapa saja yang kebetulan bertemu dengan mereka menyampaikan bela
sungkawa.” (Tuhfah Al-Muhtaj li Syarh Al-Minhaj, Jilid1 hal. 577)
7. Syaikh Sulaiman Al-Jamal rahimahullah
Dalam kitab Hasyiah Al-Jamal ‘ala
Syarh Al-Manhaj, Syaikh Sulaiman Al-Jamal rahimahullah berkata:
ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشة والجمع
والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه
ضرر، أو نحو ذلك
“Dan
diantara bid’ah munkar yang dibenci untuk dilakukan adalah apa yang dilakukan
oleh manusia berupa Wahsyah dan berkumpulnya di hari keempat puluh, bahkan itu
semua menjadi haram jika pembiayaannya diambil dari harta Mahjur (orang yang
tidak atau belum diperkenankan membelanjakan hartanya) atau diambil dari harta
si mayit yang memiliki tanggungan hutang atau dapat menimbulkan madhorot bagi
mayit atau sejenisnya.” (Hasyiah
Al-Jamal 'ala Syarh Al-Manhaj, Jilid 2 hal. 216)
8. Syaikh Ibrahim Al-Baijuri rahimahullah
Syaikh Ibrahim Al-Baijuri rahimahullah
dalam kitabnya Hasyiah Al-Baijuri:
أما فعل أهل الميت لذلك وجمع الناس
عليه فبدعة غير مستحبة، بل تحرم الوحشة المعروفة وإخراج الكفارة وصنع الجمع والسبح
إن كان في الورثة محجور عليه إلا إذا أوصى الميت بذلك وخرجت من الثلث
“Dan apa yang dikerjakan oleh ahli
mayit (yaitu menghidangkan makanan) dan berkumpul manusia atasnya maka itu
bid’ah bukan mustahab (sunnah), akan tetapi haram melakukan wahsyah (berkumpul
pada malam hari kematian) yang telah dikenal dan juga harus mengeluarkan
kafarah (perjamuan makan) dan membuat perkumpulan apabila berasal dari warisan
itu terlarang atasnya kecuali jika mayit itu berwasiat akan hal itu maka dapat
dikeluarkan untuk tiga hari saja.” (Hasyiah Al-Baijuri, Jilid 1 hal. 385)
9. Syaikh
Abu Bakar Ad-Dimyathi rahimahullah
Syaikh
Abu Bakar Ad-Dimyathi rahimahullah dalam Kitab I’anatuth Thalibin
menjelaskan mengenai hal ini secara lengkap, beliau mengutip fatwa dari Syaikh
Ahmad bin Zaini Dahlan rahimahullah yang pada saat itu merupakan Mufti
Madzhab Asy-Syafi’i di Mekkah Al-Mukaramah. Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi rahimahullah
berkata:
وقد اطلعت على
سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام.وجواب منهم لذلك.
(وصورتهما).
ما قول
المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في
بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه
العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون
التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل لو
أراد رئيس الحكام - بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي - بمنع هذه
القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى
عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور
؟ أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور.
(الحمد لله وحده) وصلى
الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده.اللهم أسألك
الهداية للصواب.
نعم، ما يفعله
الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على
منعها والي الامر
وما اعتيد من جعل
أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه، بدعة مكروهة - كإجابتهم لذلك، لما صح عن جرير رضي
الله عنه.كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة الاهتمام
بأمر الحزن
وفي حاشية العلامة
الجمل على شرح المنهج: ومن البدع المنكرة والمكروه فعلها: ما يفعله الناس من الوحشةوالجمع
والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور، أو من ميت عليه دين، أو يترتب عليه
ضرر، أو نحو ذلك
ولا شك أن منع
الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء للسنة، وإماته للبدعة، وفتح لكثير من أبواب
الخير، وغلق لكثير من أبواب الشر، فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا، يؤدي إلى أن
يكون ذلك الصنع محرما.والله سبحانه وتعالى أعلم.
كتبه المرتجي
من ربه الغفران: أحمد بن زيني دحلان -مفتي الشافعية بمكة المحمية- غفر الله له،
ولوالديه، ومشايخه، والمسلمين
“Saya
telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekkah tentang
makanan yang dibuat oleh ahli mayat dan jawaban mereka tentang hal ini
(gambaran keduanya).
Apakah
pendapat para mufti yang mulia di tanah haram -semoga Allah senantiasa
menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi
khusus orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika
seseorang telah berpindah ke darul jaza’ (akhirat) dan orang-orang kenalannya
serta tetangga-tetangganya menghadiri ta’ziyah (melayat) maka telah berlaku
tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan karena rasa
malu yang meliputi ahli mayit maka merekapun bersusah payah untuk menyiapkan
berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan
tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah
yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini
agar mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau bersabda: “Buatkanlah makanan untuk
keluarga Ja’far”, maka sang kepala pemerintahan ini akan mendapatkan pahala
karena pelarangan tersebut? Berikanlah jawaban dengan tulisan dan dalil.
(Segala
puji hanya milik Allah) dan semoga shalawat dan salam untuk junjungan kita
Muhammad dan juga keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya
setelahnya. Ya Allah aku meminta kepad-Mu petunjuk kepada kebenaran. Benar,
perkara yang dilakukan oleh manusia yaitu dengan berkumpul di rumah ahli mayit
dan menyediakan makanan termasuk dari bid’ah yang mungkar, yang bagi orang yang
melarangnya akan mendapatkan pahala.
Dan
apa yang telah ditradisikan berupa membuat makanan oleh ahli mayit untuk
mengundang manusia kepadanya adalah bid’ah yang dibenci sebagaimana mendatangi
undangan mereka untuk acara tersebut, karena telah shahih riwayat dari Jarir radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata: “Kami (para sahabat) manganggap berkumpul di rumah si mayit
dan penghidangan makanan oleh mereka setelah pemakaman mayit adalah termasuk
Niyahah.” Adapun hal tersebut dianggap sebagai Niyahah karena didalamnya
terdapat unsur menambah kesedihan.
Dan
didalam kitab Hasyitul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj (disebutkan): Dan diantara bid’ah
munkar yang dibenci untuk dilakukan adalah apa yang dilakukan oleh manusia
berupa Wahsyah, Juma’ dan Arba’in, bahkan itu semua menjadi haram jika
pembiayaannya diambil dari harta Mahjur (orang yang tidak atau belum
diperkenankan membelanjakan hartanya) atau diambil dari harta si mayit yang
memiliki tanggungan hutang atau dapat menimbulkan madhorot bagi mayit atau
sejenisnya
Dan
tidak diragukan lagi bahwasanya melarang manusia dari bid'ah yang mungkar ini
(yaitu berkumpul di rumah ahli mayit dan menghidangkan makanan) merupakan cara
menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan, dan
menutup banyak pintu-pintu keburukan. Karena sesungguhnya manusia benar-benar
bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut
hukumnya haram. Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Ditulis
oleh yang mengharapkan ampunan dari Tuhannya, Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti
Madzhab Asy-Syafi'iyah di Mekah- semoga Allah mengampuninya dan kedua orang
tuanya dan guru-gurunya dan juga seluruh umat muslim.” (I’anatuth Thalibin,
Jilid 2 Hal. 165-166)
10. Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf rahimahullah
Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf rahimahullah
berkata:
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعو
الناس إليه بدعة مكروهة كإجابتهم لذلك وكره اجتماع أهل البيت ليقصدوا بالعزاء
“Apa yang diselenggarakan oleh ahli
mayit berupa menghidangkan makanan untuk memanggil manusia kepadanya adalah
bid’ah yang makruh, sebagaimana pula kehadiran mereka (kepada acara tersebut) dan
dibenci pula berkumpul di rumah ahli mayit karena mereka (ahli mayit) sedang
berada dalam keadaan susah.” (Tarsyih Al-Mustafidin Syarh Fath Al-Muin, Hal.
142-143)
11. Sayyid Muhammad Al-Jardani rahimahullah
Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jardani
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ومن البدع المكروه
ما يفعله الناس مما يسمى بالكفارة ومن صنع طعام للاجتماع عليه قبل الدفن أو بعده ومن
الذبح على القبر ومن الجمع والاربعين، بل كل ذلك حرام إن كان من مال الميت، و عليه
دين، أو كان في ورثته محجور عليه أو غائب
“Dan dari bid’ah yang makruh yaitu apa
yang
manusia melakukannya seperti yang dinamakan kaffarah yaitu menghidangkan makanan
untuk berkumpulnya manusia padanya sebelum atau setelah kematian, dan menyembelih
diatas kubur, dan berkumpul di hari keempat puluh, bahkan semua itu haram jika
berasal dari harta mayit yang memiliki tanggungan hutang atau dari harta waris Mahjur
(orang yang tidak atau belum diperkenankan membelanjakan hartanya) atau tak ada
(ahli warisnya).” (Fath Al-'Allam, Jilid 3 hal. 217-218)
12. Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi rahimahullah
Syaikh Sulaiman bin Muhammad
Al-Bujairimi rahimahullah berkata:
أما لو صنعوا من مال أنفسهم فبدعة غير محرم
“Dan apabila mereka menyajikan
(makanan kepada tamu) dari harta dari diri mereka sendiri, maka bid’ah tidak
sampai haram.” (Hasyiah Al-Bujairimi ‘ala Al-Khatib, Jilid 2 hal. 588)
13. Syaikh
Nawawi Al-Bantani rahimahullah
Mengenai
tradisi kenduri arwah atau tahlilan, Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani
rahimahullah yang merupakan ulama besar Nusantara dimana beliau adalah
peletak dasar-dasar pesantren di Nusantara pun mengecam akan hal ini. Beliau
berkata:
والتصدق عن الميت
بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقيـيده ببعض الْأيام
من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت
في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة، وبعد ذلك يفعل
كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني. أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة
دفن المييت المسمى بالوحشة فهو مكروه مالم يكن من مال الأيتام و إلا فيحرم، كذا في
كشف اللثام.
“Dan
sedekah untuk mayit dengan ketentuan syari’at adalah dianjurkan dan tidak
terikat hanya pada hari ketujuh atau lebih atau kurang, adapun mengaitkannya
dengan sebagian hari hanyalah bagian dari kebiasaan saja sebagaimana yang telah
difatwakan akan hal itu oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Dan sungguh telah berjalan menjadi
tradisi manusia yaitu bersedekah untuk mayit pada hari ketiga kematiannya dan
hari ketujuh dan sempurnanya pada hari kedua puluh dan pada hari keempat puluh
dan keseratus, dan setelah itu dilakukan haul setiap tahun pada hari
kematiannya sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh kami Yusuf As-Sanbalawaini.
Adapun makan-makan yang manusia berkumpul atasnya pada malam hari setelah
prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah maka itu makruh selama tidak
ada harta anak yatim, kecuali ada harta anak yatim maka itu haram, sebagaimana
terdapat dalam kasyful litsam.” (Nihayah Az-Zain fi Irsyad Al-Mubtadi'in, Hal.
281)
14. Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari rahimahullah
Syaikh
Muhammad Arsyad Al-Banjari rahimahullah seorang ulama besar Nusantara
bermadzhab Asy-Syafi’i dari tanah kalimantan dalam Kitabnya Sabilul Muhtadin
beliau berkata dalam bahasa melayu
lama:
(دان سنة) باڬ
سڬل
ايسى كمڤوڠ أورڠيڠ
كماتين دان سڬل كلورڬاڽ
جكلو جاوه سكلفون ممباوأ ماكنن مكانن اكن يڠ
كماتين سقدر چوكف اكندى فد سيڠڽ دان مالمڽ
أتاو سلما ادا مريكئت مشغول دان هندقله دسنتيساكن أتس مريكئت دڠن
ماكن سفيا تياد ضعيف مريكئت دڠن تياد ماكن. (دان مكروه) لاڬ
بدعه بڬ
يڠ
كماتين ممفربوة مكانن يڠدسروكنڽ
سڬل
مانسي أتس مماكندى دهول درفدمنانمدى دان كمدين درفداڽ
سفرة يڠتله
ترعادة. (دان
دمكينلاڬ) مكروه لاڬ
بدعه بڬ
سڬل
مريك يڠدسروڽ
ممفرڬنكن
سروڽ
دان حرام مڽدياكن مكانن اكن يڠ
مناڠس
دڠن
مپاوق كارن يڠدمكين ايت منلوڠ
أتس بربوة معصية
“(Dan sunnah) bagi segala isi kampung
orang yang kematian dan segala keluarganya jikalau jauh sekalipun membawa
makanan-makanan akan yang kematian sekedar cukup akannya pada siangnya dan
malamnya atau selama ada mereka itu masyghul dan hendaklah disenantiasakan atas
mereka itu dengan makan supaya tiada dha’if mereka itu dengan tiada makan. (Dan
makruh) lagi bid’ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang disertakan
segala manusia atas memakannya dahulu daripada menanamnya dan kemudian
daripadanya seperti yang telah teradat. (Dan demikian lagi) makruh lagi bid’ah
bagi segala mereka yang diserunya mempergunakan serunya dan haram menyediakan
makanan akan yang menangis dengan menyauk karena yang demikian itu menolong
atas berbuat maksiat.” (Sabil Al-Muhtadin, Jilid 2 hal. 87)
Demikianlah fatwa-fatwa ulama besar
madzhab Asy-Syafi’i, sebenarnya masih banyak lagi yang memfatwakan mengenai hal
ini akan tetapi dari beberapa fatwa diatas maka kita bisa mengambil suatu
kesimpulan bahwa mengenai kenduri arwah atau tahlilan dimana didalamnya
terdapat perjamuan makan maka setidaknya para ulama madzhab Asy-Syafi’i
berpendapat sama yaitu hal ini sebaiknya dijauhi dan ditinggalkan karena
terdapat mudharat didalamnya juga hal ini merupakan bentuk bid’ah yang mungkar
walaupun beberapa ulama Madzhab Asy-Syafi’i tidak sampai menjatuhi hukuman
haram akan hal tersebut akan tetapi hanya sebatas makruh. Namun perlu pembaca
fahami, bahwa segala hal yang makruh bukan berarti kita diperbolehkan
melakukannya, karena sebagai seorang muslim yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya haruslah kita bersifat wara’ dalam hal ini. Iblis la’natullahu
‘alaih senantiasa stand by untuk menjebak manusia ke dalam dosa
melalui perkara-perkara makruh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ ابْنِ
آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ
“Maka
sesungguhnya Setan ikut mengalir dalam darah anak cucu Adam.” (HR. Al-Bukhari
no. 7171 dan Muslim no. 2174)
Al-Khathabi
rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, beliau berkata: “Dalam
hadits ini ada ilmu tentang dianjurkannya setiap manusia untuk menjauhi setiap
hal yang makruh yang bisa menjerumuskan kita ke dalam berbagai keraguan dan
membahayakan hati. Dan anjuran yang selamat dan lepas dari keraguan.” (Talbis
Iblis, Jilid 1 hal. 33)
Dan ada satu hal lagi yang perlu
digaris bawahi, bahwasanya pelaksanaan kenduri arwah atau tahlilan itu sendiri
sebagaimana fatwa-fatwa diatas masuk dalam kategori bid’ah. Dimana sudah tidak
diragukan lagi, bahwasanya melarang manusia dari bid'ah yang mungkar merupakan
cara menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka banyak pintu-pintu
kebaikan, dan menutup banyak pintu-pintu keburukan. Dan juga mengenai bid’ah,
jumhur ulama dari semua madzhab sepakat bahwa bid’ah merupakan bentuk kesesatan
yang dapat memasukan pelakunya kedalam neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
نَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ
، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ
الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ
“Barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan
yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya.
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang
diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap
kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578)
Maka akhir dari risalah ini, penulis
berdoa semoga kita semua diberikan petunjuk serta hidayah oleh Allah subhanahu
wa ta’ala agar bisa meninggalkan serta menjauhi segala perkara bid’ah yang
dapat memasukan kita ke dalam neraka, juga memberikan kekuatan kepada kita
untuk meninggalkan perkara-perkara haram, syubhat dan juga makruh dimana
perkara-perkara ini adalah perkara-perkara yang dijadikan Iblis sebagai penjerat
manusia untuk menemaninya kelak di neraka. Wallahu a’lam. Allahumma shalli ‘alaa
sayyidinaa Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi ajma’iin. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Kenduri Arwah atau Tahlilan dalam Pandangan Madzhab Asy-Syafi'i"