“Aku
diperintahkan memerangi manusia hingga bersaksi dengan bahwa tidak sesembahan
yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad utusannya, menegakkan sholat
dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah berbuat demikian maka darah dan
harta mereka telah terjaga dariku kecuali dengan hak islam, dan hisab mereka
diserahkan kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Tidak diragukan lagi bahwa
jihad adalah amal kebaikan yang Allah syari’atkan dan menjadi sebab kokoh dan
kemuliaan umat islam. Sebaliknya (mendapatkan kehinaan) bila umat Islam
meninggalkan jihad di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang
shohih (As-Salafiyun Wa Qadhiyah Falestina Fi Waaqi’ina Al Mu’ashir, 65).
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ
وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمْ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Dari Ibnu Umar beliau berkata: Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian telah
berjual beli ‘inah, mengambil ekor sapi dan ridho dengan pertanian serta
meninggalkan jihad maka Allah akan menimpakan kalian kerendahan (kehinaan).
Allah tidak mencabutnya dari kalian sampai kalian kembali kepada agama kalian.”
(HR. Abu Daud)
Ibnu Taimiyah menyatakan,
“Tidak diragukan lagi bahwa jihad melawan orang yang menyelisihi para rasul dan
mengarahkan pedang syariat kepada mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban
disebabkan pernyataan mereka untuk menolong para nabi dan rasul, dan untuk
menjadi pelajaran berharga bagi yang mengambilnya sehingga dengan demikian
orang-orang yang menyimpang menjadi kapok, termasuk amalan yang paling utama
yang Allah perintahkan kepada kita untuk menjadikannya ibadah mendekatkan diri
kepada-Nya.” (Ar-Radd ‘Ala Al-Akhna’I, 326-329)
Namun amal kebaikan ini harus
memenuhi syarat ikhlas dan sesuai dengan syariat islam karena kedua hal ini
adalah syarat diterima satu amalan. Di samping juga jihad bukanlah perkara
mudah bagi jiwa dan memiliki hubungan dengan pertumpahan darah, jiwa dan harta
yang menjadi perkara agung dalam Islam sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
فَإِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا إِلَى يَوْمِ
تَلْقَوْنَ رَبَّكُمْ أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ قَالُوا نَعَمْ قَالَ اللَّهُمَّ
اشْهَدْ فَلْيُبَلِّغْ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ
سَامِعٍ فَلَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
“Sesungguhnya darah, kehormatan dan harta kalian
diharamkan atas kalian (saling menzholiminya) seperti kesucian hari ini, pada
bulan ini dan di negri kalian ini sampai kalian menjumpai Robb kalian.
Ketahuilah apakah aku telah menyampaikan?” Mereka menjawab, “Ya”. Maka beliau
pun bersabda, “Ya Allah persaksikanlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan
kepada yang tidak hadir, karena terkadang yang disampaikan lebih mengerti dari
yang mendengar langsung. Maka janganlah kalian kembali kufur sepeninggalku,
sebagian kalian saling membunuh sebagian lainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 67 dan
Muslim no. 1679)
Demikian agungnya perkara jihad
ini menuntut setiap muslim melakukannya untuk menggapai cinta dan keridhoan
Allah. Tentu saja hal ini menuntut pelakunya untuk komitmen terhadap ketentuan
dan batasan syari’at, komitmen terhadap batasan dan hukum Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merealisasikan target dan
tujuan syari’at tanpa meninggalkan satu ketentuan dan batasannya, agar selamat
dari sikap ekstrim dan berlebihan sehingga jihadnya menjadi jihad syar’i di
atas jalan yang lurus dan dia mendapatkan akibat dan pahala yang besar
diakhirat nanti. Hal itu karena ia berjalan di atas cahaya ilahi, petunjuk dan
ilmu dari Al Qur’an dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Al-Quthuf Al-Jiyaad Min Hikam Wa Ahkam Al-Jihad, 4)
Oleh karena itu, sudah menjadi
kewajiban bagi setiap muslim untuk belajar mengenai konsep islam tentang jihad
secara benar dan bertanya kepada para ulama pewaris nabi tentang hal-hal yang
belum ia ketahui. Apalagi dalam permasalahan yang sangat penting dan berbahaya
ini, lagi-lagi di masa kaum muslimin tidak mengenal syari’atnya dengan benar.
Sebab bisa jadi yang dianggap jihad syar’i sebenarnya adalah jihad bid’ah.
Pengertian Jihad dalam
Pandangan Islam
Kata Jihad berasal dari kata
Al-Jahd (الجَهْد) dengan difathahkan huruf jimnya yang
bermakna kelelahan dan kesusahan atau dari Al-Juhd (الجُهْد) dengan didhommahkan huruf jimnya yang
bermakna kemampuan. Kalimat (بَلَغَ جُهْدَهُ) bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Sehingga orang yang berjihad dijalan Allah adalah orang yang mencapai kelelahan
karena Allah dan meninggikan kalimatNya yang menjadikannya sebagai cara dan
jalan menuju surga. Di balik jihad memerangi jiwa dan jihad dengan pedang, ada
jihad hati yaitu jihad melawan syetan dan mencegah jiwa dari hawa nafsu dan syahwat
yang diharamkan. Juga ada jihad dengan tangan dan lisan berupa amar ma’ruf nahi
mungkar. (Al-I’lam Bi Fawa’id Umdat Al-Ahkam, 10/267)
Sedangkan Ibnu Rusyd (wafat
tahun 595 H) menyatakan, “Jihad dengan pedang adalah memerangi kaum musyrikin
atas agama, sehingga semua orang yang menyusahkan dirinya untuk dzat Allah maka
ia telah berjihad di jalan Allah. Namun kata jihad fi sabilillah bila disebut
begitu saja maka tidak dipahami selain untuk makna memerangi orang kafir dengan
pedang sampai masuk islam atau memberikan upeti dalam keadaan rendah dan hina.”
(Muqaddimah Ibnu Rusyd 1/369)
Ibnu Taimiyah (wafat tahun
728H) mendefinisikan jihad dengan pernyataan, “Jihad artinya mengerahkan
seluruh kemampuan yaitu kemampuan mendapatkan yang dicintai Allah dan menolak
yang dibenci Allah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10/192-193)
Di tempat lainnya, beliau
rahimahullah juga menyatakan, “Jihad hakikatnya adalah bersungguh-sungguh
mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak
sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.”
(Majmu’ Al Fatawa, 10/191)
Tampaknya tiga pendapat di atas
sepakat dalam mendefinisikan jihad menurut syariat islam, hanya saja penggunaan
lafadz jihad fi sabilillah dalam pernyataan para ulama biasanya digunakan untuk
makna memerangi orang kafir. Oleh karena itu, Syaikh ‘Abdurrazaq bin ‘Abdul
Muhsin Al ‘Abaad menyatakan bahwa definisi terbaik dari jihad adalah definisi
Ibnu Taimiyah di atas dan beliau menyatakan: Dipahami dari pernyataan Ibnu
Taimiyah di atas bahwa jihad dalam pengertian syar’i adalah istilah yang
meliputi penggunaan semua sebab dan cara untuk mewujudkan perbuatan, perkataan
dan keyakinan (i’tiqad) yang Allah cintai dan ridhoi serta menolak perbuatan,
perkataan dan keyakinan yang Allah benci dan murkai. (Al-Quthuf Al-Jiyaad, 5)
Jenis dan Tingkatan Jihad
Kata jihad bila didengar banyak
orang maka konotasinya adalah jihad memerangi orang kafir. Padahal hal ini
hanyalah salah satu dari bentuk dan jenis jihad karena pengertian jihad lebih
umum dan lebih luas dari hal tersebut. Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim
menjelaskan jenis jihad ditinjau dari obyeknya dengan menyatakan bahwa jihad
memiliki empat tingkatan, yaitu (1) jihad memerangi hawa nafsu, (2) jihad
memerangi syetan, (3) jihad memerangi orang kafir dan (4) jihad memerangi orang
munafik. (Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad, 3/9) Namun dalam
keterangan selanjutnya Ibnul Qayyim menambah dengan jihad melawan pelaku
kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran. (Zaadul Ma’ad Fi Hadyi Khoiril ‘Ibaad,
3/10)
Kemudian beliau menjelaskan 13
tingkatan bagi jenis-jenis jihad di atas dengan menyatakan bahwa jihad
memerangi nafsu memiliki empat tingkatan:
1. Jihad memeranginya untuk
belajar petunjuk ilahi dan agama yang lurus yang menjadi sumber keberuntungan
dan kebahagian dalam kehidupan dunia dan akhiratnya. Siapa yang kehilangan ilmu
petunjuk ini maka akan sengsara di dunia dan akhirat.
2. Jihad memeranginya untuk
mengamalkannya setelah mengilmuinya. Kalau tidak demikian, maka sekadar hanya
mengilmuinya tanpa amal, jika tidak membahayakannya, maka tidak akan memberi
manfaat.
3. Jihad memeranginya untuk
berdakwah dan mengajarkan ilmu tersebut kepada yang tidak mengetahuinya. Kalau
tidak demikian, ia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan penjelasan
yang telah Allah turunkan. Dan ilmunya tersebut tidak bermanfaat dan tidak
menyelamatkannya dari adzab Allah.
4. Jihad memeranginya untuk
tabah menghadapi kesulitan dakwah, gangguan orang dan sabar memanggulnya karena
Allah.
Apabila telah sempurna empat
martabat ini maka ia termasuk Robbaniyyun. Hal ini karena para salaf sepakat
menyatakan bahwa seorang alim (ulama) tidak berhak disebut Robbani sampai ia
mengenal kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Sehingga orang yang
berilmu, beramal dan mengajarkannya sajalah yang dipanggil sebagai orang besar
di alam langit.
Adapun jihad memerangi syetan
memiliki dua tingkatan:
1. Memeranginya untuk menolak
syubhat dan keraguan yang merusak iman yang syetan arahkan kepada hamba.
2. Memeranginya untuk menolak
keingininan buruk dan syahwat yang syetan lemparkan kepadanya.
Jihad yang pertama (mengatasi
syubhat) dilakukan dengan yakin dan jihad yang kedua (mengatasi syahwat) dengan
kesabaran. Allah Ta’ala berfirman:
وَجَعَلْنَا
مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآَيَاتِنَا
يُوقِنُونَ
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu
pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka
sabar.Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24)
Allah menjelaskan bahwa
kepemimpinan agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan yakin, lalu dengan
kesabaran ia menolak syahwat dan keinginan rusak dan dengan yakin ia menolak
keraguan dan syubhat.
Sedangkan jihad memerangi orang
kafir dan munafik memiliki 4 tingkatan yaitu dengan hati, lisan, harta dan
jiwa. Jihad memerangi orang kafir lebih khusus dengan tangan sedangkan jihad
memerangi orang munafiq lebih khusus dengan lisan.
Sedang jihad memerangi pelaku
kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran memiliki 3 tingkatan yaitu (1) dengan
tangan bila mampu, (2) apabila tidak mampu, berpindah pada lisan, (3) bila juga
tidak mampu maka diingkari dengan hati.
Inilah tiga belas martabat
jihad dan barang siapa yang meninggal dan belum berperang dan tidak pernah
membisikkan jiwanya untuk berperang maka meninggal diatas satu cabang
kemunafiqan (HR. Muslim no. 1910, Zaad Al-Ma’ad, 3/9-10)
Dari keterangan Ibnul Qayyim di
atas dapat diambil beberapa pelajaran:
1. Banyak kaum muslimin
memahami jihad hanya sekedar jihad memerangi orang kafir saja, ini adalah
pemahaman parsial.
2. Sudah seharusnya seorang
muslim memulai jihad fi sabilillah dengan jihad nafsi untuk taat kepada Allah
dengan cara memerangi jiwa untuk menuntut ilmu dan memahami agama (din) Islam
dengan memahami Al Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman salaf sholeh.
Kemudian mengamalkan seluruh ilmu yang dimilikinya, karena maksud tujuan ilmu
adalah diamalkan. Setelah itu barulah ia memerangi jiwa untuk berdakwah
mengajak manusia kepada ilmu dan amal lalu bersabar dari semua gangguan dan
rintangan ketika belajar, beramal dan berdakwah. Inilah jihad memerangi nafsu
yang merupakan jihad terbesar dan didahulukan dari selainnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah
menyatakan, “Jihad memerangi musuh Allah yang di luar (jiwa) adalah cabang dari
jihad memerangi jiwa, sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaih wa sallam:
وَالْمُجَاهِدُ
مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللَّهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى
اللهُ عَنْهُ
“Mujahid adalah orang yang berjihad memerangi
jiwanya dalam ketaatan kepada Allah dan Muhajir adalah orang yang berhijrah
dari larangan Allah.” (HR. Ahmad 6/21, sanadnya shahih)
Maka jihad memerangi jiwa
didahulukan dari jihad memerangi musuh-musuh Allah yang di luar (jiwa), dan
menjadi induknya. Karena orang yang belum berjihad (memerangi) jiwanya terlebih
dahulu untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan serta belum
memeranginya di jalan Allah, maka ia tidak dapat memerangi musuh yang di luar.
Bagaimana ia mampu berjihad memerangi musuhnya padahal musuhnya yang di
sampingnya berkuasa dan menjajahnya serta belum ia jihadi dan perangi. Bahkan
tidak mungkin ia dapat berangkat memerangi musuhnya sebelum ia berjihad memerangi
jiwanya untuk berangkat berjihad?” (Zaad Al-Ma’ad, 3/6)
Jihad memerangi jiwa hukumnya
wajib atau fardhu ‘ain tidak bisa diwakili orang lain, karena jihad ini
berhubungan dengan pribadi setiap orang. (Al-Quthuf Al-Jiyaad, 15)
3. Para ulama menjelaskan bahwa
pintu syetan menggoda manusia ada dua yaitu syahwat dan syubhat. Syetan
mendatangi manusia dan melihat apabila ia seorang yang lemah iman, dan sedikit
ketaatannya kepada Allah, maka syetan menariknya melalui jalan atau pintu
syahwat. Bila syetan mendapatinya sangat komitmen dengan agamanya dan kuat
imannya maka dia akan menariknya dari pintu syubhat, keraguan dan
menjerumuskannya kepada kebid’ahan. (Majalah As-Sunnah edisi 09/tahun
IX/1426H/2005M hal 55-60)
Jihad melawan syetan ini
hukumnya fardhu ‘ain juga karena berhubungan langsung dengan setiap pribadi manusia,
sebagaimana firman Allah:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً
“Sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu).” (QS. Fathir: 6)
4. Jihad melawan orang kafir
dan munafik dilakukan dengan hati, lisan, harta dan jiwa sebagaimana disabdakan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu:
جَاهِدُوا
الْمُشْرِكِينَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan
lisan kalian.” (HR. Abu Daud no. 2504, An-Nasai no. 3096 dan Ahmad 3/124.
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Pengertian jihad dengan hati
melawan orang kafir dan munafik adalah membenci mereka dan tidak memberikan
loyalitas dan kecintaan serta senang dengan kerendahan dan kehinaan mereka dan
sikap lainnya yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah yang berhubungan dengan hati.
Pengertian jihad dengan lisan
adalah dengan mejelaskan kebenaran, membantah kesesatan dan kebatilan-kebatilan
mereka dengan hujjah dan bukti kongkrit.
Pengertian jihad dengan harta
adalah dengan menafkahkan harta di jalan Allah dalam perkara jihad perang atau
dakwah serta menolong dan membantu kaum muslimin. Adapun jihad dengan jiwa
maksudnya adalah memerangi mereka dengan tangan dan senjata sampai mereka masuk
islam atau kalah, sebagaimana firman Allah:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا
عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan firman-Nya:
قَاتِلُوا
الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada
Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa
yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
(QS. At-Taubah: 29)
Kaum kafir dan munafik
diperangi dengan keempat jihad di atas. Namun kaum kafir lebih khusus dihadapi
dengan tangan karena permusuhannya terang-terangan. Sedangkan munafik khusus
dihadapi dengan lisan karena permusuhannya tersembunyi dan gamang dalam keadaan
mereka di bawah kekuasaan kaum muslimin, sehingga diperangi dengan hujjah dan
dibongkar keadaan asli mereka serta dijelaskan sifat-sifat mereka, agar
orang-orang tahu hal itu dan berhati-hati dari mereka dan dari terjerumus pada
kemunafikan tersebut. (Al-Quthuf Al-Jiyaad, 12-13)
5. Ibnul Qayyim mengutarakan
bahwa jihad memerangi pelaku kezaliman, kebid’ahan dan kemungkaran dilakukan
dengan tiga tingkatan, yaitu (1) dengan tangan, (2) bila tidak mampu maka
dengan lisan, dan (3) bila tidak mampu juga maka dengan hati. Hal ini
didasarkan pada hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka
hendaklah ia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka dengan
lisannya. Apabila tidak mampu juga maka dengan hatinya dan itulah
selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim)
Setiap muslim dituntut berjihad
menghadapi pelaku perbuatan zhalim, bid’ah dan mungkar sesuai dengan
kemampuannya dan dengan memperhatikan kaedah-kaedah amar ma’ruf nahi mungkar.
Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam
hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ نَبِيٍّ
بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ
حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ
ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ
مَا لَا يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ
بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ
وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidak ada seorang nabi pun yang Allah utus pada satu umat
sebelumku kecuali memiliki pembela-pembela (hawariyun) dari umatnya dan
sahabat-sahabat yang mencontoh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya, kemudian
datang generasi-generasi pengganti mereka yang berkata apa yang tidak mereka
amalkan dan mengamalkan yang tidak diperintahkan. Siapa yang menghadapi mereka
dengan tangannya maka ia seorang mukmin, siapa yang menghadapi mereka dengan
lisannya maka ia seorang mukmin, dan siapa yang menghadapi mereka dengan
hatinya maka ia seorang mukmin. Tidak ada setelah itu sekecil biji sawi dari
iman.” (HR. Muslim no. 71)
Setiap muslim pasti mampu
melakukan jihad jenis ini dengan hatinya dan itu dengan cara mengingkari dan
membenci kebid’ahan, kezhaliman dan kemungkaran dengan hatinya dan berharap
hilangnya hal-hal tersebut.
Maksud Tujuan Jihad
Satu kepastian bahwa Allah
tidak mewajibkan dan mensyariatkan sesuatu tanpa adanya maksud tujuan yang
agung. Demikian juga jihad disyariatkan untuk tujuan-tujuan tertentu yang telah
dijelaskan para ulama dalam pernyataan-pernyataan mereka. Di sini akan
disampaikan sebagian pernyataan tersebut agar dapat kita petik maksud dan
tujuan jihad dalam Islam.
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menyatakan, ”Maksud tujuan jihad adalah meninggikan kalimat Allah dan menjadikan
agama seluruhnya hanya untuk Allah.” (Majmu’ Fatawa, 15/170)
2. Beliau rahimahullah juga
menyatakan, “Maksud tujuan jihad adalah agar tidak ada yang disembah kecuali
Allah, sehingga tidak ada seorang pun yang berdoa, sholat, sujud dan puasa
untuk selain Allah. Tidak berumroh dan berhaji kecuali ke rumahNya (Ka’bah),
tidak disembelih sembelihan kecuali untukNya dan tidak bernazar dan bersumpah
kecuali denganNya …” (Majmu’ Fatawa, 35/368)
3. Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di menyatakan, “Jihad ada dua jenis. Pertama, jihad dengan tujuan
untuk kebaikan dan perbaikan kaum mukminin dalam aqidah, akhlak, adab (prilaku)
dan seluruh perkara dunia dan akhirat mereka serta pendidikan mereka baik
ilmiyah dan amaliyah. Jenis ini adalah induk jihad dan tonggaknya, serta
menjadi dasar bagi jihad yang kedua yaitu jihad dengan maksud menolak orang
yang menyerang islam dan kaum muslimin dari kalangan orang kafir, munafik,
mulhid dan seluruh musuh-musuh agama dan menentang mereka.” (Wujub Al-Ta’awun
Baina Al-Muslimin min Al-Majmu’ah Al-Kaamilah, 5/186)
4. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz
menyatakan, “Jihad terbagi menjadi dua yaitu jihad ath tholab (attack/
menyerang) dan jihad ad daf’u (defence/ bertahan). Maksud tujuan keduanya
adalah menyampaikan agama Allah dan mengajak orang mengikutinya, mengeluarkan
manusia dari kegelapan kepada cahaya islam dan meninggikan agama Allah di muka
bumi serta menjadikan agama ini hanya untuk Allah semata, sebagaimana
dijelaskan dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا
عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Dan dalam surat Al-Anfal:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya
jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal:
39), dan ayat
yang semakna dengannya banyak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri menyatakan:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا
بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan memerangi manusia hingga
bersaksi dengan bahwa tidak sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan
Muhammad utusannya, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Apabila mereka
telah berbuat demikian maka darah dan harta mereka telah terjaga dariku kecuali
dengan hak islam, dan hisab mereka diserahkan kepada Allah.” (Muttafaqun
Alaihi) (Majmu’ Fatawa Wa Maqaalat Mutanawi’ah, 18/70)
Dari keterangan para ulama di
atas jelaslah bahwa maksud tujuan disyariatkannya jihad adalah untuk menegakkan
agama Islam di muka bumi ini dan bukan untuk dendam pribadi atau golongan
sehingga dibutuhkan sekali pengetahuan tentang konsep islam dalam jihad baik
secara hukum, cara berjihad dan ketentuan harta rampasan perang sebagai satu
konsekwensi dari pelaksanaan jihad. Demikian mudah-mudahan bermanfaat.
0 Comment for "Makna Jihad"