Kemuliaan Sifat Wara'

Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang adalah jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2318)


Pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan kemuliaan Sifat wara, yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Telah sampai kepada kita, riwayat-riwayat orang-orang salaf, sesuatu yang tidak dapat dipercaya oleh akal pikiran orang jaman sekarang. Yakni mengenai kewara’an dan ketakwaan mereka. Dinukil dari sebuah kisah bahwa Imam Nawawi tinggal di Syam, hidup dan mati disana. Kendati demikian, beliau belum pernah merasakan buah-buahan dari negeri Syam tersebut. Ketika beliau ditanya mengapa dia berbuat demikian, maka jawab beliau, “Sesungguhnya disana ada kebun-kebun wakaf yang hilang, dan aku khawatir makan dari harta wakaf tersebut.

Karena kewara’an beliau ini, maka Allah membukakan pintu hatinya. Banyak orang mengutip suatu kejadian ajaib dari Imam Nawawi yakni suatu ketika lampunya padam karena kehabisan minyak. Tiba-tiba jari-jari tangannya mengeluarkan cahaya sehingga beliau dapat menulis dibawah cahaya yang keluar dari jari-jarinya tersebut. Beliau banyak menyusun tulisan-tulisan yang yang tidak dapt dipercaya oleh akal kalau tulisan tulisan itu adalah karya manusia. Sebagian dari kitab tersebut di atas ditetapkan sebagai buku rujukan di Program Doktoral, Pasca Sarjana di perguruan Tinggi.

Coba kalian kira-kira, berapa banyak buku yang telah disusun beliau saat dilahirkan sampai wafatnya, kemudian karangan tersebut bagilah dengan hari-hari kehidupan beliau. Perlu diketahui bahwa beliau hanya diberi usia 42 tahun oleh Allah. Bagilah seluruh kitab-kitabnya (lembar halamannya) dengan umur-umrunya (hari-harinya), maka kalian kan dapati bahwa setiap harinya beliau mampu menghasilkan satu karangan.

Wara’ itu menimbulkan kekuatan hati dan mewariskan keperkasaan. Ketika Zahir Baibars (Penguasa Syam) meminta fatwa ulama agar kaum Muslimin mengumpulkan harta untuk membeli senjata. Maka seluruh ulama Syam memberi fatwa tersebut, kecuali Imam Nawawi. Lantas Zahir Baibars mencerca Imam Nawawi karena hal itu. Kata Zhahir, “Saya hendak menyingkirkan musuh-musuh Allah dan menjaga wilayah Islam. Lalu mengapa engkau tidak meu memberikan kepadaku fatwa suapaya kaum Muslimin mengumpulkan harta untuk membeli persenjataan?” Maka kata-kata Zhahir tersebut beliau jawab,  “Sungguh, dahulu engaku datang kepada kami sebagai hamba sahaya yag tidak punya harta sedikitpun, sekarang saya lihat di sekelilingmu, ada pelayan laki-laki, pelayan-pelayan perempuan, istana-istana, dan sawah ladang yang luas. Padahal itu bukan hartamu. Jika engkau jual itu semua untuk membeli senjata, alau sesudah itu engkau masih membutuhkan lagi, maka saya akan memberi fatwa kepadamu supaya mengumpulkan harta kaum Muslimin. ”Zahir berteriak karena marahnya, “Keluar engkau dari Negeri Syam.” Maka beliau keluar dari negeri Syam ke desa Nawa.

Tidak lama setelah keluarnya Imam Nawawi dari negeri Syam para ulam negeri Syam berbondong-bondong menemui Zahir Baibars dan berkata, “Kami tak dapat berbuat apa-apa tanpa izin Muhyiddin An-Nawawi.”

“Jika demikian halnya, kembailkan ia.” Kata Zahir. Kemudian mereka mebujuk beliau agar mau kembali ke Syam. Beliau berkata, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan memasukinya selama Zahir masih ada disana.”

Keperkasaan, ketinggian! Apa sebenarnya kunci yang menjadikan hati dapat bersikap sedemikian gagahnya? Apa sebenarnya yang menjadikan jiwa dapat melambung demikian tingginya? Itulah wara’ yang menjadi kucinya (dengan izin Allah). Yang menumbuhkan kegagahan, keperwiraan, serta kekuatan. Hati yang dihiasi sifat wara’ adalah hati yang gagah, berani, kuat, dan perkasa. Adapun hati yang bergelimang dalam syahwat dan syubhat adalah hati yang lemah, sakit, gemetar melihat polisi yang lewat di jalan karena menyangka polisi tersebut mengamat-amatinya. Adapun yang memilki hati yang benar, dada yang lapang, hati yang tumbuh diatas sifat wara’ hati seperti ini akan besar dan kuat.

Kemudian Allah mengabulkan sumpah Nawawi, tak lama sesudah itu, yakni sesudah Imam Nawawi mengucapkan sumpahnya, Zahir Baibars mati. Maka kembaillah Imam Nawawi ke negeri Syam.

Dari Rumahmu Muncul Wara’

Saudara perempuan Basyar Al-Khafi datang ke Imam Ahmad. “Wahai Imam, apakah saya boleh menenun di bawah cahaya lampu milik orang-orang zalim?”

Basyar Al-Khafi adalah pemimpin besar. Sebuah lampu besar dengan sinar yang terang diletakan di rumah, menerangi daerah sekltarnya. Orang-orang pun memanfaatkan cahaya terang untuk beraktivitas.

Saudarinya datang untuk bertanya, apakah boleh ia menenun menggunakan sinar dari lampu tersebut. Imam Ahmad pun bertanyam, “Siapa dia (perempuan) ini?” Dijawab, “Dia saudari perempuan Basyar Al-Khafi.” Lalu Imam Ahmad berkata, “Dari rumahmu, muncullah sifat wara.”

Ini adalah comtoh kecil yang senantiasa dikenang oleh Islam.

Tamak Diobati dengan Wara’

Hasan Al-Bashri rahimahullah takjub dengan seorang anak ketika  ia ditanya, “Nak, apa yang bisa menjaga agama?” Anak tersebut menjawab, “Sifat wara.” Lalu ia ditanya lagi. “Lalu apa yang membuat agama itu rusak?” Ia menjawab, “Tamak.”

Berapa banyak ketamakan memusnahkan harapan umat yang telah berusaha diraih dengan keras? Berapa banyak dai yang hilang ditelan ketamakan terhadap dunia?

Sebaliknya, sepanjang sejarah tidak ada yang dapat menjaga Islam selain sifat wara’ dari orang-orang saleh. Engkau pun dapat merasakan bagaimana ketika bergaul dengan orang-orang yang wara’, bagaimana sikap mereka terhadap dinar dan dirham, atau ketika jabatan disodorkan kepada mereka.

Kita berharap, semoga Allah menyucikan hati-hati kita dari ketamakan terhadap dunia. Semoga Allah tidak meyisakan noktah-noktah dosa dalam diri kita. Ketika dunia tampak bersinar, semua pun berkorban sekeras mungkin untuk meraihnya. Kilat ketamakan terhadap kepemimpinan atau kekuasaan, semuannya mengorbankan kesucian. Engkau lihat manusia membunuh dan menyembelih. Engkau lihat manusia fakir. Namun pada saat yang sama ia sibuk oleh pekerjaan siang dan malam. Bagaimana ia dapat menjaga kehormatan seorang hina dan zuhud yang tidak ada bandingannya dari dunia sedikitpun? Bagaimana dia memandang akhiratnya?

“Dunia dibandingkan dengan akhirat sepeti seorang dari kalian yang mencelupkan jarinya ke lautan. Hendaklah ia melihat apa yang terbawa oleh jarinya setelah tercelup.” Seberapa banyak air laut yang terbawa oleh jari-jari tersebut? “Dunia dibandingkan akhirat seperti tempat cemeti kalian di surga.”

Dan apa yang dapat menyamai kedudukan cemeti di surga? (Yang diperoleh) manusia di surga, paling sedikit -menurut Muslim- setara dengan dua kali lipat luasnya bumi. Sementara dalam riwayat Imam Ahmad, sepuluh kalinya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan sadarkanlah ahti kalian. Datangi yang pasti, tinggalkan yang meragukan. Waspadai apa yang engaku masukkan ke dalam mulutmu sekaligus yang keluar daripadanya.

Sungguh, yang terpenting untuk kalian jaga adalah mulut dan kemaluan-karena itulah yang akan memasukkanmu ke surga. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Siapa yang mau menjamin bagiku apa yang ada diantara dua jenggot dan dua kakinya, maka aku akan menjamin surga baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 5993)

Jagalah mulutmu dari kemasukan barang-barang haram, atau dari hal-hal syubhat, atau dari ucapan yang melampaui batas. Jagalah pula kemaluanmu dari zina, niscaya Rabbmu akan memasukkanmu ke surga.

Kita berharap semoga Allah tidak mengharamkan surga bagi kita. Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat.

0 Comment for "Kemuliaan Sifat Wara'"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top