“Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta ini halal dan ini haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah
beruntung.” (QS. An-Nahl [16] : 116)
Sering kita lihat di
pinggir jalan, di perkantoran dan di tempat-tempat umum lainnya sebagian orang
gemar membicarakan masalah agama tanpa di dasari ilmu. Tak sedikit dari orang
semisal ini yang mengatakan, ‘kayaknya’,
‘menurut saya’, dan lain sebagainya
yang menunjukkan sebenarnya yang berbicara sedang berbicara tanpa ilmu.
Untuk itulah pada
kesempatan kami ini sampaikan beberapa ayat atau hadits yang menunjukkan
bahayanya berbicara tanpa ilmu tentang agama Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini kami sampaikan agar kita menjaga lisan
kita dari hal yang demikian.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا
حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ini halal dan ini
haram, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang
yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl
[16] : 116)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan berkaitan dengan
ayat ini:
ويدخل في هذا كل من ابتدع بدعة ليس له فيها مستند شرعي، أو حلل شيئا
مما حرم الله، أو حرم شيئا مما أباح الله، بمجرد رأيه وتشهِّيه.
“Termasuk dalam hal ini
orang yang membuat-buat bid’ah dalam perkara agama yang tidak ada landasan
syar’inya, atau menghalalkan hal yang Allah haramkan atau mengharamkan sesuatu
yang Allah mubahkan semata-mata berdasarkan akal pikirannya semata.” (Tafsir
Ibnu Katsir, Jilid 4 hal. 609)
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الله لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا، يَنْتَزِعُهُ مِنَ
الْعِبَادِ وَلكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ
يُبْقِ عَالِمًا، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا
بغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah
tidaklah mencabut ilmu itu secara tiba-tiba dengan mencabutnya dari
hamba-hambanya akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut/mewafatkan
para ulama hingga tidak ada lagi orang yang berilmu. Sehingga manusia
menggambil pemimpin bodoh. Sehingga mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu
sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no.
2673)
Dalam riwayat lain
disebutkan:
فَيُفْتُون برأيهم ، فَيَضِلُّون ويُضِلُّون
“Maka mereka berfatwa
dengan (semata-mata) akal mereka sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR.
Al-Bukhari no. 7307)
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
أيها الناس مَن سئل عن علم يعلمه فليقل به، ومَن لم يكن عنده علم
فليقل: الله أعلم؛ فإن من العلم أن يقول لما لا يعلم: الله أعلم، إن الله تبارك
وتعالى قال لنبيه, صلى الله عليه وسلم: {قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ
أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ} [ص: 86].
“Wahai manusia, barangsiapa diantara kalian
ditanya tentang suatu ilmu maka hendaklah ia menjawabnya dengan ilmu yang ada
padanya. Dan barangsiapa yang tidak ada pada dirinya ilmu maka hendaklah ia
mengatakan, ‘Allahu a’lam”. Karena perkataan ‘Allahu a’lam’ terhadap
permasalahan yang ilmunya tidak ada pada dirimu merupakan sebagian dari ilmu
itu sendiri. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman kepada
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ
الْمُتَكَلِّفِينَ
“Katakanlah (Wahai
Muhammad), “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (QS. Shad : 86).” (Jami’ Bayanil
Ilmi wa Fadlih no. 822)
Sebagai penutup kami
sampaikan bahwa diantara salah satu ciri-ciri kekhususan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah adalah mengatakan Allahu a’lam
terhadap perkara-perkara yang kita tidak tahu. Bahkan lebih jauh lagi
Ath-Thahawi rahimahullah mencantumkan
masalah ini dalam kitabnya yang masyhur ‘Aqidah Ath-Thahawiyah’. Beliau
mengatakan:
ونقول: الله أعلم، فيما اشتبه علينا علمه
“Kami (Ahlussunnah wal
Jama’ah) mengatakan, ‘Allahu a’lam terhadap perkara yang samar bagi kami.”
Syaikh DR. Shalih bin
Fauzan hafizhahullah menjelaskan apa
yang disampaikan Ath-Thahawi rahimahullah:
هذه مسألة عظيمة، وهي مسألة العلم فالإنسان لا يقول ما لا يعلم، إن
علم شيئاً قال به، وإن جهل شيئاً فلا يقول به، ولا يقول في أمور الدين والعبادات
ولا يدخل فيها بغير علم، بل يتوقف، ويقول: الله أعلم.
والإمام مالك إمام دار الهجرة، جاءه رجل فسأله عن أربعين مسألة،
فأجاب عن أربع منها، وقال في الباقي: لا أدري، فقال الرجل: أنا جئتك من كذا وكذا
على راحلتي وتقول: لا أدري؟ قال له الإمام: اركب راحلتك، وارجع إلى البلد الذي جئت
منه، وقل: سألت مالكاً فقال: لا أدري!!
والنبي صلى الله عليه وسلم إذا سئل عن شيء لم ينزل عليه فيه وحي فإنه
ينتظر حتى ينزل عليه وحي، كذلك الصحابة إذا سألهم رسول الله صلى الله عليه وسلم عن
شيء لا يعلمونه قالوا: “الله ورسوله أعلم”، لا يتخرصون. فهذا الباب عظيم وخطير،
والله عز وجل جعل القول عليه بغير علم مرتبة فوق الشرك به سبحانه وتعالى : (قل
إنما حرم ربي الفواحش ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغي بغير الحق وأن تشركوا
بالله ما لم ينزل به سلطاناً وأن تقولوا على الله ما لا تعلمون) [الأعراف:33]،
وقال سبحانه: (ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه
مسئولاً) [الإسراء:36].
يا أخي، يسعك أن تقول: لا أدري، ومن قال: لا أدري، فقد أجاب، ولا
تتخرص وتخوض في أحكام الشرع بغير بصيرة، وقول: لا أدري، فيما لا تعلم، ليس نقصاً
فيك، بل العكس، هو كمال؛ لأنه ورع وتقوى، والناس يحمدونك على هذا
Hal ini merupakan
pembahasan yang agung yaitu seputar ilmu. Seseorang hendaklah ia tidak
berbicara tentang sesuatu yang ia tidak memiliki ilmu tentangnya. Jika dia
mengetahui sesuatu tentangnya hendaklah ia berbicara sebatas keilmuannya namun
apabila ia tidak mengetahuinya maka hendaklah ia tidak mengatakan sesuatu
tentangnya. Tidak boleh berbicara dalam masalah agama tanpa ilmu namun
hendaklah ia diam dan mengatakan ‘Allahu
a’lam.
Imam Malik rahimahullah, Imam Darul Hijrah. Suatu
ketika seorang laki-laki datang menemuinya dan menanyakan 40 pertanyaan, Imam
Malik hanya menjawab 4 pertanyaan dan memberikan jawaban untuk sisanya dengan
ucapan ‘Saya tidak tahu’. Sehingga si penanya mengatakan, ‘Aku datang dari
daerah ini dan menempuh perjalan jauh untuk menemuimu sedangkan engkau hanya
menjawab pertanyaanku dengan ucapan ‘Saya tidak tahu?’ Lalu Imam Malik
menjawab, ‘Kendarailah tungganganmu kembalilah ke daerah asalmu katakanlah kepada
mereka yang bertanya, ‘aku telah bertanya kepada Imam Malik dan dia menjawab
‘Saya tidak tahu’.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ditanyai tentang sesuatu yang
belum turun wahyu atasnya maka beliau menunggu sampai turunnya wahyu. Demikian
juga para sahabat jika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka tentang hal yang mereka tidak
ketahui maka mereka akan menjawab dengan mengatakan, ‘Allahu a’lam’ dan tidak berkata-kata sesuatu tanpa ilmu. Ini
adalah pembahasan yang amat agung dan penting. Allah ‘azza wa jalla menjadikan dosa berbicara tentang agama-Nya tanpa
ilmu berada di atas dosa mensekutukannya (kesyirikan). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا
تَعْلَمُونَ
“Katakanlah, “Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui”. (QS. Al A’raf [7] : 33)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya. Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”.(QS. Al Isra’ [17] : 36)
Wahai saudaraku berusahalah
engkau untuk mengatakan, ‘aku tidak tahu’. Barangsiapa yang mengatakan, ‘aku
tidak tahu’ maka sungguh ia telah memberikan jawaban. Janganlah mengatakan
sesuatu tanpa ilmu tentang hukum-hukum syari’at tanpa ilmu. Perkataan ‘aku
tidak tahu’ terhadap hal yang kita tidak ketahui bukanlah menunjukkan kurangnya
dirimu bahkan sebaliknya, ini merupakan sikap sempurna karena hal merupakan
sikap waro’ dan taqwa serta orang lain akan memuji sikap ini.” (At-Ta’liqat
Al-Mukhtasarah ‘ala Matni Al-Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 182-183)
Mudah-mudahan bermanfaat
bagi kita dan dapat menjadi renungan bagi kita dalam menambah sikap ke
hati-hatian dalam berbicara tentang Agama Allah ‘azza wa jalla. Wallahu a’lam.
Semoga Bermanfaat.
0 Comment for "Aku Tidak Tahu"