“Barangsiapa
yang menemukan luqathah maka saksikanlah pada orang yang baik, jangan
sembunyikan dan menghilangkannya. Jika ditemukan siapa pemiliknya, maka
kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu adalah harta Allah yang diberina
kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu Dawud no. 1709)
Riba sudah jelas haramnya.
Namun saat ini harta riba begitu samar bagi sebagian orang. Walaupun digunakan
nama bunga sekalipun, riba tetaplah riba. Lalu bagaimana jika kita memiliki
harta riba tersebut? Yang jelas, harta tersebut adalah harta haram yang tidak
boleh kita manfaatkan. Lalu di manakah disalurkan?
Bunga Bank itu Riba
Mufti Saudi Arabia di masa
silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata:
“Secara hakekat, walaupun
(pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan
qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik.
Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan
diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari
transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil
dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari
penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan
boleh sama-sama disebut riba.” (Lihat “Taysir Al Fiqh”, Syaikh Sholih bin
Ghonim As Sadlan hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H)
Pemanfaatan Dana Riba
Sependek pengatahuan kami, para
ulama sepakat bahwa harta riba tidak halal bagi seorang muslim untuk memilikinya
dan dimanfaatkan sendiri. Ia harus mengambilkan pada sumber dana riba tersebut
jika ia ketahui. Jika tidak diketahui dari mana berasal harta tersebut, maka
bagaimanakah dana tersebut disalurkan? Para ulama berselisih pendapat dalam hal
ini.
Pendapat pertama menyatakan
bahwa dana riba tersebut disalurkan untuk yang berhak menerima menurut syar’i.
Demikian pendapat jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hambali.
Pendapat kedua menyatakan bahwa
dana tersebut dijaga dan tidak boleh dimanfaatkan. Pendapat ini dinisbatkan
pada Imam Syafi’i.
Pendapat jumhur ulama lebih
kuat. Karena harta riba bisa ada tiga kemungkinan, ditahan (dijaga),
dimusnahkan atau diinfakkan. Kalau harta riba tersebut dimusnahkan, maka itu
sama saja membuang-buang harta. Kalau hanya disimpan atau dijaga saja, itu juga
sama saja menyia-nyiakan harta tersebut, tanpa ada guna.
Di antara dalil yang mendukung
pendapat jumhur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
luqathah (barang temuan):
مَنْ وَجَدَ
لُقَطَةً فَلْيُشْهِدْ ذَا عَدْلٍ – أَوْ ذَوَىْ عَدْلٍ – وَلاَ يَكْتُمْ وَلاَ يُغَيِّبْ
فَإِنْ وَجَدَ صَاحِبَهَا فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ وَإِلاَّ فَهُوَ مَالُ اللَّهِ
عَزَّ وَجَلَّ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
“Barangsiapa yang menemukan luqathah maka
saksikanlah pada orang yang baik, jangan sembunyikan dan menghilangkannya. Jika
ditemukan siapa pemiliknya, maka kembalikanlah padanya. Jika tidak, maka itu
adalah harta Allah yang diberina kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Abu
Dawud no. 1709, shahih kata Syaikh Al-Albani)
Ke Manakah Harta Riba
Disalurkan?
Ada empat pendapat ulama dalam
masalah ini:
Pendapat pertama, disalurkan
untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus pada orang dan tempat
tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pendapat kedua, disalurkan
sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang terdapat maslahat,
pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan masjid. Ini adalah pendapat
Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad, Hambali, dan pendapat Imam Ghazali
dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga, disalurkan
pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk masjid. Demikian
pendapat ulama Lajnah Ad-Daimah Kerajaan Saudi Arabia. Tidak boleh harta
tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena haruslah harta tersebut
berasal dari harta yang thahir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan
untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian
pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama
dan kedua memiliki maksud yang sama yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin
seperti diberikan pada fakir miskin. Lebih-lebih lagi karena sebab kemiskinan
adalah karena terlilit hutang riba, maka harta tersebut sebenarnya pantas untuk
mereka. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan
pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdhaliyah. Sedangkan pendapat
keempat dari Al-Lajnah Ad-Daimah muncul karena kewara’an (kehati-hatian) dalam
masalah shalat di tanah rampasan (al-ardhul maghsubah), di mana masalah kesahan
shalat di tempat tersebut masih diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet,
harta riba tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
Dalam rangka hati-hati, harta
riba disalurkan untuk kemaslahatan secara umum, pada orang yang butuh, fakir
miskin, selain untuk masjid dan tidak boleh dimanfaatkan oleh pemilik harta
riba tadi secara personal. Wallahu a’lam.
Semoga Allah menyelamatkan dan
membersihkan kita dari harta haram. Wallahu waliyyut taufiq.
0 Comment for "Penyaluran Harta Riba"