“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS.
Al-Baqarah [2] : 187)
Seperti
telah kita ketahui, bahwa puasa adalah salah satu bentuk ibadah mahdhah
(ritual) yang dimana dalam pelaksanaannya wajiblah berittiba’ kepada syari’at
Allah subhanahu wa ta’ala yang telah disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitupula dalam masalah
pembatal-pembatal puasa, maka wajiblah kita berittiba’ dan tidaklah boleh kita
mengada-ada dalam masalah ini.
Mungkin
kita sering mendengar celotehan-celotehan seperti “buang angin di dalam
air membatalkan puasa” atau kata-kata “jangan marah-marah, batal
puasamu” atau masih banyak lagi yang semisal. Namun benarkah hal
demikian?? Apakah perkataan-perkataan itu dilandasi oleh nash yang shahih??
Maka dari itu untuk dapat meluruskan pemahaman di masyarakat mengenai
pembatal-pembatal puasa, marilah kita merujuk kedalam Al-Quran, As-Sunnah serta
pemahaman para Sahabat dan juga perkataan para Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai
hal ini.
Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah dalam Matan Safiinatun Najah fi
Ushulid Dini wal Fiqhi menjelaskan bahwa hal yang dapat membatalkan puasa
seseorang setidaknya ada tujuh perkara, Syaikh Nawawi Al-Bantani rahimahullah berkata:
يبطل
الصوم: بردة وحيض ونفاس أو ولادة وجنون ولو لحظة وبإغماء وسكر تعدى به إن عمَّا جميع
النهار
Pembatal
puasa: 1) Murtad, 2) Haidh, 3) Nifas, 4) Melahirkan, 5) Gila sekalipun
sebentar, 6) dan 7) Pingsan dan mabuk yang disengaja jika terjadi sepanjang
siang.
Sedangkan Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah
dalam Al-Ghayah wa At-Taqrib atau yang lebih dikenal dengan Matan Abu Syuja’
membagi pembatal puasa kepada sepuluh perkara, dimana
ketika seseorang mengalami salah satu dari perkara ini maka telah batalah puasa
dia dan dia diwajibkan untuk mengqadha, membayar kafarah atau membayar fidyah
sesuai dengan yang telah disyaria’tkan dalam Islam. Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah
berkata:
والذي يفطر به الصائم عشرة أشياء: ما وصل عمدا إلى الجوف أو
الرأس والحقنة في أحد السبيلين والقيء عمدا والوطء عمدا في الفرج والإنزال عن
مباشرة والحيض والنفاس والجنون والإغماء كل اليوم والردة
Yang membatalkan puasa ada sepuluh hal, yaitu: 1) Segala
sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh), 2) Segala sesuatu yang masuk
lewat kepala, 3) segala sesuatu yang masuk lewat injeksi (suntikan) lewat
kemaluan atau dubur, 4) muntah dengan sengaja, 5) menyetubuhi dengan sengaja di
kemaluan, 6) keluar mani karena bercumbu, 7) haidh, 8) nifas, 9) gila dan 10)
keluar dari Islam (murtad).
Sedangkan para ulama telah berijma’
bahwa setidaknya ada 7 hal yang dapat membatalkan puasa seseorang, 7 hal
tersebut adalah:
1. Masuknya
segala sesuatu yang sampai ke jauf (dalam rongga tubuh)
Masuknya
benda ke dalam rongga badan (jauf) dengan sengaja yang dapat membatalkan
puasa meliputi makan, minum, segala sesuatu yang masuk lewat kepala, injeksi
atau suntikan di seluruh bagian tubuh. Ini merupakan pendapat terkuat dari
madzhab Syafi’i. Dalil
yang digunakan mengenai hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah [2] : 187)
Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah seorang ulama madzhab Hanbali
berkata, “Orang yang berpuasa menjadi batal karena makan dan minum dengan
sepakat ulama, dan berdasarkan dalil Al-Quran dan As-Sunnah.” (Al-Mughni, Jilid
3 hal. 119)
Dalam
Kifayatul Akhyar dijelaskan: “Patokan makan atau minum bisa jadi pembatal: jika
ada yang masuk dari luar ke dalam perut lewat saluran yang terbuka dan dilakukan
dengan sengaja dalam keadaan berpuasa. Yang dimaksud jauf di
sini adalah berupa rongga. Sehingga menurut ulama Syafi’iyah contoh yang jadi
pembatal adalah tetes telinga karena tetes tersebut masuk dari luar ke perut
melalui rongga terbuka. Sedangkan menggunakan celak tidaklah termasuk pembatal
karena mata bukanlah saluran yang sampai ke rongga perut. Sedangkan menelan
ludah tidak membatalkan puasa karena berasal dari dalam tubuh.” (Kifayatul
Akhyar, hal. 249)
Jika
seseorang yang berpuasa makan dan minum karena lupa, keliru atau dipaksa maka
puasanya tidak batal. Hal ini berdasarkan suatu hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah dalam kedua kitab Shahih
mereka. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا نَسِىَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ،
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang
makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya
karena Allah telah memberi dia makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan
Muslim no. 1155)
Dan
juga dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah rahimahullah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ
وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah
menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa.” (HR.
Ibnu Majah no. 2045)
2. Berjima’
di Siang Hari
Berjima’
dengan pasangan di siang hari membatalkan puasa dan wajib mengqadha’ dan menunaikan
kafarah. Dalil yang melandasi hal ini adalah firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
“Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah [2] :
87)
Dari
ayat diatas bisa kita simpulkan bahwa berjima’ pada malam hari saat bulan
Ramadhan atau saat berpuasa adalah halal, maka jika jima’ di lakukan pada siang
hari maka hukumnya haram dan membatalkan puasa. Sehingga wajib qadha’ dan juga
membayar kafarah. Sedangkan untuk kafarah, dalil yang menjadi landasannya
adalah suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari rahimahullah dan
Imam Muslim rahimahullah, dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ صلى الله عليه
وسلم إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ. قَالَ مَا لَكَ.
قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا. قَالَ لاَ. قَالَ فَهَلْ
تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ. قَالَ لاَ. فَقَالَ فَهَلْ
تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا. قَالَ لاَ. قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ صلى
الله عليه وسلم، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ صلى الله عليه
وسلم بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ قَالَ أَيْنَ السَّائِلُ.
فَقَالَ أَنَا. قَالَ خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ. فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ
مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا يُرِيدُ
الْحَرَّتَيْنِ أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى، فَضَحِكَ النَّبِىُّ
صلى الله عليه وسلم حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Suatu hari kami duduk-duduk
di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian datanglah seorang
pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu pria tersebut
mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab,
“Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau
memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi,
“Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab,
“Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi,
“Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga
menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam lantas diam. Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang
memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,“Di mana orang
yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Ambillah dan
bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan
kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada
yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari
keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu tertawa sampai
terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR.
Al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111)
Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Kami tidak
mengetahui adanya perselisihan di antara ulama bahwa orang yang melakukan hubungan
badan sampai keluar mani, maupun tidak sampai keluar mani, atau di selain
kemaluan kemudian keluar mani, maka puasanya batal.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal.
134)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pun berkata, “Sesuatu yang
bisa membatalkan puasa berdasarkan dalil dan sepakat ulama: makan, minum, dan
hubungan badan.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 25 hal. 219)
Berjima’
dengan pasangan di siang yang dapat membatalkan puasa, wajib mengqadha’ dan
menunaikan kafarah berlaku jika memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah
orang yang dikenai kewajiban untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang
mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang
mendapat keringanan untuk tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan
sebenarnya ia berat untuk berpuasa namun tetap nekad berpuasa, lalu ia berjima’
dengan istrinya di siang hari, maka ia hanya punya kewajiban qadha’ dan tidak
ada kafarah
Sedangkan
dalam masalah kafarah dijelaskan bahwa wanita yang diajak berjima’ di bulan
Ramadhan tidak punya kewajiban kafarah, yang menanggung kafarah adalah si pria.
Alasannya, dalam hadits di atas (hadits mengenai kafarah), Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tidak memerintah wanita yang berjima’ di siang hari
untuk membayar kafarah sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa
seandainya wanita memiliki kewajiban kafarah, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya.
Selain itu, kafarah adalah hak harta. Oleh karena itu, kafarah dibebankan pada
laki-laki sebagaimana mahar. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, Jilid 2 hal. 957 dan
Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 2 hal. 108)
Berdasarkan
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengenai kafarah karena berjima’
di siang bulan Ramadhan, dapat dijelaskan bahwa urutan yang harus dikeluarkan
untuk membayar kafarah adalah sebagai berikut:
1.
Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat
2.
Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
3.
Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan
satu mud (0,75 kg) makanan.
Jika
orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu
melaksanakan kafarah di atas, kafarah tersebut tidaklah gugur, namun tetap
wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk
utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari Imam
An-Nawawi rahimahullah. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Jilid 7
hal. 224)
Sedangkan
untuk puasa-puasa lain selain puasa Ramadhan maka tidak ada kafarah.
3. Muntah
dengan sengaja
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah, dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ
عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa
yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qadha’
baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar
qadha’.” (HR. Abu Dawud no. 2380)
Syaikh Ibrahim Al-Baijuri rahimahullah berkata,
“Yang tidak membatalkan di sini adalah jika muntah menguasai diri artinya dalam
keadaan seperti dipaksa oleh tubuh untuk muntah. Hal ini selama tidak ada
muntahan yang kembali ke dalam perut atas pilihannya sendiri. Jika yang
terakhir ini terjadi, maka puasanya batal.” (Hasyiyah Syaikh Ibrahim
Al-Baijuri, Jilid 1 hal. 556)
Sedangkan jumlah muntahan yang membatalkan puasa terdapat
perselisihan pendapat dari para ulama fikih namun pendapat yang rajih adalah
tanpa batasan sedikitnya, artinya jika muntah dengan sengaja walaupun sedikit
tetap membatalkan puasa sebagaimana hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu di atas.
4. Keluar mani (istimna' ) dengan disengaja
Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata,
“Termasuk pembatal jika mengeluarkan mani baik dengan cara yang haram seperti
mengeluarkan mani dengan tangan sendiri (onani) atau melakukan cara yang tidak
haram seperti onani lewat tangan istri atau budaknya.” Lalu beliau katakan
bahwa bisa dihukumi sebagai pembatal karena maksud pokok dari hubungan intim
(jima’) adalah keluarnya mani. Jika jima’ saat puasa diharamkan dan membuat
puasa batal walau tanpa keluar mani, maka mengeluarkan mani seperti tadi
lebih-lebih bisa dikatakan sebagai pembatal. Juga beliau menambahkan bahwa
keluarnya mani dengan berpikir atau karena ihtilam (mimpi basah) tidak termasuk
pembatal puasa. Para ulama tidak berselisih dalam hal ini, bahkan ada yang
mengatakan sebagai ijma’ (konsensus ulama). (Kifayatul Akhyar, hal. 251)
Dalil yang menjadi landasan dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
يَتْرُكُ طَعَامَهُ
وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan,
minum dan syahwat karena-Ku.” (HR. Al-Bukhari no. 1894)
Mengeluarkan mani dengan sengaja
termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum.
Sedangkan dalam masalah berfikir atau
berkhayal hingga mengeluarkan mani maka puasanya tidak batal, begitupula jika
berihtilam atau mimpi basah. Hal ini berdasarkan suatu hadits shahih, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ
عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ
تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati
mereka, selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya.” (HR. Bukhari no. 5269
dan Muslim no. 127)
Sedangkan dalam Syarhul Mumthi’
dijelaskan, “Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal.
Namun jika tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali
memandang istri, lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai
berulang kali memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal.” (Syarhul
Mumthi’, Jilid 3 hal. 53-54)
5. Haidh dan Nifas
Diriwayatkan oleh Syaikhain, dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ
لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ
“Bukankah wanita jika haidh tidak shalat dan tidak puasa?” (HR.
Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 79)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata,
“Ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas tidak boleh berpuasa. Mereka harus
berbuka ketika ramadhan dan mengqadha di hari yang lain. Dan jika ada wanita
haid dan nifas yang nekat puasa maka puasanya tidak sah.” (Al-Mughni, Jilid 3
hal. 152)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Demikiann pula terdapat dalil sunah dan sepakat kaum muslimin, bahwa keluarnya
darah haid, menyebabkan puasa batal. Karena itu, wanita haid tidak boleh puasa,
namun wajib mengqadha puasanya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 25 hal. 220)
Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata,
“Telah ada nukilan ijma’ (sepakat ulama), puasa menjadi tidak sah jika
mendapati haidh dan nifas. Jika haidh dan nifas didapati di pertengahan siang,
puasanya batal.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)
Syaikh Musthafa Al-Bugha rahimahullah berkata,
“Jika seorang wanita mendapati haidh dan nifas, puasanya tidak sah. Jika ia
mendapati haidh atau nifas di satu waktu dari siang, puasanya batal. Dan ia
wajib mengqodho’ puasa pada hari tersebut.” (Al-Fiqhu Al-Manhaji, hal. 344)
6. Hilang akal (gila atau pingsan)
Jika hilang akal dikarenakan gila maka
puasanya batal dan tidak sah karena orang gila tidak termasuk ‘ahliyatul
‘ibadah.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh
Muhammad Al-Hishni rahimahullah, beliau berkata, “Jika datang gila
atau ada yang murtad, maka batalah puasa karena tidak termasuk ahliyatul
‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar,
hal. 251)
Begitupula jika hilang akal dikarenakan
pingsan, jika pingsannya terjadi selama masa 1 hari puasa yaitu dari sejak
terbit fajar hingga terbenamnya matahari maka puasanya tidak sah dan wajib
qadha, akan tetapi jika tersadar sebelum matahari terbenam maka puasanya sah.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan
oleh Muhammad Al-Hishni rahimahullah, beliau berkata, “Jika hilang
kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga terbenam
matahari), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian
waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan
kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. (Kifayatul Akhyar, hal. 251)
Jika seseorang hilang akal karena tidur
maka puasanya tetap sah, karena orang yang tertidur masih termasuk ahliyatul
‘ibadah. Akan tetapi jika menyengaja tidur secara terus-menerus maka hal ini
adalah perkara yang sangat buruk dan mengurangi pahala puasa.
Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata,
“Dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa
karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu
orang yang dikenai kewajiban ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)
Akan tetapi ada pula ulama yang
mengatakan puasanya tidak sah karena walaupun hanya sekedar tidur tapi itu
sudah masuk kategori hilangnya akal sebagaimana gila dan pingsan. Wallahu
a’lam.
7. Murtad
Orang yang murtad maka batal puasanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ
مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ
أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ
فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (islam),
lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 217)
Muhammad Al-Hishni rahimahullah berkata,
“Jika datang gila atau ada yang murtad, maka batalah puasa karena tidak
termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban
ibadah.” (Kifayatul Akhyar, hal. 251)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata,
“Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan ulama bahwa orang yang
murtad dari agama islam ketika sedang puasa maka puasanya batal, dan dia wajib
mengqadha pusanya di hari itu, jika dia kembali masuk islam. Baik masuk islam
di hari murtadnya atau di hari yang lain.” (Al-Mughni, Jilid 3 hal. 133)
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
0 Comment for "Pembatal-Pembatal Puasa"