Imam Hatim Al-Asham Rahimahullah, Pura-Pura Tuli Selama 15 Tahun

“Cukuplah seseorang dikatakan jahat, jika ia merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)


Imam Al-Ghazali rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah teladan di dalam Kitab Nashaihul Ibad, tentang seorang ulama besar yang bernama Imam Hatim Al-Asham rahimahullah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al-Asham, dia termasuk tokoh guru besar (Syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin Khadrawaih. Hatim dijuluki Al-Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang hingga ia dijuluki dengan Al-Asham. Dia pernah mengunjungi Baghdad dan menetap di kota ini sampai meninggal. Tercatat, meninggal di Wasyjard, dekat kota Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M)

Ada kisah penuh hikmah yang mendasari julukan “Al-Asham’ yang dinisbatkan kepadanya. Kata Al-Asham memiliki makna tuli. Gelar ini dilekatkan kepadanya kurang lebih selama umur seorang wanita masih hidup. Lebih kurang 15 tahun dia dengan rela menjadikan dirinya tuli demi untuk melindungi martabat wanita itu.

Sebetulnya Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidaklah tuli. Dia bisa mendengar dengan jelas orang-orang yang berbicara dengan volume suara normal. Hingga pada suatu hari datanglah seorang wanita yang ingin berkonsultasi kepadanya.

Tak disangka-sangka, pada saat wanita itu bertanya kepada Imam Hatim Al-Asham rahimahullah dia tak bisa menahan kentutnya yang keluar dengan suara keras. Seketika itu juga merah padamlah mukanya karena malu bersikap sangat tidak sopan di depan seorang ulama besar yang terpandang dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.

Namun, Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidak bereaksi apa-apa. Dia tetap bersikap dengan wajar. Raut mukanya pun tak berubah sedikitpun.

Berbeda dengan si wanita. Kini dia hanya bisa tertegun. Dia betul-betul malu dan salah tingkah. Pertanyaan yang ingin dilontarkannya tadi tak jadi dilanjutkan. Rasanya ingin cepat-cepat minta maaf dan segera pamit.

Melihat si wanita hanya diam membisa begitu lama Imam Hatim Al-Asham rahimahullah menyapa dengan suara yang sangat keras: “Ada apa datang kemari?”

Si Wanita itu menjawab dengan suara pelan karena malu: “Sebetulnya saya ingin bertanya sesuatu, Syaikh.”

Imam Hatim Al-Asham rahimahullah pun bertanya kembali dengan suara yang keras: “Apa?”

Si Wanita itu pun menjawab dengan suara yang keras: “Saya ingin bertanya sesuatu.”

Imam Hatim Al-Asham rahimahullah pun bertanya kembali dengan suara yang lebih keras: “Apa?”

Si Wanita itu pun berkata kembali dengan suara yang lantang: “Saya ingin bertanya sesuatu!”

Kemudian Imam Hatim Al-Asham rahimahullah menjawab: “Ooo.. ingin bertanya. Kalau berbicara tolong suaranya dikeraskan karena saya tuli.”

Alhamdulillah, seketika wanita itu langsung merasa sedikit lega. Dia menduga Imam Hatim Al-Asham rahimahullah yang ada di depannya itu adalah seorang yang tuli. Tentu tadi ketika dia buang angin dengan suara keras Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidak mendengarnya. Suasana kembali menjadi cair. Ia pun kembali mengulang pertanyaannya dengan volume suara yang dikeraskan.

Sejak saat itu, Imam Hatim Al-Asham rahimahullah mendadak “menjadi tuli”. Dia dengan dan ikhlas menerima kata Al-Asham dilekatkan ke namanya. Sekarang dia bergelar Hatim si Tuli. Ia melakukan hal itu selama wanita tadi masih hidup demi untuk menjaga perasaan dan kehormatannya. Imam Hatim Al-Asham rahimahullah terus berpura-pura tuli selama lebih kurang 15 tahun.

Pada saat ini yang terjadi di masyarakat kita sungguh bertolak belakang dari tauladan yang di contohkan oleh Imam Hatim Al-Asham rahimahullah. Kita senang benar bercerita tentang aib teman-teman dan tetangga-tetangga kita yang bahkan kadang-kadang keburukan itu tidak ada pada diri mereka. Kita jatuh pada perbuatan fitnah, ghibah, dan kebohongan besar. Sedangkan Imam Hatim Al-Asham rahimahullah mau melakukan pengorbanan yang sedemikan besar selama 15 tahun untuk melindungi martabat seorang wanita yang bahkan tidak dikenalnya.

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk menjaga martabat serta kehormatan saudara-saudara muslim kita sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً، اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا، -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

“Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain! Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh merendahkannya. Takwa itu ada di sini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang dikatakan jahat, jika ia merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)

0 Comment for "Imam Hatim Al-Asham Rahimahullah, Pura-Pura Tuli Selama 15 Tahun"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top