“Cukuplah seseorang dikatakan jahat, jika ia merendahkan
saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan)
darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) kehormatannya.”
(HR. Muslim no. 2564)
Imam Al-Ghazali rahimahullah meriwayatkan
sebuah kisah teladan di dalam Kitab Nashaihul Ibad, tentang seorang ulama besar
yang bernama Imam Hatim Al-Asham rahimahullah. Nama lengkapnya adalah
Abu Abdurrahman Hatim bin Alwan, terkenal dengan gelar Al-Asham, dia termasuk
tokoh guru besar (Syaikh) khurasan, murid Syaikh Syaqiq, guru Ahmad bin
Khadrawaih. Hatim dijuluki Al-Asham (orang yang tuli) bukan karena ia tuli akan
tetapi pernah ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seseorang
hingga ia dijuluki dengan Al-Asham. Dia pernah mengunjungi Baghdad dan menetap
di kota ini sampai meninggal. Tercatat, meninggal di Wasyjard, dekat kota
Tarmidz, pada tahun 237 H (852 M)
Ada kisah penuh hikmah yang mendasari julukan “Al-Asham’
yang dinisbatkan kepadanya. Kata Al-Asham memiliki makna tuli. Gelar ini
dilekatkan kepadanya kurang lebih selama umur seorang wanita masih hidup. Lebih
kurang 15 tahun dia dengan rela menjadikan dirinya tuli demi untuk melindungi
martabat wanita itu.
Sebetulnya Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidaklah
tuli. Dia bisa mendengar dengan jelas orang-orang yang berbicara dengan volume
suara normal. Hingga pada suatu hari datanglah seorang wanita yang ingin
berkonsultasi kepadanya.
Tak disangka-sangka, pada saat wanita itu bertanya
kepada Imam Hatim Al-Asham rahimahullah dia tak bisa menahan kentutnya
yang keluar dengan suara keras. Seketika itu juga merah padamlah mukanya karena
malu bersikap sangat tidak sopan di depan seorang ulama besar yang terpandang
dan memiliki kedudukan tinggi di masyarakat.
Namun, Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidak
bereaksi apa-apa. Dia tetap bersikap dengan wajar. Raut mukanya pun tak berubah
sedikitpun.
Berbeda dengan si wanita. Kini dia hanya bisa
tertegun. Dia betul-betul malu dan salah tingkah. Pertanyaan yang ingin
dilontarkannya tadi tak jadi dilanjutkan. Rasanya ingin cepat-cepat minta maaf
dan segera pamit.
Melihat si wanita hanya diam membisa begitu lama Imam
Hatim Al-Asham rahimahullah menyapa dengan suara yang sangat keras: “Ada
apa datang kemari?”
Si Wanita itu menjawab dengan suara pelan karena malu:
“Sebetulnya saya ingin bertanya sesuatu, Syaikh.”
Imam Hatim Al-Asham rahimahullah pun bertanya
kembali dengan suara yang keras: “Apa?”
Si Wanita itu pun menjawab dengan suara yang keras: “Saya
ingin bertanya sesuatu.”
Imam Hatim Al-Asham rahimahullah pun bertanya
kembali dengan suara yang lebih keras: “Apa?”
Si Wanita itu pun berkata kembali dengan suara yang
lantang: “Saya ingin bertanya sesuatu!”
Kemudian Imam Hatim Al-Asham rahimahullah menjawab:
“Ooo.. ingin bertanya. Kalau berbicara tolong suaranya dikeraskan karena saya
tuli.”
Alhamdulillah, seketika wanita itu langsung merasa
sedikit lega. Dia menduga Imam Hatim Al-Asham rahimahullah yang ada di
depannya itu adalah seorang yang tuli. Tentu tadi ketika dia buang angin dengan
suara keras Imam Hatim Al-Asham rahimahullah tidak mendengarnya. Suasana
kembali menjadi cair. Ia pun kembali mengulang pertanyaannya dengan volume
suara yang dikeraskan.
Sejak saat itu, Imam Hatim Al-Asham rahimahullah
mendadak “menjadi tuli”. Dia dengan dan ikhlas menerima kata Al-Asham
dilekatkan ke namanya. Sekarang dia bergelar Hatim si Tuli. Ia melakukan hal
itu selama wanita tadi masih hidup demi untuk menjaga perasaan dan
kehormatannya. Imam Hatim Al-Asham rahimahullah terus berpura-pura tuli
selama lebih kurang 15 tahun.
Pada saat ini yang terjadi di masyarakat kita sungguh
bertolak belakang dari tauladan yang di contohkan oleh Imam Hatim Al-Asham rahimahullah.
Kita senang benar bercerita tentang aib teman-teman dan tetangga-tetangga kita
yang bahkan kadang-kadang keburukan itu tidak ada pada diri mereka. Kita jatuh
pada perbuatan fitnah, ghibah, dan kebohongan besar. Sedangkan Imam Hatim Al-Asham
rahimahullah mau melakukan pengorbanan yang sedemikan besar selama 15
tahun untuk melindungi martabat seorang wanita yang bahkan tidak dikenalnya.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada kita untuk menjaga martabat serta kehormatan
saudara-saudara muslim kita sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim rahimahullah dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَنَاجَشُوا، وَلاَ
تَبَاغَضُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا
عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً، اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ،
وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلاَ يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا، -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ
ثَلاَثَ مَرَّاتٍ-، بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ،
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling mendengki! Janganlah saling
menipu! Janganlah saling membenci! Janganlah saling membelakangi! Dan janganlah
sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain! Jadilah
kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara! Seorang Muslim adalah saudara bagi
Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzhaliminya, tidak boleh mengacuhkannya,
tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh merendahkannya. Takwa itu ada
di sini”, -dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali-. “Cukuplah seseorang
dikatakan jahat, jika ia merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas
Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya
(tanpa hak), dan (mengganggu) kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)
0 Comment for "Imam Hatim Al-Asham Rahimahullah, Pura-Pura Tuli Selama 15 Tahun"