“Aku sama
sekali tidak pernah merubah agama kakek anda wahai syaikh dengan qiyas! Aku
menggunakan qiyas pada perkara yang memang tidak ada dalilnya dari Al-Quran dan
As-Sunnah serta perkataan sahabat.” (Imam Abu Hanifah rahimahullah)
Syaikh Muhammad
Abu Zahrah rahimahullah menukilkan sebuah sejarah menarik dalam kitabnya
yang berjudul “Al-Imam Ash-Shadiq”, bahwa Imam Ja'far Ash-Shadiq rahimahullah
bersahabat baik dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah, bahkan Imam Abu
Hanifah rahimahullah berguru kepada beliau dan banyak menyampaikan
riwayat yang bersumber dari Imam Ja'far Ash-Shadiq rahimahullah.
Suatu ketika
Imam Abu Hanifah rahimahullah sempat bertemu dan berdialog dengan Imam
Muhammad Al-Baqir rahimahullah, yang mana beliau adalah guru dan
faqihnya Ahlul Bait. Beliau adalah ayahanda dari sahabat serta guru dari Imam
Abu Hanifah rahimahullah yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq rahimahullah. Beliau
juga merupakan putra dari Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad bin Husain bin Ali,
suami Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika itu Imam
Abu Hanifah rahimahullah memang sudah dikenal sebagai salah satu dari
Fuqaha’ Al-‘Iraq (ahli fiqih Iraq), ada juga yang menyebutnya sebagai faqih
Al-Kuffah yang terkenal banyak menggunakan qiyas dalam mengistinbath sebuah
hukum syariah.
Sayangnya,
kabar penggunaan qiyas dan juga ra’yu (Istihsan) sering dinegatifkan oleh
sebagian orang ketika itu, sehingga Imam Abu Hanifah rahimahullah dan
beberapa ulama fiqih Iraq sering sekali dituduh sebagai ulama yang banyak
meninggalkan atsar/hadits dalam menentukan sebuah hukum syari’ah. Padahal
sejatinya tidak demikian.
Kabar itu
sangat membuat Imam Muhammad Al-Baqir rahimahullah marah, akhirnya
ketika bertemu dalam salah satu perjalanan hajinya, Imam Abu Hanifah rahimahullah
yang memang sudah tahu kebesaran dan keluasan ilmu Imam Muhammad Al-Baqir rahimahullah
langsung mendatangi beliau dan mempekenalkan diri.
Kemudian Imam
Muhammad Al-Baqir rahimahullah bertanya: “kamu yang bernama Nu’man bin
Tsabit yang dari kuffah itu? Kamu yang merubah agama kakekku dengan qiyas?”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah menjawab: “Aku sama sekali tidak pernah merubah
agama kakek anda wahai syaikh dengan qiyas! Aku menggunakan qiyas pada perkara
yang memang tidak ada dalilnya dari Al-Quran dan As-Sunnah serta perkataan
sahabat.”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah meneruskan: “Sebagai bukti kalau aku tidak merubah
agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan qiyas, aku
punya 3 pertanyaan untuk anda wahai syaikh! Mana yang lebih lemah, laki-laki
atau wanita?”
Imam Muhammad
Al-Baqir rahimahullah menjawab: “wanita lebih lemah dari laki-laki!”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah berkata: “Baik, agama kakekmu mengatakan bahwa
untuk laki-laki itu 2 jatah (waris), dan wanita satu jatah. Dan aku pun
mengatakan demikian, sama seperti kakekmu. Kalau seandainya aku menggunakan
qiyas, pastilah aku katakan bahwa wanita dapat jatah 2 dan laki-laki satu,
karena wanita itu lebih lemah dari laki-laki. Karena ia lemah maka pantas untuk
mendapat lebih. Tapi aku tidak katakan demikian.”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah kemudian bertanya kembali: “Kedua, mana yang lebih
afdhol, puasa atau shalat?”
Imam Muhammad
Al-Baqir rahimahullah menjawab: “Tentu shalat lebih afdhol dari puasa!”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah berkata: “Ya. Shalat lebih afdhol dari puasa. Agama
kakekmu bilang bahwa wanita yang haidh tidak mengqadah shalatnya tapi mengqadha
puasanya. Dan aku pun berpendapat seperti apa yang dikatakan oleh kakekmu.
Kalau seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakan wanita haidh harus
mengqadah shalatnya bukan puasanya, karena shalat lebih afdhol dari puasa.”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah melanjutkan pertanyaan: “Ketiga, mana yang lebih
najis, air mani atau air kencing?”
Imam Muhammad Al-Baqir
rahimahullah menjawab: “Air kencing lebih najis dari air mani.”
Imam Abu
Hanifah rahimahullah berkata: “Ya. Air kencing lebih najis daripada air
mani. Agama kakekmu juga katakan bahwa cukup wudhu untuk air kencing dan harus
mandi (janabah) untuk air mani. Dan aku pun mengatakan demikian! Kalau
seandainya aku menggunakan qiyas, pastilah aku katakan bahwa untuk air kencing
mandi, dan untuk air mani cukup wudhu saja, karena air kencing lebih najis daripada
air mani. Tapi aku tidak katakan begitu!”
Mendengar
jawabannya itu, Imam Muhammad Al-Baqir rahimahullah langsung memeluk
Imam Abu Hanifah rahimahullah dan mencium keningnya.
1 Comment for "Dialog Imam Abu Hanifah Rahimahullah dengan Imam Muhammad Al-Baqir Rahimahullah Tentang Qiyas"
MasyaAllah. Sungguh orang berilmu