Nabi Yunus ‘alaihis salam Putus Asa Terhadap Kaumnya

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang lalim.” (QS. al-Anbiya’ [21] : 87)

Nabi Yunus ‘alaihis salam adalah seorang nabi dan rasul yang diutus kepada bangsa Assyiria di Ninawa, Irak. Beliau hidup sekitar tahun 820 SM hingga 750 SM. Beliau kadang dipanggil dengan nama Yunan atau Dzun Nun. Nasab beliau adalah Yunus bin Matta bin Matsan bin Rajim bin Inasyah bin Sulaiman. Sebagian ulama seperti Ibnu al-Atsir rahimahullah berpendapat bahwa Matta adalah ibunda beliau, sedangkan ayahanda beliau adalah Amtai. Namun pendapat yang shahih adalah bahwasanya Matta adalah ayahanda Nabi Yunus ‘alaihis salam sebagaimana pendapat al-Imam Ibnu hajar al-Asqalani dan al-Imam Ibnu al-Jauzi rahimahumallah.

Nabi Yunus ‘alaihis salam adalah seorang nabi dan rasul yang mulia yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada bangsa Assyiria di Ninawa. Beliau menasihati mereka dan membimbing mereka ke jalan kebenaran dan kebaikan, beliau mengingatkan mereka akan kedahsyatan hari kiamat dan menakut-nakuti mereka dengan neraka dan mengiming-imingi mereka dengan surga. Beliau memerintahkan mereka dengan kebaikan dan mengajak mereka hanya menyembah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Nabi Yunus ‘alaihis salam senantiasa mendakwahi kaumnya siang dan malam namun tidak ada yang beriman di antara mereka. Hanya dua orang saja yang beriman kepadanya, dia adalah Rubil seorang yang alim dan bijaksana, dan Tanuh seorang yang tenang dan bijaksana. Hingga datanglah suatu hari kepada Nabi Yunus ‘alaihis salam dimana beliau merasakan keputusasaan dari kaumnya. Hatinya dipenuhi dengan perasaan marah pada mereka namun mereka tidak beriman. Kemudian beliau keluar dalam keadaan marah dan menetapkan untuk meninggalkan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan hal itu dalam firman-Nya:

وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. al-Anbiya’ [21] : 87)

Tidak ada seorang pun yang mengetahui gejolak perasaan dalam diri Nabi Yunus ‘alaihis salam selain Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi Yunus ‘alaihis salam tampak terpukul dan marah pada kaumnya. Dalam keadaan demikian, beliau meninggalkan kaumnya. Beliau pergi ke tepi laut dan menaiki perahu yang dapat memindahkannya ke tempat yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala belum mengeluarkan keputusan-Nya untuk meninggalkan kaumnya atau bersikap putus asa dari kaumnya. Yunus mengira bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mungkin menurunkan hukuman kepadanya karena ia meninggalkan kaumnya. Saat itu Nabi Yunus ‘alaihis salam seakan-akan lupa bahwa seorang nabi diperintah hanya untuk berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Namun keberhasilan atau tidak keberhasilan dakwah tidak menjadi tanggungjawabnya. Jadi, tugasnya hanya berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan menyerahkan sepenuhnya masalah keberhasilan atau ketidakberhasilannya terhadap Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Terdapat perahu yang berlabuh di pelabuhan kecil. Saat itu matahari tampak akan tenggelam. Ombak memukul tepi pantai dan memecahkan batu-batuan. Nabi Yunus ‘alaihis salam melihat ikan kecil sedang berusaha untuk melawan ombak namun ia tidak mengetahui apa yang dilakukan. Tiba-tiba datanglah ombak besar yang memukul ikan itu dan menyebabkan ikan itu berbenturan dengan batu. Melihat kejadian ini, Nabi Yunus ‘alaihis salam merasakan kesedihan. Nabi Yunus ‘alaihis salam berkata dalam dirinya: “Seandainya ikan itu bersama ikan yang besar barangkali ia akan selamat.” Kemudian Nabi Yunus ‘alaihis salam mengingat-ingat kembali keadaannya dan bagaimana beliau meninggalkan kaumnya. Akhirnya, kemarahan dan kesedihan beliau bertambah.

Nabi Yunus ‘alaihis salam pun menaiki perahu dalam keadaan guncang jiwanya. Beliau tidak mengetahui bahwa beliau lari dari ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala menuju ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala yang lain. Beliau tidak membawa makanan dan juga kantong yang berisi bawaan atau perbekalan, dan tidak ada seorang pun dari teman-temannya yang menemaninya. Beliau benar-benar sendirian, beliau melangkahkan kakinya di atas permukaan perahu.

Si nahkoda perahu bertanya kepadanya: “Apa yang engkau inginkan?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi Yunus ‘alaihis salam pun bangkit: “Saya ingin untuk bepergian dengan perahu-perahu kalian. Apakah kita berlayar dalam waktu yang lama?” Nabi Yunus ‘alaihis salam menampakkan suara yang penuh kemarahan, rasa takut dan kegelisahan.

Nahkoda itu berkata sambil mengangkat kepalanya: “Kita akan berlayar meskipun air tampak sedang pasang.”

Nabi Yunus ‘alaihis salam berkata dengan mencoba sabar dan menyembunyikan kegelisahannya: “Tidakkah engkau mendahului agar jangan sampai pasang itu terjadi wahai tuanku?

Si nahkoda berkata: “Laut kita biasanya terkena pasang, maka ia akan segera mereda ketika melihat seorang musafir yang mulia.” 

Nabi Yunus ‘alaihis salam bertanya: “Aku akan pergi bersama kalian dan berapa ongkos perjalanan?”

Si nahkoda menjawab: “Kami tidak menerima ongkos selain emas.”

Nabi Yunus ‘alaihis salam berkata: “Tidak jadi masalah.”

Nahkoda itu memperhatikan Nabi Yunus ‘alaihis salam. Ia adalah seorang yang berpengalaman di mana ia sering mondar-mandir dari satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain. Seringnya ia mengunjungi suatu tempat ke tempat yang lain menjadikannya seorang lelaki yang mampu menangkap perasaan manusia. Nahkoda itu merasakan dan mengetahui bahwa Nabi Yunus ‘alaihis salam lari dari sesuatu. Nahkoda itu membayangkan bahwa Nabi Yunus ‘alaihis salam melakukan suatu kesalahan tetapi ia tidak berani untuk mengungkapkan kesalahan kepada pelakunya kecuali jika pelakunya seorang yang bangkrut. Ia meminta kepada Nabi Yunus ‘alaihis salam untuk membayar ongkos sebanyak tiga kali lipat dari vang biasa dibayar musafir. Nabi Yunus ‘alaihis salam saat itu merasakan kesempitan dalam dadanya dan diliputi dengan kemarahan yang keras dan keinginan kuat untuk meninggalkan negerinya sehingga ia pun memberikan apa yang diminta oleh si nahkoda.

Nahkoda itu memperhatikan kepingan-kepingan emas yang ada di tangannya dan ia menggigit sebagaiannya dengan giginya. Barangkali ia akan menemukan potongan emas yang palsu namun ia tidak menemukannya. Nabi Yunus ‘alaihis salam hanya berdiri menyaksikan semua itu sementara dadanya tampak terombang-ambing: terkadang naik dan terkadang turun laksana ayunan. Nabi Yunus ‘alaihis salam berkata: “Tuanku tentukan bagiku kamarku. Aku tampak letih dan ingin istirahat sebentar.” Si nahkoda berkata: “Memang itu tampak di raut wajahmu. Itu kamarmu.” Sambil ia menunjuk dengan tangannya. Kemudian Nabi Yunus ‘alaihis salam membaringkan diri di atas kasur dan beliau berusaha untuk tidur tetapi usahanya itu sia-sia. Adalah gambar ikan kecil yang hancur berbenturan dengan batu menyebabkan beliau tidak dapat tidur dengan tenang. Nabi Yunus ‘alaihis salam merasakan bahwa atap kamar akan jatuh menimpa dirinya. Akhirnya, Nabi Yunus ‘alaihis salam tidur di atas kasurnya di mana kedua bola matanya berputar-putar di atas atap kamar tetapi pandangan-pandangannya yang gelisah itu tidak menemukan tempat perlindungan. Tempat tinggalnya di kamar itu dan atapnya dan sisi-sisinya tampak semuanya akan runtuh. Nabi Yunus ‘alaihis salam pun mulai mengeluh dan berkata: “Demikian juga hatiku yang tergantung dalam jiwaku.”

Demikianlah, terjadi suatu pergulatan penderitaan yang hebat dalam diri Nabi Yunus ‘alaihis salam saat ia terbaring di atas ranjangnya. Penderitaan yang keras cukup memberatkannya sehingga beliau pun bangkit kembali dari tempat tidurnya tanpa sebab yang dapat dipahami.

Diriwayatkan dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai surat al-Anbiya [21] ayat 87-88. Setelah Nabi Yunus ‘alaihis salam keluar dari negerinya dengan penuh kemurkaan, Nabi Yunus ‘alaihis salam mengancam kaumnya dengan adzab setelah tiga hari. Ketika mereka telah terbukti mendapatkannya dan mereka pun mengetahui bahwa Nabi tersebut tidak berdusta, mereka pun keluar ke lembah-lembah bersama anak-anak kecil, binatang-binatang ternak dan hewan-hewan mereka serta memisahkan antara ibu-ibu dengan anak-anak mereka, kemudian mereka berdo’a dan meminta pemeliharaan serta meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Unta-unta dan anak-anaknya bersuara, sapi-sapi dan anak-anaknya juga bersuara serta kambing dan anak-anaknya mengembik. Maka, Allah subhanahu wa ta’ala pun mengangkat adzab dari mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 

فَلَوْلَا كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلَّا قَوْمَ يُونُسَ لَمَّا آمَنُوا كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَىٰ حِينٍ

“Dan mengapa tidak ada suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka beriman, Kami hilangkan dari mereka adzab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.” (QS. Yunus [10] : 98)


Nabi Yunus ‘alaihis salam di Dalam Perut Ikan

0 Comment for "Nabi Yunus ‘alaihis salam Putus Asa Terhadap Kaumnya"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top