Periode Pendidikan Islam: Pendidikan Islam Pra Kelahiran (Tarbiyah Qabl al-Wiladah)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum [30] : 21)




Pendidikan Pra Kelahiran (Tarbiyah Qabl al-Wiladah) adalah pendidikan yang dilakukan sebelum masa kelahiran. Masa ini ditandai dengan 3 (tiga) fase yaitu fase pemilihan jodoh, pernikahan, dan kehamilan.

1.       Fase Pemilihan Jodoh

Fase ini adalah persiapan bagi seseorang yang sudah dewasa untuk menghadapi hidup baru yaitu berkeluarga. Salah satu pendidikan yang dimiliki oleh seseorang yang sudah dewasa itu adalah masalah pemilihan jodoh yang tepat. Sebab masalah ini mempengaruhi terhadap kebahagiaan rumah tangga nantinya.[1]

Pemilihan jodoh haruslah memenuhi beberapa syarat dan kriteria. Kriteria ini dibagi kepada dua golongan yakni; kriteria umum dan kriteria yang bersifat khusus (subjektif). Kriteria umum maksudnya ialah bahwasanya jodoh yang dipilih sudah dewasa atau matang secara usia maupun sikap, hal tersebut memiliki tujuan agar tidak mengalami kesulitan dalam berkeluarga. Sedangkan kriteria khusus maksudnya adalah kriteria-kriteria yang sifatnya subjektif yaitu sesuai dengan selera masing-masing. Tentu saja karena bersifat subjektif maka dalam hal ini krtiteria menjadi relatif dan berbeda-beda setiap orangnya, namun umumnya seseorang akan melihat beberapa pertimbangan seperti harta atau kekayaannya, keturunanannya, kecantikan atau ketampanannya dan juga agamanya.

a.       Pemilihan Calon Istri

Salah satu bukti bahwa wanita memiliki kedudukan yang mulia dalam Islam adalah bahwa terdapat anjuran untuk memilih calon istri dengan lebih selektif. Yaitu dengan adanya beberapa kriteria khusus untuk memilih calon istri. Di antara kriteria tersebut adalah:

1)       Bersedia taat kepada suami

Seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ

“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita.”[2]

Sudah sepatutnya seorang pemimpin untuk ditaati. Ketika ketaatan ditinggalkan maka hancurlah ‘organisasi’ rumah tangga yang dijalankan. Oleh karena itulah, Allah dan Rasul-Nya dalam banyak dalil memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya, kecuali dalam perkara yang diharamkan. Meninggalkan ketaatan kepada suami merupakan dosa besar, sebaliknya ketaatan kepadanya diganjar dengan pahala yang sangat besar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا ، وَصَامَتْ شَهْرَهَا ، وَحصّنت فَرْجَهَا ، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا ، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka dikatakanlah kepadanya: Masuklah kedalam surga dari pintu mana saja yang engkau inginkan.”[3]

Maka seorang muslim hendaknya memilih wanita calon pasangan hidupnya yang telah menyadari akan kewajiban ini.

2)       Menjaga auratnya dan tidak memamerkan kecantikannya kecuali kepada suaminya

Berbusana muslimah yang benar dan syar’i adalah kewajiban setiap muslimah. Seorang muslimah yang shalihah tentunya tidak akan melanggar ketentuan ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Wahai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.'”[4]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengabarkan dua kaum yang kepedihan siksaannya belum pernah beliau lihat, salah satunya adalah wanita yang memamerkan auratnya dan tidak berbusana yang syar’i. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ ، مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا ، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

“Para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”[5]

Berdasarkan dalil-dalil yang ada, para ulama merumuskan syarat-syarat busana muslimah yang syar’i di antaranya: menutup aurat dengan sempurna, tidak ketat, tidak transparan, bukan untuk memamerkan kecantikan di depan lelaki non-mahram, tidak meniru ciri khas busana non-muslim, tidak meniru ciri khas busana laki-laki, dll. Maka pilihlah calon istri yang menyadari dan memahami hal ini, yaitu para muslimah yang berbusana muslimah yang syar’i.

3)       Gadis lebih diutamakan dari janda

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan agar menikahi wanita yang masih gadis. Karena secara umum wanita yang masih gadis memiliki kelebihan dalam hal kemesraan dan dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis. Sehingga sejalan dengan salah satu tujuan menikah, yaitu menjaga dari penyaluran syahawat kepada yang haram. Wanita yang masih gadis juga biasanya lebih nrimo jika sang suami berpenghasilan sedikit. Hal ini semua dapat menambah kebahagiaan dalam pernikahan. Diriwayatkan dari Bisyir bin ‘Aashim dari Bapaknya dari Kakeknya secara marfu’ bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

عليكم بشواب النساء فإنهن أطيب أفواها، وأنتق بطونا وأسخن أقبالاً

“Hendaknya kalian menikahi gadis perawan, karena mereka lebih suci mulutnya, lebih subur rahimnya dan lebih hangat vaginanya.”[6]

Namun tidak mengapa menikah dengan seorang janda jika melihat maslahat yang besar. Seperti  sahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang menikah dengan janda karena ia memiliki 8 orang adik yang masih kecil sehingga membutuhkan istri yang pandai merawat anak kecil, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyetujuinya.

4)       Nasabnya baik

Dianjurkan kepada seseorang yang hendak meminang seorang wanita untuk mencari tahu tentang nasabnya.

Alasan pertama, keluarga memiliki peran besar dalam mempengaruhi ilmu, akhlak dan keimanan seseorang. Seorang wanita yang tumbuh dalam keluarga yang baik lagi Islami biasanya menjadi seorang wanita yang shalihah.

Alasan kedua, di masyarakat kita yang masih awam terdapat permasalahan pelik berkaitan dengan status anak zina. Mereka menganggap bahwa jika dua orang berzina, cukup dengan menikahkan keduanya maka selesailah permasalahan. Padahal tidak demikian. Karena dalam ketentuan Islam, anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak di-nasab-kan kepada si lelaki pezina, namun di-nasab-kan kepada ibunya. Berdasarkan hadits:

الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ

“Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.”[7]

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menetapkan anak tersebut dinasabkan kepada orang yang berstatus suami dari si wanita. Menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi tuntutan hadits ini.

Konsekuensinya, anak yang lahir dari hasil zina, apabila ia perempuan maka suami dari ibunya tidak boleh menjadi wali dalam pernikahannya. Jika ia menjadi wali maka pernikahannya tidak sah, jika pernikahan tidak sah lalu berhubungan intim, maka sama dengan perzinaan. Iyyadzan billah, kita berlindung kepada Allah dari kejadian ini. Oleh karena itulah, seorang lelaki yang hendak meminang wanita terkadang perlu untuk mengecek nasab dari calon pasangan.

b.       Pemilihan calon suami

Khusus bagi seorang muslimah yang hendak memilih calon pendamping, ada satu kriteria yang penting untuk diperhatikan. Yaitu calon suami memiliki kemampuan untuk memberi nafkah. Karena memberi nafkah merupakan kewajiban seorang suami. Islam telah menjadikan sikap menyia-nyiakan hak istri, anak-anak serta kedua orang tua dalam nafkah termasuk dalam kategori dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَعُوْلُ

“Cukuplah seseorang itu berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”[8]

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun membolehkan bahkan menganjurkan menimbang faktor kemampuan memberi nafkah dalam memilih suami. Namun kebutuhan akan nafkah ini jangan sampai dijadikan kriteria dan tujuan utama. Jika sang calon suami dapat memberi nafkah yang dapat menegakkan tulang punggungnya dan keluarganya kelak itu sudah mencukupi. Karena Allah dan Rasul-Nya mengajarkan akhlak zuhud (sederhana) dan qana’ah (menyukuri apa yang dikarunai Allah) serta mencela penghamba dan pengumpul harta. Selain itu, bukan juga berarti calon suami harus kaya raya. Karena Allah subhanahu wa ta’ala pun menjanjikan kepada para lelaki yang miskin yang ingin menjaga kehormatannya dengan menikah untuk diberi rizki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”[9]

2.       Fase Pernikahan

Ada beberapa aspek yang dijelaskan oleh syari’at Islam yang berhubungan dengan anjuran pernikahan/perkawinan antara lain:

a.       Perkawinan merupakan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Ayyub radhiyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَرْبَعٌ مِنْ سُـنَنِ الْمُرْسَلِيْنَ: اَلْحَيَـاءُ، وَالتَّعَطُّرُ، وَالسِّوَاكُ، وَالنِّكَاحُ

“Ada empat perkara yang termasuk Sunnah para Rasul: rasa-malu, memakai wewangian, bersiwak, dan menikah.”[10]

b.       Perkawinan untuk ketentraman dan kasih sayang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”[11]

c.       Perkawinan untuk mendapatkan keturunan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk menikah dan mencari keturunan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu:

تَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، وَلا تَكُونُوا كَرَهْبَانِيَّةِ النَّصَارَى

“Menikahlah, karena sesungguhnya aku akan membangga-banggakan jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari Kiamat, dan janganlah kalian seperti para pendeta Nasrani.”[12]

d.       Perkawinan untuk memelihara pandangan dan menjaga kemaluan dari kemaksiatan.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan: “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemuda yang tidak mempunyai sesuatu, lalu beliau bersabda kepada kami:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

‘Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (sebagai tameng).'”[13]

Setelah calon telah terpilih, maka dilakukanlah prosesi khitbah yang kemudian dilanjutkan dengan akad nikah sekaligus walimatul ursynya. Dalam prosesi akad nikah, sebelum akad nikah dilakukan maka disyari’atkan untuk khutbah nikah dimana dalam khutbah nikah, terkandung nilai-nilai pendidikan, antara lain peningkatan amal dan iman, pergaulan yang baik antara suami dengan istri, kerukunan dalam berumah tangga, memelihara silaturahim dan mawas diri atau berhati-hati dalam segala tindak dan perilaku.

3.       Fase kehamilan

Salah satu tujuan berumah tangga adalah untuk mendapatkan keturunan, karena itu seorang istri mengharapakan ia dapat melahirkan seorang anak. Sebagai tanda seorang istri akan memiliki anak adalah melalui proses kehamilan selama lebih kurang 9 bulan. Di dalam rahim seorang ibu, Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan janin untuk senantiasa berkembang dari satu masa ke masa yang lain. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَّكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah, kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”[14]

Menurut penjelasan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masa kehamilan memiliki beberapa tahapan, yaitu :
1) Tahap Nuthfah, pada tahap ini calon anak masih dalam bentuk cairan sperma dan sel telur. Tahap ini berlangsung selama 40 hari.
2) Tahap ‘Alaqah, setelah berumur 80 hari, cairan tersebut berkembang bagaikan segumpal darah kental dan bergantung pada dinding rahim ibu.
3) Tahap Mudghah, setelah berumur 120 hari, segumpal darah tadi berkembang menjadi segumpal daging. Pada masa inilah, calon bayi telah siap menerima hembusan ruh dari Malaikat utusan Allah.

Tahapan di atas sebagaimana sebuah hadits yang masyhur yang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وَعَمَلِهِ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ


“Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dipadukan bentuk ciptaannya dalam perut ibunya selama empat puluh hari (dalam bentuk mani) lalu menjadi segumpal darah selama itu pula (selama 40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, lalu ditetapkan baginya empat hal: rizkinya, ajalnya, perbuatannya, serta kesengsaraannya dan kebahagiaannya.”[15]

Menurut Zakiah Daradjad, proses pendidikan akan lebih berpengaruh kepada anak apabila diamalkan langsung oleh orang tuanya selama janin ada dalam kandungan. Kontak psikis secara langsung antara orang tua, terutama ibu dengan si janinlah yang sebenarnya disebut dengan pendidikan pada masa kehamilan.[16]

Periode Pendidikan Islam:
Pendidikan Islam masa Pasca Kelahiran (Tarbiyah Ba’da al-Wiladah)


[1] Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. 2002. Jakarta: Kalam Muliya, hal. 302.
[2] QS. an-Nisa’ [4] : 34
[3] HR. Ibnu Hibban no. 1296
[4] QS. al-Ahzab [33] : 59
[5] HR. Muslim no. 2128
[6] HR. Imam as-Suyuthi dalam Jami’ al-Kabir, no. 14340
[7] HR. al-Bukhari no. 1912 dan Muslim no. 2645
[8] HR. Abu Dawud no. 1692
[9] QS. an-Nur [24] : 32
[10] HR. at-Tirmidzi no. 1086
[11] QS. ar-Rum [30] : 21
[12] HR. al-Baihaqi, VII/78, Juz 7 hal. 78
[13] HR. al-Bukhari no. 5066, Muslim no. 1402 dan at-Tirmidzi no. 1087
[14] QS. al-Mu’minun [23] : 12-14
[15] HR. al-Bukhari no. 3208 dan Muslim no. 2643
[16] Zakiah Daradjat. Bahan Kuliah Ilmu Pendidikan Islam. 1996. Padang: PPs. IAIN Imam Bonjol.


Referensi

  • al-Qur’an al-Karim
  • al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah.
  • al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. 1419 H. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah.
  • al-Imam Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa al-Baihaqi. as-Sunan al-Kubra. 1424 H. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
  • al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats as-Sijistani. Sunan Abu Dawud. 1419 H. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah.
  • al-Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban bin Ahmad at-Tamimi al-Busti. Shahih Ibnu Hibban. 1372 H. Dar al-Ma’arif.
  • al-Imam jalaluddin as-Suyuthi ‘Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin. Jami’ al-Jawami’ al-Ma’ruf bi al-Jami’ al-Kabir. 1426 H. Kairo: al-Azhar asy-Syarif.
  • al-Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Riyadh: Bait al-Afkar ad-Dauliyyah.
  • Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. 2002. Jakarta: Kalam Muliya.
  • Zakiah Daradjat. Bahan Kuliah Ilmu Pendidikan Islam. 1996. Padang: PPs. IAIN Imam Bonjol.

0 Comment for "Periode Pendidikan Islam: Pendidikan Islam Pra Kelahiran (Tarbiyah Qabl al-Wiladah)"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top