“Barangsiapa
mengucapkan laa ilaaha illallah dan mengingkari semua yang disembah selain
Allah, haramlah harta dan darahnya dan hisabnya tergantung kepada Allah.” (HR.
Muslim no. 23)
Tidak
diragukan bahwasanya kalimat Laa ilaha illallah (Tidak ada Tuhan yang berhak
diibadahi selain Allah) merupakan dasar agama Islam, dan merupakan rukun
pertama dari rukun Islam, bersama dengan syahadat Muhammad Rasulullah (syahadat
risalah), sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ
الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu
bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah
dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat,
puasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.”[1]
Hadits ini disepekati
keshahihannya, diriwaytkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma.
Dalam
Shahih al-Bukhari dan Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatakan dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
bahwasanya ketika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz radhiyallahu
‘anhu berdakwah ke Yaman, beliau bersabda:
إِنَّكَ
تَأْتيِ قَوْماً مِنْ أَهْلِ الْكِتاَبِ فَادْعُهُمْ إِلىَ أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ فَإِنْ أَطاَعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ
أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَواَتٍ فيِ الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ وَإِنْ
أَطاَعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةٍ تُؤْخَذُ
مِنْ أَغْنِياَئِهِمْ فَتُرَدُّ فيِ فُقَراَئِهِمْ
“Sesungguhnya engkau akan menghadapi kaum
Ahli Kitab maka ajaklah mereka untuk bersyahadat bahwa tiada tuhan yang berhak
disembah selain Allah dan bahwa diriku adalah utusan Allah. Jika mereka
mematuhimu dalam hal tersebut, beritahu mereka kemudian bahwa Allah telah
mewajibkan mereka untuk shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka pun patuh
untuk itu, ajari pula mereka bahwa Allah mewajibkan mereka menunaikan zakat
yang ditarik dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan pada para fakir
miskin dari kalangan mereka.”[2]
Hadits-hadits dalam masalah ini
sangat banyak.
Makna
syahadat Laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar
selain Allah. Kalimat ini meniadakan sesembahan yang benar dari selain Allah subhanahu wa ta’ala dan menetapkan hanya
untuk Allah saja sesembahan yang benar, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-Hajj:
ذَٰلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Demikianlah (kebesaran Allah) karena
Allah, Dialah (Tuhan) Yang Hak. Dan apa saja yang mereka seru selain Dia,
itulah yang batil, dan sungguh Allah Dialah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.”[3]
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat
al-Mu’minun:
وَمَن
يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ
عِندَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain
selain Allah, padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu, maka perhitungannya
hanya pada Tuhannya. Sungguh orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.”[4]
Dan firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat al-Baqarah:
وَإِلَٰهُكُمْ
إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ
“Dan Tuhanmu ialah Tuhan Yang Mahaesa,
tiada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang.”[5]
Allah juga berfirman dalam
surat al-Bayyinah:
وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah
Allah dengan ikhlas memurnikan ketaatan kepada-Nya semata dalam menjalankan
agama yang lurus.”[6]
Ayat-ayat
lain yang semakna sangatlah banyak. Kalimat yang agung ini tidaklah bermanfaat
bagi yang mengucapkannya dan tidak akan mengeluarkan orang yang mengucapkannya
dari kesyirikan jika dia tidak memahami maknanya, tidak mengamalkannya dan
tidak membenarkannya. Sesungguhnya orang-orang munafik pun telah mengucapkannya
dan mereka kelak berada di dalam dasar neraka karena mereka tidak mengimaninya
dan juga tidak mengamalkannya.
Dan juga orang-orang Yahudi, mereka mengucapkannya namun
mereka tetaplah manusia yang paling kafir karena tidak ada keimanan atas
kalimat tersebut. Begitu juga para penyembah kubur dan penyembah orang-orang
shalih yang mereka ini adalah orang-orang kafir, mereka mengucapkan kalimat ini
akan tetapi perkataan, perbuatan dan aqidah mereka justru menyelisihi kalimat
ini. Maka tidak bermanfaat bagi mereka kalimat ini dan juga tidak menjadikan
mereka sebagai kaum muslimin hanya dengan mengucapkan kalimat ini, hal ini
dikarenakan mereka telah membatalkan kalimat tauhid tersebut dengan perkataan,
perbuatan serta aqidah mereka.
Sesungguhnya
sebagian ahli ilmu menjelaskan bahwasanya terdapat delapan syarat dari kalimat
tauhid, mereka menghimpun dalam dua bait sya'ir. Mereka berkata
علم
يقين وإخلاص وصدقك مع محبة وانقياد والقبول لها
وزيد
ثامنها الكفران منك بما سوى الإله من الأشياء قد أُلها
“Ilmu, yakin, ikhlas, dan jujurmu bersama
cinta, patuh, dan penerimaanmu padanya.”
“Tambah yang ke delapan, ingkarmu pada
semua yang disembah selain Dia”
Dua
bait sya'ir ini sesungguhnya telah menghimpun syarat-syarat kalimat tauhid:
Pertama: Ilmu sebagai lawan
dari jahil (tidak tahu). Diatas telah disebutkan bahwasanya makna kalimat
tauhid adalah tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, maka semua
yang disembah oleh manusia selain Allah adalah sembahan yang bathil.
Kedua: Yakin sebagai lawan dari
ragu. Haruslah seseorang yang mengucapkan kalimat tauhid meyakini bahwasanya
Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat
yang berhak diibadahi.
Ketiga: Ikhlas, yaitu dengan
memurnikan semua ibadahnya hanya kepada Tuhannya, yaitu Allah ‘azza wa jalla. Maka apabila seuatu
ibadah ditunjukan kepada selain Allah, seperti ditunjukan kepada nabi, wali,
raja, berhala maupun jin dan selainnya, maka dia telah menyekutukan Allah dan
membatalkan syarat ikhlas ini.
Keempat: Jujur yaitu orang yang
mengucapkannya haruslah mengucapkan secara jujur dari dalam hatinya, hatinya
sesuai dengan lisannya dan lisannya sesuai dengan hatinya. Apabila dia hanya
mengucapkan dengan lisan saja sedangkan hatinya tidak mengimani, maka kalimat
tauhid ini tidak bermanfaat baginya dan dengan demikian dia tetap kafir
sebagaimana seluruh orang-orang munafik.
Kelima: Cinta yaitu orang yang
mengucapkannya haruslah mencintai Allah ‘azza
wa jalla. Apabila dia mengucapkan kalimat tauhid ini namun tidak mencintai
Allah, maka dia tetap kafir dan tidak menjadikan dia masuk Islam sebagaimana
orang-orang munafik. Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قُلْ
إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
“Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu
mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.”[7]
Dan firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
وَمِنَ
النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ
“Dan di antara manusia ada orang yang
menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti
mereka mencintai Allah.”[8]
Ayat-ayat yang semakna dengan
ini sangatlah banyak.
Keenam: Patuh terhadap
konsekuensi yang terkandung didalam makna kalimat tauhid, yaitu dengan
beribadah hanya kepada Allah semata, memathui syari’at-Nya, mengimani dan
maykini bahwa syari’at-Nya adalah benar. Apabila seseorang mengucapkan kalimat
tauhid namun menolak untuk menyembah Allah semata, tidak mematuhi syari’at-Nya
bahkan sombong, maka dia tidaklah dianggap sebagai seorang muslim. Dia itu
seperti Iblis dan yang semisal dengannya.
Ketujuh: Menerima kandungan
kalimat tauhid, maknya yaitu dengan menerima bahwasanya dia harus mengikhlaskan
ibadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan segala bentuk ibadah selain
kepada-Nya, lalu dia berkomitmen dan ridha dengan hal tersebut.
Kedelapan: Kufur terhadap apa
yang diibadahi selain Allah, maknanya yaitu bahwasanya seorang yang mengucapkan
kalimat tauhid harus melepaskan diri dari peribadahan kepada selain Allah dan
meyakini bahwa peribadatan kepada selain Allah adalah bathil. hal ini
sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala:
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[9]
Dan juga di dalam sebuah hadits
shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَنْ
قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ
مَالُهُ وَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
“Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha
illallah dan mengingkari semua yang disembah selain Allah, haramlah harta dan
darahnya dan hisabnya tergantung kepada Allah.”[10]
Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
وَحَّدَ اللَّهَ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ حُرِّمَ مَالُهُ وَدَمُهُ
“Barangsiapa mentauhidkan Allah dan
mengingkari semua yang disembah selain Allah maka haramlah harta dan darahnya.”[11]
Maka wajiblah bagi setiap
muslim untuk mewujudkan kalimat tauhid ini dengan memperhatikan
syarat-syaratnya. Barangsiapa yang mewujudkan makna kalimat tauhid ini dan
istiqamah diatasnya maka dia adalah seorang muslim yang haram darah dan
hartanya. Walaupun dia tidak memahami rincian dari masing-masing syarat, karena
yang menjadi maksud pokok adalah seorang yang beriman memahami maknanya dengan
benar dan mengamalkannya, walaupun dia tidak mengetahui secara rinci
masing-masing syarat kalimat tauhid.
Dan
Thaghut adalah semua yang diibadahi selain Allah, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
لَا
إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ
بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”[12]
Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
ۖ
“Dan sungguh Kami telah mengutus seorang
rasul untuk tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah
thaghut.”[13]
Maka barangsiapa yang disembah
oleh orang lain, akan tetapi dia tidak ridha seperti para nabi, orang-orang
shalih dan para malaikat, maka dia bukanlah thaghut. Karena sesungguhnya
thaghut adalah setan yang menyeru manusia untuk beribadah kepada dirinya dan
menjadikan peribadahan kepada dirinya sebagai suatu hal yang indah di mata
manusia. Kita memohon kepada Allah perlindungan untuk diri kita dan seluruh
kaum muslimin dari segala kejelekan. Dan kemudian terdapat perbedaan antara
perbuatan yang membatalkan kalimat Laa ilaha illallah ini dengan perbuatan yang
hanya membatalkan sebagian penyempurna iman yang wajib, yaitu bahwasanya seluruh
amalan, perkataan atau keyakinan yang menjerumuskan pelakuknya kepada syirik
akbar, maka hal tersebut membatalkan iman secara menyeluruh, seperti berdo’a
kepada orang yang sudah mati, malaikat, berhala, pohon, batu, bintang atau
kepada yang semisal dengan itu, atau menyembelih dan bernadzar untuk mereka,
bersujud kepada mereka dan selain itu.
Maka
itu semua meniadakan tauhid serta membatalkan tauhid secara menyeluruh, yaitu
membatalkan kalimat Laa ilaha illallah. Dan contoh lainnya seperti menghalalkan
perkara-perkara yang telah Allah haramkan dan telah diketahui keharamannya
secara dharuri dan ijma’, seperti berzina, minum khamr, durhaka kepada orang
tua, riba dan sebagainya. dan juga contoh lainnya seperti meragukan perkataan
dan perbuatan yang telah Allah wajibkan yang diketahui secara dharuri maupun
ijma’ merupakan bagian dari agama, seperti kewajiban shalat lima waktu, zakat,
puasa Ramadhan, berbakti kepada orang tua, mengucapkan dua kalimat syahadat dan
sebagainya.
Adapun
perkataan, perbuatan serta keyakinan yang melemahkan tauhid dan iman dan
membatalkan bagian-bagian penyempurna wajibnya sangatlah banyak, misalnya
seperti syirik ashghar seperti riya’ (ingin dilihat oleh orang lian) dan
bersumpah dengan nama selain Allah, dan juga perkataan maa syaa Allah wa sya-a fulan (sesuai dengan kehendak Allah dan
kehendak fulan), atau ucapan hadza
minallahi wa min fulan (ini dari Allah dan dari si Fulan) dan sebagainya.
Demikian
pula seluruh kemaksiatan itu melemahkan tauhid dan iman, serta meniadakan bagian-bagian
penyempurna iman yang wajib. Karena itu, wajib untuk mewaspadai segala hal yang
dapat membatalkan tauhid dan iman atau yang mengurangi pahalanya. Dan iman
menurut Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Dalil
mengenai hal itu sangatlah banyak dan telah dijelaskan oleh para ahli ilmu di
dalam kitab-kitab aqidah, tafsir dan hadits. Maka barangsiapa yang menginginkan
dalilnya, maka dia akan mendapatkannya, segala puji milik Allah. Dan diantara
dalil mengenai hal tersebut adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِذَا
مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا
فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surah, maka
di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara
kamu yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini?” Adapun orang-orang
beriman, maka surah ini menambah imannya dan mereka merasa gembira. ”[14]
Dan juga firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ
عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah mereka yang apabila nama Allah disebut, gemtarlah hatinya, dan apabila
dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambahlah imannya dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal.”[15]
Dan juga firman-Nya subhanahu wa ta’ala:
وَيَزِيدُ
اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada
merek yang telah mendapat petunjuk.”[16]
Dan ayat-ayat yang semakna
dengan ini sangat banyak.
Sumber: Majmu’ Fatawa wa
Maqalat Mutanawwi’ah karya asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, Juz 7 hal. 54-60
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ
إِلَيْكَ
[2] HR.
al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 19
[3] QS.
al-Hajj [22] : 62
[5] QS.
al-Baqarah [2] : 163
[14] QS.
at-Taubah [9] : 124
[15] QS.
al-Anfal [8] : 2
[16] QS.
Maryam [19] : 76
Referensi
- al-Qur’an al-Kariim
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Baz. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah. 1420 H. Dar al-Qasim Riyadh.
0 Comment for "Konsekuensi Syahadat Tauhid"