“Setiap kita bisa diterima
dan juga ditolak perkataannya, kecuali perkataan dari penghuni kubur ini (yakni
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam).” (al-Maqashid al-Hasanah, hal. 513)
Dua kalimat syahadat merupakan kalimat yang sangat agung
dimana terdapat syarat-syarat serta konsekuensi yang harus diterima oleh
seorang yang mengucapkannya. Dua kalimat syahadat sendiri terdiri atas syahadat
tauhid dan syahadat risalah. Syahadat
risalah adalah syahadat dimana seseorang mengakui
secara lahir dan batin bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam
adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan,
serta mengamalkan konsekuensinya yaitu menta’ati perintahnya, membenarkan
ucapannya, menjauhi larangannya dan tidak menyembah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali
dengan apa yang disyari’atkan. Mengenai syarat syahadat risalah, asy-Syaikh
Shalih al-Fauzan hafizhahullah
berkata:
وشروط شهادة أن محمد رسول الله هي الأعتراف
برسالته وأعتقادها باطنا في القلب ، النطق بذلك والاعتراف به ظاهراللسان ، المتابعة
له بأن يعمل بما جاء به من الحق ، ويترك مانهى عنه من الباطل ، تصديقه فيما أخبر من
الغيوب الماضية والمستقبلية ، محبته أشد من محبة النفس والمال والولد والوالد والناس
أجمعين ، تقديم قوله على قول كل أحد والعمل بسنته
“Syarat
syahadat anna Muhammadan Rasulullah adalah mengakui kerasulannya dan
meyakininya di dalam hati, mengucapkan dan mengikrarkan dengan lisan, mengikutinya
dengan mengamalkan ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan
kebatilan yang telah dicegahnya, membenarkan segala apa yang dikabarkan dari
hal-hal yang ghaib baik yang sudah lewat maupun yang akan datang, mencintainya
melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh
umat manusia dan mendahulukan sabdanya atas segala pendapat dan ucapan orang
lain serta mengamalkan sunnahnya.”[1]
Dari perkataan asy-Syaikh Shalih
al-Fauzan hafizhahullah diatas,
setidaknya syarat syahadat risalah itu ada enam hal, yaitu:
1.
Mengakui kerasulannya dan
meyakininya di dalam hati
Seseorang yang bersyahadat
risalah, maka wajiblah dia mengakui dan meyakini di dalam hatinya tanpa
keraguan sedikitpun bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.”[2]
2.
Mengucapkan dan mengikrarkan
dengan lisan
Setelah seseorang tersebut
mengakui dan meyakini di dalam hatinya bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang diutus oleh
Allah subhanahu wa ta’ala,
selanjutnya dia harus mengucapkannya dan mengikrarkannya dengan lisan. asy-Syaikh
Muhammad Mayyarah al-Maliki rahimahullah
berkata:
اعلم ان الناس على ضربين مؤمن وكافر أما المؤمن بالأصالة فيجيب عليه
ان يذكرها فى العمرِ مرة واحدة ينوِى فى تلك المرة بذكرها الوجب و إن ترك ذلك فهو عاص
“Ketahuilah,
sesungguhnya manusia itu terbagi menjadi dua golongan yaitu mu’min dan kafir.
Adapun mu’min (yang berstatus keturunan), maka wajib mengucapkan dua kalimat
syahadat sekali seumur hidupnya yang diniatkan untuk menjalankan kewajiban
syari’at lainnya, dan seandainya ia menolak (enggan bersyahadat), maka dia
telah bermaksiat.”[3]
3.
Mengikutinya dengan mengamalkan
ajaran kebenaran yang telah dibawanya serta meninggalkan kebatilan yang telah
dicegahnya
Seseorang yang telah meyakini dan
mengikrarkan syahadat risalah, maka dia wajib mengikuti segala ajaran kebenaran
yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan juga mengamalkannya. Selain itu wajib pula
meninggalkan segala bentuk kebathilan yang telah dicegahnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
4.
Membenarkan segala apa yang dikabarkan
dari hal-hal yang ghaib baik yang sudah lewat maupun yang akan datang
Seseorang yang telah meyakini dan
mengikrarkan syahadat risalah maka wajib baginya membenarkan segala apa yang
telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam termasuk di dalamnya mengenai perkara-perkara ghaib baik
yang telah terjadi maupun yang akan terjadi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu,
maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.”[5]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ ! يَأْتِينِي
خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً
“Tidakkah
kalian mempercayai aku, padahal aku kepercayaan dari (Allah) yang Berada di
atas langit. Datang kepadaku khabar langit pagi dan sore.”[6]
5.
Mencintainya melebihi cintanya
kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua serta seluruh umat manusia
Seseorang yang telah meyakini dan
mengikrarkan syahadat bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan Allah subhanahu wa ta’ala, maka wajib baginya
untuk mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melebihi cintanya kepada dirinya sendiri, harta, anak, orangtua
serta seluruh umat manusia. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidaklah
(sempurna) iman salah seorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya
daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh umat manusia.”[7]
Diriwayatkan pula dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya beliau
berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
لأَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلاَّ
مِنْ نَفْسِيْ فَقَالَ لاَ وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْكَ
مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّكَ اْلآنَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِيْ
فَقَالَ اْلآنَ يَا عُمَرُ
“Sesungguhnya
engkau wahai Rasulullah, adalah orang yang paling aku cintai daripada segala
sesuatu selain diriku sendiri.” Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda: “Tidak,
demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, sehingga aku lebih engkau cintai dari
dirimu sendiri.” Maka ‘Umar berkata kepada beliau: “Sekarang ini engkau lebih
aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi shallallahu alaihi wasalam
bersabda: “Sekarang (telah sempurna kecintaanmu) wahai ‘Umar.”[8]
Sedangkan cinta sendiri pastilah
memiliki wujud aplikasinya, dan wujud aplikasi dari cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dengan menghidupkan sunnah-sunnah beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ
مَعِي فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah mencintaiku. Dan barangsiapa yang
telah mencintaiku, maka aku bersamanya di surga.”[9]
6.
Mendahulukan sabdanya atas segala
pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnahnya
Syarat terakhir jika seseorang telah
meyakini dan mengikrarkan syahadat risalah adalah dia wajib mendahulukan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diatas segala pendapat dan ucapan orang lain serta mengamalkan sunnah-sunnahnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ
وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”[10]
al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
كل يُؤخذ من كلامه ويُرد إلا صاحب هذا القبر
“Setiap
kita bisa diterima dan juga ditolak perkataannya, kecuali perkataan dari
penghuni kubur ini (yakni Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam).”[11]
Maksud perkataan al-Imam Malik
bin Anas rahimahullah di atas adalah
bahwa setiap perkataan seseorang jika perkataan tersebut menyelisihi perkataan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
walaupun perkataan tersebut baik menurut pendapat kita, maka wajib bagi kita
meninggalkan perkataan seseorang tersebut dan mendahulukan perkataan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian penjelasan mengenai
syarat-syarat syahadat risalah. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan kita dalam memahami dan
mengamalkannya. Wallahu a’lam. Semoga
bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Referensi
- al-Qur’an al-Kariim
- al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ism’ail al-Ju’fi al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah at-Tirmidzi. Jami’ at-Tirmidzi. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- al-Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi. Shahih Muslim. 1419 H. Bait al-Afkar ad-Dauliyyah Riyadh.
- asy-Syaikh Abu ‘Abdilah Muhammad bin Ahmad Mayyarah al-Maliki. ad-Durr ats-Tsamin wa al-Maurid al-Mu’in Syarh al-Mursyid al-Mu’in ‘alaa adh-Dharuri min ‘Ulum ad-Diin. 1429 H. Dar al-Hadits Kairo.
- asy-Syaikh Muhammad ‘Abdurrahman as-Sakhawi. al-Maqashid al-Hasanah fii Bayan Katsir min al-Ahadits al-Musytaharah ‘alaa al-Alsinah. 1405 H. Dar al-Kitab al-‘Arabi Beirut.
- asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan. ‘Aqidah at-Tauhid wa Bayan Maa Yudhadduha au Yanqushuha min asy-Syirk al-Akbar wa al-Ashghar wa at-Ta’thil wa al-Bida’ wa Ghair Dzalik. 1434 H. Maktabah Dar al-Minhaj Riyadh.
0 Comment for "Syarat Syahadat Risalah"