Perbedaan Hadats dan Najis

“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.” (QS. At-Taubah [9] : 28)


            Sebagian dari masyarakat Muslim khususnya di Nusantara masih kebingungan mengenai dua hal ini, mereka kesulitan untuk membedakan antara hadats dan najis. Bahkan ada yang berpendapat bahwa hadats dan najis adalah sama. Namun pernyataan tersebut jelaslah keliru. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menjelaskan secara singkat perbedaan hadats dan najis. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memudahkan.

Hadats adalah sebuah hukum yang ditujukan pada tubuh seseorang dimana karena hukum tersebut dia tidak boleh mengerjakan shalat. Dia terbagi menjadi dua: Hadats akbar yaitu hadats yang hanya bisa diangkat dengan mandi junub, dan hadats ashghar yaitu yang cukup diangkat dengan berwudhu atau yang biasa dikenal dengan nama pembatal wudhu’.

Sedangkan najis dia adalah semua perkara yang kotor dari kacamata syariat, karenanya tidak semua hal yang kotor di mata manusia langsung dikatakan najis, karena najis hanyalah yang dianggap kotor oleh syariat. Misalnya tanah atau lumpur itu kotor di mata manusia, akan tetapi dia bukan najis karena tidak dianggap kotor oleh syariat, bahkan tanah merupakan salah satu alat bersuci.

Najis terbagi menjadi tiga:

1.       Najis Maknawiah, misalnya kekafiran. Karenanya Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu adalah najis.” (QS. At-Taubah [9] : 28) yakni bukan tubuhnya yang najis akan tetapi kekafirannya.


2.       Najis Ainiah, yaitu semua benda yang asalnya adalah najis. Misalnya: Kotoran dan kencing manusia dan seterusnya.


3.       Najis Hukmiah, yaitu benda yang asalnya suci tapi menjadi najis karena dia terkena najis. Misalnya: Sandal yang terkena kotoran manusia, baju yang terkena haid atau kencing bayi, dan seterusnya.

Dari perbedaan di atas kita bisa melihat bahwa hadats adalah sebuah hukum atau keadaan, sementara najis adalah benda atau zat. Misalnya: Buang air besar adalah hadats dan kotoran yang keluar adalah najis, buang air kecil adalah hadats dan kencingnya adalah najis, keluar darah haid adalah hadats dan darah haidnya adalah najis.

Kemudian yang penting untuk diketahui adalah bahwa tidak ada korelasi antara hadats dan najis, dalam artian tidak semua hadats adalah najis demikian pula sebaliknya tidak semua najis adalah hadats. Contoh hadats yang bukan najis adalah mani dan kentut. Keluarnya mani adalah hadats yang mengharuskan seseorang mandi akan tetapi dia sendiri bukan najis karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan memakai pakaian yang terkena mani, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْسِلُ الْمَنِىَّ ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ فِى ذَلِكَ الثَّوْبِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ الْغَسْلِ فِيهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencuci bekas mani (pada pakaiannya) kemudian beliau keluar untuk melaksanakan shalat dengan pakaian tersebut. Aku pun melihat pada pakaian beliau bekas dari mani yang dicuci tadi.” (HR. Muslim no. 289)

Demikian pula buang angin adalan hadats yang mengharuskan wudhu akan tetapi anginnya bukanlah najis, karena seandainya dia najis maka tentunya seseorang harus mengganti pakaiannya setiap kali dia buang angin. Contoh yang najis tapi bukan hadats adalah bangkai. Dia najis tapi tidak membatalkan wudhu ketika menyentuhnya dan tidak pula membatalkan wudhu ketika memakannya, walaupun tentunya memakannya adalah haram.

Jadi, yang membatalkan thaharah hanyalah hadats dan bukan najis. Karenanya jika seseorang sudah berwudhu lalu dia buang air maka wudhunya batal, akan tetapi jika setelah dia berwudhu lalu menginjak kencing maka tidak membatalkan wudhunya, dia hanya harus mencucinya lalu pergi shalat tanpa perlu mengulangi wudhu, dan demikian seterusnya.

Kemudian di antara perbedaan antara hadats dan najis adalah bahwa hadats membatalkan shalat sementara najis tidak membatalkannya. Hal itu karena bersih dari hadats adalah syarat syah shalat sementara bersih dari najis adalah syarat wajib shalat. Dengan dalil hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dimana tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengimami shalat, Malaikat Jibril ‘alaihis salam memberitahu beliau bahwa di bawah sandal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat najis. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam segera melepaskan kedua sandalnya -sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat- lalu meneruskan shalatnya. Seandainya najis membatalkan shalat tentunya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam harus mengulangi dari awal shalat karena rakaat sebelumnya batal. Tapi tatkala beliau melanjutkan shalatnya, itu menunjukkan rakaat sebelumnya tidak batal karena najis yang ada di sandal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi orang yang shalat dengan membawa najis maka shalatnya tidak batal, akan tetapi dia berdosa kalau dia sengaja dan tidak berdosa kalau tidak tahu atau tidak sengaja.

Kesimpulan

Dari uraian di atas kita bisa memetik beberapa perbedaan antara hadats dan najis di kalangan fuqaha` yaitu:

1.       Hadats adalah hukum atau keadaan, sementara najis adalah zat atau benda.
2.       Hadats membatalkan wudhu sementara najis tidak.
3.       Hadats membatalkan shalat sementara najis tidak.
4.       Hadats diangkat dengan bersuci (wudhu, mandi, tayammum), sementara najis dihilangkan cukup dengan dicuci sampai hilang zatnya.

Kesempurnaan hanya milik Allah Rabb semesta alam dan kekurangan hanya dari penulis dan dari setan yang terlaknat. Wallahu a’lam. Semoga Bermanfaat.

0 Comment for "Perbedaan Hadats dan Najis"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top