“Pezina
lelaki dan pezina perempuan cambuklah masing-masing seratus kali cambukan.”
(QS. An-Nur [24] : 2)
Ada beberapa
kalangan dari kita yang masih awam dengan ilmu berfatwa sembarangan dengan
mengatakan orang yang berzina hanya bisa diterima tobatnya dengan cara dicambuk
atau dirajam dan hukum Thaghut di dunia ini tidaklah mengampuni dosa-dosa
mereka. Mereka berfatwa sesuai hawa nafsu mereka tanpa melihat Al-Quran dan
Sunnah disertai pemahaman para sahabat. Lalu sebenarnya apakah benar pernyataan
demikian jika seseorang yang pernah berzina dan bertobat harus dirajam atau
dicambuk agar dosa-dosanya terampuni?
Pertama, tidak
semua orang bisa menerapkan hukuman had (potong tangan, cambuk, rajam, atau
pancung). Pihak yang berhak menegakkan hukuman had adalah pemerintah. Rakyat
sama sekali tidak memiliki wewenang untuk itu, apapun statusnya, bahkan
sekalipun dia tokoh agama di masyarakat. Dalam Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami dinyatakan:
يتولى إقامة الحد إمام المسلمين، أو من ينيبه، بحضرة طائفة من المؤمنين، فلا يجوز لفرد أن يتولى إقامة الحد بنفسه، إلا السيد فيجوز له أن يقيم حد الجلد على مملوكه
“Yang berwenang menyelenggarakan
penegakan hukuman had adalah pemimpin kaum muslimin atau orang yang
mewakilinya, dengan disaksikan sekelompok kaum muslimin. Seseorang tidak boleh
menerapkan hukuman had sendiri, kecuali seorang tuan, dia boleh menerapkan
hukuman cambuk untuk budaknya.” (Mausu’ah Al-Fiqh Al-Islami, Jilid 5 hal. 108)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah menjelaskan kaidah penting tentang hukuman had,
beliau berkata: Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang hukuman
had dan masalah hak dengan penjelasan umum. Seperti firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan pencuri wanita,
potonglah kedua tangannya.” (QS. Al-Maidah [5] : 38)
Atau firman Allah subhanahu
wa ta’ala:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Pezina lelaki dan
pezina perempuan cambuklah masing-masing seratus kali cambukan.” (QS. An-Nur
[24] : 2)
Atau firman Allah subhanahu
wa ta’ala::
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
”Orang yang menuduh
wanita baik-baik berzina dan dia tidak bisa mendatangkan empat saksi, pukullah
dia delapan puluh kali.” (QS. An-Nur [24] : 4)
Dan kita tahu bahwa
orang yang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan, dia orang yang mampu
melakukan perbuatan itu, sementara orang yang tidak mampu, tidak wajib
melakukannya… dan perintah semacam ini sifatnya fardu kifayah bagi yang mampu.
Bentuk kemampuan itu adalah keterlibatan sultan (penguasa). Oleh karena itu,
wajib menegakkan had bagi penguasa atau wakilnya. (Majmu’ Fatawa, Jilid 34 hal.
175)
Kedua, di negara
kita, pemerintah tidak menyelenggarakan hukuman had. Sementara rakyat tidak
boleh proaktif dengan melaksanakan hukuman had sendiri. Sehingga mereka yang
melakukan pelanggaran dengan ancaman hukuman had, tidak bisa ditegakkan hukuman
had untuknya.
Ketiga, bukan
syarat diterimanya taubat zina, dia harus dihukum had, baik cambuk maupun
rajam. Dan bagian paling penting bagi mereka yang melakukan maksiat semacam ini
adalah bertaubat. Memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Jika seseorang
serius bertaubat, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya, statusnya
sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa. Dan ketika seseorang tidak lagi
dianggap memiliki dosa, tidak ada hukuman baginya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang
bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak memiliki itu dosa.” (HR. Ibnu
Majah no. 4250, Al-Baihaqi dalam Al-Kubro no. 20561)
Keempat, Jangan
ceritakan hal ini kepada siapa pun, termasuk orang yang ingin menikah dengan
Anda. Bahkan termasuk kepada lelaki atau perempuan yang nantinya akan menjadi
suami atau istri anda. Menceritakan hal ini kepada orang lain justru akan
menimbulkan masalah baru. Simpan kejadian ini untuk diri Anda sendiri. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat
dengan melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia
menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik no. 1508)
Bahkan jika ada
seseorang yang berzina di negara yang menyelenggarakan hukuman had, namun dia
rahasiakan dosanya, dan tidak melaporkannya ke hakim, maka tidak ada hukuman
had baginya.
Dalam hadis lain
dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam merajam Al-Aslami (seseorang dari bani Aslam), beliau
bersabda:
اجْتَنِبُوا هَذِهِ الْقَاذُورَةَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا فَمَنْ أَلَمَّ فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ وَلْيُتُبْ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِلْنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Jauhilah perbuatan menjijikkan yang
Allah larang ini. Siapa yang pernah melakukannya, hendaknya dia merahasiakannya
dengan tabir yang Allah berikan kepadanya, dan bertaubat kepada Allah. Karena
siapa yang kesalahannya dilaporkan kepada kami, maka kami akan tegakkan hukuman
seperti dalam kitab Allah.” (HR. Al-Hakim 3/272, Al-Baihaqi dalam Ash-Shughra 2719)
Oleh karena itu,
yang paling penting bagi orang yang pernah melakukan dosa zina, baik setelah
menikah maupun sebelum menikah, bukan ditegakkannya hukuman had baginya. Namun
yang paling penting adalah semangat dia untuk bertaubat. Bahkan dianjurkan
baginya untuk merahasiakan dosa ini, sehingga hanya menjadi masalah antara dia
dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga
Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa kita semua. Wallahu
a’lam. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
0 Comment for "Dosa Zina Hanya Diampuni Melalui Hukuman Rajam atau Cambuk?"