“Dengan
apakah Allah dalam Al-Qur’an disifatkan (dengan Al-‘Aliim atau Al-‘Aaqil..??).
Maka jelaslah bagi akal, bahwa ilmu adalah tuan majikannya.”
Dinukil dari
Muaanastul Jaliis hal. 12, seorang penyair pernah menggambarkan keistimewaan ilmu dalam bari
demi baris kalimat yang bertutur tentang perdebatan antara Ilmu dan Akal. Sang
penyair berkata:
عِلْمُ الْعَلِيْمِ وَعَقْلُ الْعَاقِلِ اخْتَلَفَا
مَنْ ذَا الَّذِيْ مِنْهُمَا قَدْ أَحْرَزَ الشَّرَفَا
فَالْعِلْمُ قَالَ: أَنَا أَحْرَزْتُ غَايَتَهُ
وَالْعَقْلُ قَالَ: أَنَـا الرَّحْمَنُ بِيْ عُرِفَا
فَأَفْصَحَ الْعِلْمُ اِفْصَاحًا وَقَالَ لَهُ
بِأَيْنَا اللهُ فِي فُرْقَانِهِ اتَّصَفَا
فَبَانَ لِلْعَقْلِ أَنَّ الْعِلْمَ سَيِّدُهُ
فَقَبَّلَ الْعَقْلُ رَأْسَ الْعِلْمِ وَانْصَرَفَا
“Ilmu orang yang
‘alim dan Akal orang yang cerdik, berselisih pendapat”
“Tentang siapakah
di antara keduanya yang telah meraih (puncak) kemuliaan”
“Ilmu berkata : ‘Aku telah menggapai puncaknya’”
“Akal lantas
menyahut : ‘Akulah Sang akal,
yang dengannya Ar-Rahman (Allah) bisa dikenali (melalui keajaiban ciptaannya di
alam semesta)”
“Maka dengan terang
dan lugas ilmu menjawab: ‘Dengan apakah Allah dalam Al-Qur’an disifatkan (dengan Al-‘Aliim atau Al-‘Aaqil..??)
“Maka jelaslah bagi
akal, bahwa ilmu adalah tuan majikannya”
“Sang akal pun mencium
kening ilmu (sebagai bentuk penghormatan), lantas ia pun pergi berlalu”
Cukuplah satu hal
menjadi bukti dan argumen kokoh yang selamanya tidak mungkin akan terkalahkan
(tentang kemuliaan ilmu pengetahuan), manakala “ilmu” adalah sifat yang Allah jadikan
senantiasa melekat pada diri-Nya dalam keabadian waktu.
Bukankah Allah
mengabarkan tentang diri-Nya dalam Al-Qur’an,
bahwa Dia adalah Al-‘Aliim
(Yang Maha Mengetahui), sementara Allah tidak menamakan dan menyifatkan
diri-Nya dengan Al-‘Aaqil
(Yang berakal), karena keterbatasan dan sifat kurang yang senantiasa melekat
pada akal, betapa pun ia telah menggapai puncak kebrilianan.
0 Comment for "Perdebatan Antara Ilmu dan Akal"