Tanda-Tanda Baligh

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1423)


Baligh secara bahasa memiliki makna sampai, maksudnya telah sampainya seseorang pada tahap kedewasaan. Baligh sendiri adalah suatu masa dimana seseorang mulai dibebani dengan beberapa hukum syari’at atau taklif. Dan orang yang sudah dibebani hukum syari’at disebut dengan mukallaf. Akan tetapi perlu diperhatikan juga bahwa bahwa semua mukallaf adalah baligh, akan tetapi tidak semua baligh adalah mukallaf, karena ada beberapa golongan yang sudah masuk kategori baligh namun tidak mukallaf (tidak dibebani beban syari’at), yaitu contohnya orang gila. Maka dari hal inilah diambil istilah aqil baligh yang bermakna seseorang yang telah mencapai kondisi baligh dan berakal sehat atau mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Artinya, bahwasanya seseorang yang mukallaf atau diberikan beban syari’at adalah jika dia telah baligh, berakal dan mengerti terhadap hukum syari’at tersebut. Jika tidak memenuhi hal ini maka tak ada beban syari’at bagi dirinya. Termasuk di dalamnya adalah orang yang hilang akal baik karena penyakit gila maupun tidur. Dalil yang digunakan adalah hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1423)

Semua ulama fiqih sepakat bahwa aqil baligh menjadi syarat mutlak dalam ibadah dan muamalah. Dalam ibadah, berakal menjadi syarat wajib shalat, puasa, dan sebagainya. Dalam muamalah, terutama masalah pidana dan perdata. Karena begitu pentingnya mengenai aqil baligh ini, maka seseorang wajib mengetahui batasan antara baligh dan belum baligh, karena batasan ini menjadi patokan seseorang mulai dihitung amal kebaikannya dan keburukannya.

Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah dalam Matan Safiinatun Najah fi Ushulid Dini wal Fiqhi membagi tanda-tanda baligh menjadi tiga, dimana ketika seseorang sudah mengalami salah satu dari tanda ini maka telah balighlah ia dan wajiblah dia melaksanakan hukum-hukum syari’at, Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami rahimahullah berkata:

علامات البلوغ ثلاث : تمام خمس عشرة سنه في الذكروالأنثى والاحتلام في الذكر والأنثى لتسع سنين و الحيض في الأنثى لتسع

Tanda-tanda baligh ada tiga, yaitu: 1) Berusia seorang laki-laki atau wanita lima belas tahun, 2) Ihtilam bagi laki-laki dan wanita ketika melewati sembilan tahun dan 3) Keluar darah haidh sesudah berusia sembilan tahun.

1. Berusia seorang laki-laki atau wanita lima belas tahun

Jika seseorang telah berusia lima belas tahun baik bagi laki-laki maupun wanita, maka telah masuklah ia kedalam masa baligh walaupun dia belum pernah mengalami ihtilam maupun haidh bagi wanita. Masa lima belas tahun dihitung sejak kelahiran hingga seseorang berusia lima belas tahun dalam kalender hijriyah. Dalil yang dijadikan landasan penetapan usia 15 tahun sebagai batas usia baligh adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

عَرَضَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ فِي الْقِتَالِ، وَأَنَا ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْنِي، وَعَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ، وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَنِي

“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun.  Beliau pun memperbolehkanku.”

قَالَ نَافِعٌ: فَقَدِمْتُ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَهُوَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةٌ، فَحَدَّثْتُهُ هَذَا الْحَدِيثَ، فَقَالَ: إِنَّ هَذَا لَحَدٌّ بَيْنَ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ

Nafi’ berkata: “Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, lalu aku beri tahu tentang hadits tersebut. Kemudia ia berkata : “Sungguh ini adalah batasan antara kecil dan besar’.” (HR. Al-Bukhari no. 2664 dan Muslim no. 1868)

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan dalil bahwa batasan baligh adalah usia lima belas tahun dan ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi'i, Imam Al-Auza'i, Imam Ibnu Wahab, Imam Ahmad dan yang lainnya. Mereka menjelaskan bahwa dengan sempurnanya usia lima belas tahun, seseorang sudah dihukumi mukallaf meskipun belum pernah mimpi basah, maka hukum-hukum menyangkut kewajiban ibadah dan lainnya mulai diberlakukan baginya.” (Syarah Muslim, Jilid 13 hal. 12)

            Namun perlu diperhatikan juga bahwa walaupun hadits ini shahih, akan tetapi belum menunjukan secara pasti bahwa usia lima belas tahun adalah batas usia baligh. Karena ada kemungkinan bahwa pelarangan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bukan karena faktor baligh, namun bisa jadi karena masih kecilnya Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma kala itu sehingga dipandang belum mempunyai kecakapan untuk berperang. Hal ini pun dapat dilihat dari ijtihad Umar bin Abdul Aziz rahimahullah yang hanya menandakan usia tersebut sebagai batas besar dan kecil untuk ikut berperang. Bukan baligh dan tidak baligh.

            Akan tetapi mayoritas ulama khususnya dari Madzhab Syafi’i dan Hanbali serta sebagian kecil pendapat ulama dari madzhab Hanafi dan Maliki tetap menjadikan hadits ini sebagai patokan bahwa usia lima belas tahun adalah batasan baligh seseorang. Karena dari matan hadits di atas pun besar kemungkinan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma kala itu dilarang berperang oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam karena belum mencapai usia baligh.

Imam As-Subki rahimahullah menjelaskan hikmah ditetapkannya usia lima belas tahun sebagai batasan usia baligh karena pada usia itulah bangkit dan menguatnya syahwat seksual, begitu juga syahwat dalam hal-hal lain seperti makanan. Syahwat tersebutlah yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang tidak patut dikerjakan. Syahwat-syahwat tersebut harus dikekang dan dikendalikan dengan tali ketakwaan agar seseorang tidak menuruti syahwatnya dengan diberikan perjanjian-perjanjian dan juga ancaman. Selain itu, pada usia inilah kesempurnaan akal seseorang dan juga kekuatan fisiknya, karena itu diperlukan pengarahan berupa hukum-hukum yang mengikat karena kuatnya dorongan syahwat dan pemikiran dan dirasa sudah mampu nenerima hukuman apabila menyimpang. (Al-Asybah wan Nadha'r, hal. 223)

2. Ihtilam bagi laki-laki dan wanita ketika melewati sembilan tahun.

Ihtilam adalah keluarnya mani baik karena bermimpi atau karena hal lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma’ bahwasannya ihtilam pada laki-laki dan wanita mewajibkan dengannya (untuk diberlakukannya) ibadah, hudud, dan seluruh perkara hukum.” (Fathul Bari, Jilid 5 hal. 277)

Dalil yang menjadi landasan bahwa ihtilam merupakan tanda-tanda seseorang mencapai baligh adalah:

a.       Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاةِ الْعِشَاءِ ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الآيَاتِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ وَإِذَا بَلَغَ الأطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum mencapai ”hulm” (ihtilam) di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai ”hulm” (ihtilam/usia baligh), maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin.” (QS. An-Nur [24] : 58-59)

Dari ayat diatas bisa diambil suatu hukum bahwa ihtilam menjadi batas kewajiban bagi seorang anak untuk meminta izin di semua waktu ketika ia hendak masuk ke kamar orang tuanya. Sedangkan jika anak tersebut belum mencapai ihtilam maka ia hanya dibebankan untuk meminta izin di tiga waktu saja dan bahkan tidak mengapa baginya masuk tanpa izin selain di tiga waktu tersebut.

b.       Hadits dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:

نَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ أَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ كُلِّ حَالِمٍ دِينَارً

“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam mengutusnya ke Yaman dan memerintahnya untuk mengambil dari setiap orang yang telah ihtilam satu dinar.” (HR. An-Nasa’i no. 2450, Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 19155 dan Ahmad no. 21532)

c.       Hadits dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda:

غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَسِوَاكٌ ، وَيَمَسُّ مِنَ الطِّيبِ مَا قَدَرَ عَلَيْهِ

“Mandi pada hari Jum’at (sebelum menunaikan shalat Jum’at) adalah kewajiban bagi setiap orang yang telah ihtilam, demikian pula bersiwak dan memakai wewangian semampunya.” (HR. Al-Bukhari no. 880 dan Muslim no. 846)

3. Keluar darah haidh sesudah berusia sembilan tahun

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata: “Para ulama telah berijma’ bahwasannya haidh merupakan tanda baligh bagi wanita.” (Fathul Bari, Jilid 5 hal. 277) Selain itu berkembangnya alat reproduksi pada wanita seperti membesarnya payu dara pun merupakan tanda-tanda seorang wanita telah memasuki masa baligh. Dalil yang melandasi hal ini adalah hadits dari Fathimah binti Abu Hubaisy radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا أَقبَلَتْ حَيضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي

“Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat, dan bila telah berlalu mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)

Dari hadits diatas bisa diambil suatu hukum bahwa seorang wanita diharamkan untuk shalat ketika sedang haidh. Akan tetapi diwajibkan shalat ketika haidh itu telah selesai, artinya seorang wanita yang sudah mengalami haidh maka terbebanlah syari’at kepadanya sehingga hal ini menjadi landasan bahwa haidh adalah batasan seorang wanita memasuki usia baligh.

Sedangkan batasan usia sembilan tahun bagi wanita yang berada pada tanda baligh yang kedua dan ketiga merupakan batasan bahwa seorang wanita sudah dewasa dan boleh untuk dinikahi asalkan telah memenuhi syarat pernah mengalami ihtilam atau sudah keluar darah haidh, jika belum pernah ihtilam atau belum keluar darah haidh maka batasan usia balighnya adalah lima belas tahun sebagaimana tanda baligh yang pertama. Dalil pengambilan usia Sembilan tahun adalah sebagaimana keterangan dari Aisyah ‘radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku ketika aku berusia 6 tahun. Dan beliau kumpul bersamaku ketika aku berusia 9 tahun.” (HR. Al-Bukhari no. 3894 dan Muslim no. 1422)

Usia paling muda waktu keluar darah haidh bagi seorang anak wanita, ialah berumur 9 tahun Qamariyah Taqriban (kira-kira). Adapun pengertian taqriban atau kira-kira ialah, apabila seorang anak wanita yang cukup umur 9 tahun kurang 16 hari dan malamnya ke atas (waktu yang cukup digunakan paling sedikitnya haidh dan paling sedikitnya suci), mengeluarkan darah, maka tidak dihukumi haid, tetapi dihukumi darah istihadhah atau darah kotor. (Fathul Qarib pada Hamisy Al Bajuri, Jilid 1 hal. 112)

Adapun pada waktu mengeluarkan darah seorang wanita, sudah berusia 9 tahun kurang dibawahnya 16 hari dan malam (waktu yang tidak cukup untuk paling sedikitnya haidh serta paling sedikitnya suci) maka dihukumi darah haidh. Apabila seorang wanita mengeluarkan darah beberapa hari yang sebagian sebelum waktunya bisa haidh, dan yang sebagian lagi setelah waktunya bisa haidh, maka darah yang pertama dihukumi darah istihadhah dan darah yang akhir dihukumi darah haidh.

Contoh, seorang anak wanita cukupnya umur 9 tahun masih kurang 20 hari dan malam, lalu ia mengeluarkan darah lagi lamanya 10 hari dan malam, maka darah yang pertama selama 4 hari dan malam lebih sedikit, dihukumi darah istihadhah, karena kurangnya dari cukup umur 9 tahun masih cukup untuk haidh serta suci. Adapun darah yang tertinggal, yang lamanya 6 hari dan malam, kurang sedikit, dihukumi darah haidh, karena kurangnya dari cukup umur 9 tahun sudah tidak cukup untuk haidh serta suci (Hasyiyah Al-Jamal ‘ala Syarhi Al-Minhaj, Jilid 1 hal. 236)

Tumbuhnya Bulu Kemaluan

Ulama berselisih pendapat mengenai hal ini, apakah tumbuhnya bulu kemaluan termasuk tanda-tanda baligh atau bukan. Madzhab Hanafi secara mutlak menyatakan bahwa tumbuhnya bulu kemaluan bukan merupan tanda-tanda baligh, sedangkan madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan itu merupakan tanda-tanda baligh secara mutlak dan madzhab Asy-Syafi’I berpendapat bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda-tanda baligh bagi orang kafir. Dalil yang diperbincangkan dalam hal ini adalah hadits dari Athiyyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

عُرِضْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ، وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ، فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي

“Kami dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Quraidhah (peristiwa pengkhianatan Bani Quraidhah), di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan.” (HR. At-Tirmidzi no. 1584 dan An-Nasa’i no. 3429)

            Juga hadits dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اقْتُلُوا شُيُوخَ الْمُشْرِكِينَ وَاسْتَبْقُوا شَرْخَهُمْ

“Bunuhlah orang-orang tua dari kalangan kaum musyrik dan biarkanlah syarkh.” (HR. Abu Dawud no. 2670  dan At-Tirmidzi no. 1583)

Syarkh adalah anak-anak yang belum tumbuh bulu kemaluannya. Namun hadits ini adalah hadits dha’if sehingga tidak bisa dijadikan landasan.

            Jika diperhatikan dari hadits Athiyyah radhiyallahu ‘anhu maka pendapat yang mendekati kebenaran adalah bahwasanya tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda baligh tapi hanya untuk orang kafir atau musyrik karena konteks hadits itu ditunjukan bagi orang kafir yaitu bagi para pengkhianat dari Bani Quraidhah. Begitupula dalam hadits Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, jika seandainya hadits itu tidak dha’if maka jelaslah bahwa tumbuhnya bulu kemaluan merupakan tanda baligh bagi orang kafir atau musyrik. Wallahu a’lam.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

0 Comment for "Tanda-Tanda Baligh"

Rasulullah bersabda: “al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu.” Kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya dan kedua orangtuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Qur’an.” (HR. ath-Thabrani)

Back To Top